Revitalisasi Danau Toba agar Jadi Destinasi Utama Wisatawan Mancanegara

Wisata190 Dilihat

Pariwisata merupakan sektor yang tidak terpengaruh oleh resesi ekonomi global sehingga bisa jadi andalan untuk meningkatkan penerimaan devisa dan pemerataan ekonomi nasional yang menukik ke masyarakat.

Pariwisata secara langsung dan tidak langsung meningkatkan kegiatan ekonomi di tempat-tempat yang dikunjungi (dan sekitarnya), terutama karena permintaan barang dan jasa sehingga harus  diproduksi dan disediakan.

Maka, tidaklah mengherankan kalau kemudian Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadikan Danau Toba sebagai salah satu daerah tujuan wisata (DTW) dalam kaitan ’10 Bali Baru’. Ini merupakan bagian dari promosi Wonderful Indonesia.

Dalam bahasa politik pembangunan disebut Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) sebagai bagian dari program untuk meningkatkan perekonomian daerah demi kesejahteraan warga.

Celakanya, pandemi global virus corona (Covid-19) sejak Januari 2020 membalikkan semua prediksi dunia pariwisata. Sektor pariwisata global menjerit. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebut pada tahun 2020 sektor pariwisata global kehilangan pendapatan sebanyak 1,3 triliun dolar AS atau setara dengan Rp 182.000 triliun.

  1. Faktor-faktor Penghambat Wisman ke Danau Toba

Sedangkan Organisasi Pariwisata Dunia PBB (World Tourism Organization/WTO) sebut kerugian sektor pariwisata global akibat pandemi Covid-19 tahun 2020 sebesar 11 kali dari kerugian akibat krisis ekonomi dunia yang terjadi pada tahun 2009.

Kondisi itu membuat 100 sampai 120 juta pekerjaan di sektor pariwisata terancam karena kedatangan turis (wisatawan) manca negara (Wisman) berkurang 74% atau sebanyak 1 miliar di tahun 2020.

Padahal, Wisman jadi tumpuan harapan dunia pariwisata. Dalam kaitan itulah sebelum pandemi pun jumlah kunjungan Wisman ke Danau Toba, Sumatera Utara (Sumut), sangat kecil. Inilah yang perlu jadi perhatian sehingga diperlukan revitalisasi (menggiatkan kembali) objek wisata Danau Toba agar jadi daerah tujuan wisata (DTW) utama “Beyond Bali” atau “Bali and the Beyond“.

Danau Toba dari aspek sains terbentuk dari letusan sebuah gunung api, Gunung Toba, sekitar 74.000 tahun yang lalu. Luas Danau Toba 1.145 kilometer persegi dengan kedalaman 450 meter. Di tengah danau ada Pulau Samosir. UNESCO (The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization – Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB) menetapkan Danau Toba sebagai Global Geopark (2020). Pengakuan UNESCO ini merupakan dukungan bagi Heritage of Toba.

Jumlah kedatangan Wisman jadi kunci kebangkitan pariwisata Danau Toba karena terkait dengan lama tinggal sehingga memperbesar pengeluaran mereka. Sedangkan wisatawan nusantara (Wisnus) hanya pada akhir pekan atau pulang-pergi satu hari.

Jumlah kunjungan Wisman ke Sumut periode Januari-Desember 2019 sebanyak 260.311, naik 10,17% dibanding Januari-Desember 2018 sebanyak 236.276. Sebuah survei terhadap Wisman di Medan menunjukkan 38% responden justru memilih Kota Medan, disusul Danau Toba 25% dan Kota Berastagi 16% (survei dijalankan oleh Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Sumatera Utara dan Universitas Pancabudi Medan, November 2018). Pemerintah, melalui Menpar Arief Yahya di tahun 2015 menargetkan kunjungan Wisman ke Sumut sebanyak 1 juta.

Tentu ada faktor-faktor yang menyebabkan jumlah Wisman yang berkunjung ke Danau Toba (Inbound tourism) sedikit jika dibandingkan dengan DTW lain. Yang perlu diingat adalah Wisman bukan sekedar melancong atau rekreasi, tapi mereka melakukan kegiatan yang terkait dengan sosial dan budaya.

