Rencana mulai belajar tatap muka di kelas perlu diperhatikan pendapat pakar-pakar epidemiologi agar tidak jadi pemicu klaster baru pandemi.
Wacana untuk mulai belajar tatap muka di kelas perlu diperhatikan pendapat pakar-pakar epidemiologi dan kesehatan masyarakat karena bisa saja hal itu memicu klaster baru penyebaran virus vorona di masa pandemi.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), memberikan lampu hijau bagi daerah dengan kategori zona hijau (tidak ada kasus virus corona) untuk membuka kembali sekolah dengan proses pengajaran tatap muka.
Indonesia sendiri ada di ‘zoa abu-abu’ pandemi virus corona karena anjuran Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) untuk menjalankan test-tracing-isolation serentak dengan skala nasional tidak dijalankan secara konsisten. Jumlah konfirmasi kasus positif virus corona sampai tanggal 2 Desember 2020 mencapai 543.975 dengan 17.081 kematian. Indonesia di peringkat ke-22 dunia dan peringkat ke-5 di Asia.
- Zona Hijau Semu
Dari 273 juta penduduk Indonesia yang sudah jalani tes swab dengan metode PCR sebanyak 3.865.412 (https://twitter.com/BNPB_Indonesia). Itu artinya baru 1,42% penduduk Indonesia yang jalani tes swab virus corona dengan proporsi per 1 juta populasi sebanyak 14.159. Angka ini jauh dari proporsi di beberapa negara ASEAN, seperti Singapura 793.724, Malaysia 82.561, dan Filipina 52.673.
Maka, perihal zona hijau sendiri hanya berdasarkan jumlah kasus positif virus corona. Padahal, seperti diungkapkan oleh Mendagri Tito Karnavian ada daerah yang menyebut diri sebagai zona hijau hanya karena tidak ada kasus virus corona. Padahal, di daerah itu tidak pernah dilakukan survailans tes virus corona sehingga zona hijau itu semu.
Bulan Juli 2020, misalnya, Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil mendampingi Wakil Presiden (Wapres) RI Ma’ruf Amin dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), Nadiem Makarim, tinjau persiapan kegiatan belajar mengajar (KBM) tatap muka di SMA Negeri 4 Kota Sukabumi. Ini karena Kota Sukabumi masuk zona hijau. Tapi, beberapa bulan kemudian Kota Sukabumi tidak zona hijau lagi karena sudah ada kasus virus corona yang terdeteksi pada warga.
Sinyalemen Mendagri Tito itu bisa jadi patokan untuk memastikan klaim zona-zonaan terkait dengan pandemi virus corona. Seberapa luas cakupan tes swab yang sudah dijalankan di daerah tersebut. Seperti halnya Kota Sukabumi ketika akan buka sekolah tidak jelas proporsi tes swab yang sudah dijalankan hanya disebut zona hijau karena kasus rendah.
Akhir November 2020, misalnya, sebuah SMP di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah, jadi klaster baru penyebaran virus corona. Padahal, yang terjadi baru simulai pembelajaran tatap muka (PTM) atau belajar di kelas dengan tatap muka.
Semula karena berminggu-minggu tidak ada kasus harian baru otoritas Korea Selatan membuka sekolah dengan belajar tatap muka. Tapi, belakangan sekolah ditutup kembali karena terjadi penularan virus corona antar siswa.
- Peran Serta Masyarakat
Di sekolah, seperti di SMP di Jepara dan Korea Selatan, protokol kesehatan diterapkan secara sistematis yaitu memakai masker bahkan siswa dibatasi dengan dinding transparan, menjaga jarak dan selalu mencuci tangan. Persoalannya adalah di luar sekolah tidak bisa diawasi ke idupan siswa-siswi apakah menerapkan protokol kesehatan atau tidak. Ini yang jadi persoalan besar.
Pemkot Tangerang, Banten, memberikan batasan kalau murid yang sedang batuk tidak boleh belajar tatap muka. Ini jelas tidak akurat karena yang jadi persoalan besar adalah siswa OTG (Orang Tanpa Gejala) yaitu siswa yang mengidap virus corona tapi tidak menunjukkan gejala. Biar pun tidak menunjukkan gejala seorang yang mengidap virus corona bisa menularkan virus ke orang lain melalui droplet yang keluar dari mulut dan hidung ketika berbicara, batuk dan bersin.
Amerika Serikat (AS) menunda ujian nasional membaca dan menulis sampai tahun 2022. Ini bisa jadi pertimbangan bagi pemerintah dan pemerintah daerah yang sudah bernafsu memulai belajar tatap muka di kelas. Negara sekelas AS saja memilih menunda ujian daripada mengorbankan siswa-siswi terpapar virus corona.
Terkait dengan epidemi dan pandemi yang bisa memutus mata rantai penyebaran hanya masyarakat. Tanpa peran serta aktif masyarakat penyebaran virus, bakteri, dan lain-lain sebagai epidemi atau pandemi tidak akan bisa dihentikan oleh pemerintah.
Dari aspek medis epidemi dan pandemi bisa diatasi dengan cepat jika ada vaksin. Celakanya, sampai sekarang belum ada vaksin yang direkomendasi WHO. Memang ada ‘vaksin sosial’ yaitu protokol kesehatan, tapi banyak warga yang anggap enteng bahkan tokoh dan pemuka masyarakat yang seharusnya jadi panutan di saat pandemi mereka justru tak pantas jadi teladan untuk kebaikan umat (tagar.id, 2 Desember 2020). *