BERAWAL DARI BAJU TOGA

Cerpen16 Dilihat

 

BERAWAL DARI BAJU TOGA

Oleh

Sutri Winurati, S.S

Hari pertama di bulan Februari 2021 untuk mengikuti lomba blog  Ikatan Guru TIK PGRI. Assalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, salam selalu sehat dan semangat produktif berkarya.

 

Gelar sarjana telah tersematkan pada tubuh mungil ini. Ya, mungil hanya 37 sampai 39 kg berat badanku kala itu. Baju toga sudah terlepas. Rasa lega, bahagia bisa merasakan helatan akbar suatu universitas ketika meluluskan ratusan bahkan ribuan lebih mahasiswanya. Terbersit pikiran yang penuh dengan tanya, selanjutnya apa yang harus kulakukan?. Walaupun selama di bangku kuliah aku sempat menjadi guru privat les dan guru kursus Bahasa Inggris. Hal demikian  sudah dijalani untuk menambah pundi-pundi uang saku kiriman dari bapak di Sidoarjo. Bahkan satu tahun setengah terakhir sebelum aku diwisuda, aku sudah tidak menerima uang transfer dari bapak. Bapak tahu aku sudah bisa menghasilkan uang sendiri dari hasil ngelesi privat dan juga ngajar di kursus Bahasa Inggris. Bahkan satu tahun skripsi tidak aku pegang sama sekali karena keasyikan mencari uang sendiri. Teringat bapak telfon, “Win, Bapak gak kirim duit maneh yo, mergo bapak kudu nyicil motor”. Artinya “Win, bapak tidak kirim uang lagi ya, karena bapak harus nyicil motor”. Ada sedikit rasa sedih, tetapi segera kutepis karena aku bisa mencari uang sendiri. Rasa bangga itu ada untuk menghibur diri. Sampai pada akhirnya aku harus berhenti dengan segala rutinitasku dan menyelesaikan sekripsiku. Akhirnya selesai juga dengan hanya dua sampai tiga bulan karena mengejar wisuda yang paling dekat.

Selepas prosesi kelulusan itu aku harus bergegas. Kembali ke kampung halaman adalah keharusan yang tidak bisa ditawar lagi. Meninggalkan semua aktifitas di kota rantauan yaitu mengajar dan berorganisasi lumayan menyesakkan dada. Aku berfikir akan mengawalinya lagi semua yang sudah pernah kurintis. Mengwali semuanya di kampung yang membesarkan aku.

Hidup harus berjalan boyongan pulangpun akhirnya terjadi. Meninggalkan barang-barang yang tak mungkin dan tak mau kubawa itu sudah menjadi kebiasaan kami anak kost. Warisan barang yang ditinggalpun menjadi rebutan adik-adik tingkat yang masih tinggal di rumah kost. Rumah kost yang sangat besar untuk ukuran rumah pada umumnya. Ada kurang lebih belasan kamar yang diisi sekitar 22 penghuni kost. Rumah kost tersebut bukan ukuran yang kecil untuk ukuran suatu rumah.

Tidak akan mendengar lagi teriakan “Ayo cepet mandi e…aku kuliah isuk” ayo cepat kalau mandi, aku kuliah pagi. Guyonan dan canda di depan televisi pun tidak akan kudengar. Mengantri mandi, bersama-sama belanja untuk persiapan masak bersama, keguyuban dalam dapur untuk kolaburasi masak bersamapun tak akan dilakukan di rumah kost tersebut. Membeli roti bakar pada seorang teman yang kost di situpun tidak akan terjadi. Kutinggalkan segudang kenangan bersama teman-teman kost merupakan sesuatu yang lumayan berat.

Tibalah aku di kampung halaman yang kutinggalkan sekitar lima tahun. Waktu yang lama untuk menggali ilmu di kota lain. Walaupun sesekali aku pulang ke rumah untuk melepas kangen pada kedua orang tuaku dan ketiga saudaraku. Lima tahun menyelesaikan kuliah bukan waktu yang singkat. Waktu yang relative lama untuk mendapat gelar S1. Sarjana Sastra di Universitas Negeri Jember tepatnya. Tetapi lumayan banyak juga yang dilakukan di sana. Aku Tidak hanya berangkat kuliah, pulang, mengerjakan dan mengumpulkan tugas dengan baik layaknya anak kuliahan yang pada semestinya. Banyak sekali organisasi yang kuikuti. Antara lain paduan suara mahasiswa, UKM kesenian di fakultas, UKM reyog Ponorogo, kumpulan mahasiswa Sidoarjo pun aku ikuti, juga organisasi ekstrapun juga tidak ketinggalan kuikuti. Ini adalah salah satu penyebab bertahannya lama di bangku kuliah.

Sampai teringat seorang dosenku yang bernama Bapak Noer Samsudin. Beliau sangat tidak senang ketika kita bolos di mata kuliahnya walaupun kita memberikan surat ijin sekalipun, ataupun surat dispensasi dari rektorat sekalipun. Pernah di suatu saat aku mengirimkan surat dispensasi kuliah dari rektorat karena aku merupakan salah satu pemain penari jathil yang mengikuti festival grebeg suro di Ponorogo. Pertemuan pertama tepatnya waktu itu. Pada pertemuan ke dua aku datang, seketika itu aku diingatkan dan temanku yang lain yang ikut intra pecinta alampun diingatkan. Begini tuturnya, “Tidak akan ditanya kamu bisa nari atau tidak, bisa menaiki wall climbing atau tidak ketika kamu masuk dunia kerja”. Karena pada saat itu aku mengulang mata kuliah prosa yang sebelumnya aku mendapatkan C. Air mata menggenang serasa akan jatuh.  Malu rasanya di depan adik-adik tingkatku diingatkan demikian. Tetapi aku tahan air mata ini bagaimana tidak sampai jatuh. Cambuk yang kuat kudapatkan waktu itu. Semenjak itu tak pernah aku meninggalkan perkuliahanku dengan beliau. Sampai beliau memujiku ketika aku mendapatkan nilai UTS terbaik. Dan akhirnya aku mendapatkan A-. Terimakasih Pak Nur yang tak terhingga atas jasa njenengan. Semoga syurga tempatmu kelak. Hanya doa yang kita bisa panjatkan untuk njenengan bapak.

Banyak hal yang kudapatkan dari apa yang sudah aku ikuti ketika itu. Berharap manfaat pada saat aku terjun di dunia kerja nantinya.

Sutri Winurati, S.S

SMP Negeri 2 Sukodono, Sidoarjo

 

 

Tinggalkan Balasan

1 komentar