  1. Kata Kuncinya adalah: Hospitality

Sedangkan rekreasi atau piknik adalah penyegaran kembali badan dan pikiran; sesuatu yang menggembirakan hati dan menyegarkan seperti hiburan. Pariwisata (tourism) lebih luas yaitu terkait dengan kegiatan sosial dan budaya di DTW.

Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif(Kemenparekraf) mengembangkan kawasan pariwisata dengan tiga pilar utama 3A, yaitu: atraksi (pertunjukan atau tontonan), aksesibilitas (keterkaitan), dan amenitas (sesuatu yang menimbulkan kesenangan, kenyamanan). Dengan filosofi ini merupakan ajakan agar MICE (Meeting, Incentive, Convention, and Exhibition) di Indonesia Aja.

Maka, pariwisata tidak hanya sekedar keindahan alam atau pemandangan dan kuliner belaka, tapi erat kaitannya dengan kehidupan sosial dalam lingkup sejarah, religi, seni dan budaya. Bagi Wisman dari Australia, Eropa Barat, dan Amerika Utara DTW tidak hanya sebatas pemandangan alam, tapi lebih ke aspek-aspek sosial dan budaya.

Secara empiris hal itu ada di Danau Toba, tapi lagi-lagi, mengapa Wisman sedikit yang datang ke Danau Toba?

Agaknya, perlu disimak mengapa beberapa DTW ini, yaitu Bali dan Yogyakarta, serta belakangan Senggigi, Mataram, NTB, yang banyak dikunjungi Wisman?

Kata kunci adalah: hospitality, tapi tidak sekedar keramahan tapi merupakan perilaku positif dalam menyambut tamu, dalam hal ini Wisman.

  1. Advokasi ke Masyarakat Agar Kedepankan Hospitality

Di Bali, Yogyakarta dan Senggigi Wisman tidak pernah merasa kikuk (canggung) berjalan dengan ‘pakaian ala kadarnya’ (bikini di Bali dan Senggigi serta celana pendek dan kaos kutang di Yogyakarta). Warga pun tidak melotot tapi sekedar melihat lalu menyapa atau tersenyum.

Nah, apakah hal itu bisa dilakukan Wisman di Danau Toba?

Tidak!

Bahkan, ada kasus Wisman yang mandi di kamar mandi ‘diketen’ (diintip). Tentu saja ini berita buruk dan busuk yang akan menyebar dari mulut ke mulut dan melalui media sosial. Wisman cewek jadi sasaran mata keranjang. Ini artinya tidak ada hospitality (keramahtamahan) pada masyarakat setempat. Kondisi ini berlawanan dengan prinsip amenitas (sesuatu yang menimbulkan kesenangan, kenyamanan).

Akibatnya, Wisman pun akan kapok datang ke Danau Toba karena mereka tidak mendapatkan hospitality yang sepadan dengan biaya yang mereka keluarkan.

Maka, perlu ada advokasi ke masyarakat agar tidak melotot kalau melihat Wisman cewek berpakaian ala kadarnya. Selain itu juga perlu ada sanksi hukum atau adat bagi warga yang ‘ngeten’ Wisman di kamar mandi.

 Yang dikhawatirkan terjadi di Danau Toba adalah pembuatan peraturan daerah (Perda) yang bermuatan moral, seperti mengatur cara berpakaian Wisman, penjualan minuman beralkohol serta hiburan malam (dugem yaitu dunia gemerlap).

Sangat sulit membayangkan Wisman datang ke Danau Toba kalau di pantai pun diatur cara berpakaian. Soalnya, pantai merupakan area bebas cara berpakaian sehingga kalau kelak ada regulasi (Perda) yang mengatur cara berpakaian di sekitar Danau Toba itu artinya pariwisata Danau Toba akan tinggal kenangan.

Jika pariwisata Danau Toba dikembangkan jadi destinasi wisata halal, akan mengganggu sejarah suku Batak yang tidak bisa lepas dari pranata adat yang jadi bagian dari kehidupan keseharian di Tano Batak. Politisasi agama bisa terjadi di kawasan Danau Toba karena ada 7 kabupaten yang mengelilingi Danau Toba dengan pranata agama yang berbeda, yaitu: Simalungun, Toba Samosir (Tobasa), Tapanuli Utara (Taput), Humbang Hasundutan (Humbahas), Dairi, Karo, dan Samosir.

Kondisinya kian runyam kalau label ‘halal dan syariah’ juga jadi bagian dari pariwisata Danau Toba karena simbol-simbol pranata adat masyarakat Batak yang merupakan kearifan lokal akan terganggu. Padahal, di Bali, Yogyakarta, Toraja (Sulsel) budaya dan kesenian jadi ikon pariwisata yang merupakan daya tarik bagi Wisman. Itu artinya upaya Jokowi mengembangkan sektor yang kebal terhadap resesi itu pun akan ‘gatot’ (gagal total). Akibatnya, kucuran dolar tidak sampai ke masyarakat.

  1. Bantu Warga Kembangkan Homestay

Atraksi adalah pertunjukan seni. Di Bali, misalnya, pertunjukan seni komersial (berbayar), seperti tari kecak bisa disaksikan di gedung pada siang hari. Sedangkan di KDT pertunjukan seni dikomersialkan. Artinya, tidak ada standar tarif resmi karena pertunjukan seni tidak ada tempat khusus dan jadwal yang tetap.

Masalah yang juga jadi informasi busuk adalah komersialisasi seni. Pertunjukan seni dikomersilkan dengan tarif yang tidak baku. Di Bali pertunjukan seni komersial yaitu dilakukan di gedung dengan membeli karcis resmi yang dibebani pajak. Maka, di Danau Toba perlu ada gedung pertunjukan seni dengan jadwal tetap sehingga Wisman bisa mengatur waktu untuk menonton.

“Cuma duduk di kursi saja harus bayar!” Ini keluhan nyata pelancong yang datang ke Danau Toba. Tentu saja ini tidak pada tempatnya sehingga membuat pelancong kapok duduk di warung atau restoran (medan.tribunnews.com, 5/1-2019)

Untuk itulah perlu papan pengumuman di warung, restoran, penginapan, losmen dan hotel tentang menu, daftar harga dan tarif jasa agar tidak menipu dan menjerat pelancong.

Keselamatan pelayaran di Danau Toba juga perlu diperhatikan karena sudah beberapa kali terjadi kecelakaan yang memakan banyak korban. Standar keselamatan wajib bagi pelayaran agar Danau Toba tidak jadi ‘kuburan’ kapal.

Pemerintah juga perlu membantu warga untuk menyiapkan rumah mereka sebagai homestay dengan standar yang layak untuk Wisman. Tahun 1990-an ada WN Jerman yang membuka hotel di Carita, Banten, dengan bangunan kayu berkolong. Tapi, kamar mandinya luks dengan standar Eropa.

Faktor lain yang menghambat Wisman ke Danau Toba adalah lama tempuh perjalanan darat dari Bandara Kualanamu ke Parapat rata-rata 5 — 6 jam. Ini jelas tidak mendukung aksesibilitas bahkan merugikan Wisman dalam efisiensi waktu. Karena waktu yang terpakai untuk transportasi dari dan ke Danau Toba saja sudah 10 — 12 jam. Ini sama saja dengan satu hari. Jika ada akses jalan tol dari Bandara Kualanamu ke Parapat tentu akan menghemat waktu karena diperkirakan jika ada jalan tol waktu tempuh sekitar 2 jam.

Hanya dengan langkah-langkah terukur yang bisa ‘menyelamatkan’ pariwisata Danau Toba agar jadi tujuan utama Wisman setelah Bali dan Yogyakarta sehingga Danau Toba jadi DSP (destinasi super prioritas) dalam kancah pariwisata global (Kompasiana, 21 September 2021). *

Tinggalkan Balasan