Memutus Covid-19 Hanya dengan Peran Serta Masyarakat

Edukasi38 Dilihat

Penyebaran virus corona (Covid-19) yang massif di Indonesia hanya bisa dihentikan atau diputus dengan dukungan yaitu peran serta aktif masyarakat.

Pandemi atau wabah virus corona baru (Covid-19) belum menunjukkan tanda-tanda akan reda. Yang terjadi justru sebaliknya. Penyebaran Covid-19 kian massif yang ditandai dengan kasus-kasus yang merebak justru jauh dari episentrum awal di Wuhan, China, yaitu di Eropa, Amerika Serikat dan Asia.

Korea Selatan (Korsel) yang semula diperkirakan banyak kalangan jadi episentrum baru justru mampu mengatasi pandemi Covid-19 dengan jumlah kasus yang lambat di tingkat global dan Asia. Dengan kasus 10.708 per 24 April 2020 pukul 13.18 GMT atau 20.18 WIB yang dilaporkan situs independen worldometers Korsel jauh di bawah negara-negara Eropa dan Asia lain dengan kasus di atas 11.000-an sampai 800.000-an. Korsel ada di peringkat ke-31 global.

Kasus kumulatif Covid-19 secara global dilaporkan 2.751.538 dengan 192.247 kematian dan 757.972 sembuh. Kasus terbanyak dipuncaki oleh Amerika Serikat (AS) dengan jumlah kasus 887.370 dengan kematian 50.282 dan 85.922 sembuh.

Pergerakan grafik kasus positif Covid-19 di Indonesia di awal laporan kasus pertama 2 Maret 2020 ternyata karena peralatan tes spesimen swab dengan PCR sangat terbatas sehingga kasus yang terdeteksi melalui tes real time sangat sedikit.

  1. Anak Tularkan Covid-19 ke Orang Tuanya

Berbeda dengan negara lain yang sejak awal tidak menjalankan tes swab. Korsel justru sangat aktraktif yaitu menjalankan tes massal yang masif spesimen swab dengan PCR sebelum kasus ditemukan di negara itu. Tes dimulai 2 Januari 2020 atau tiga hari sejak China mengumumkan kasus Covid-19 di Wuhan. Sedangkan kasus pertama di Negeri Ginseng itu terdeteksi tanggal 20 Januari 2020.

Sampai 24 April 2020 pukul 13.18 GMT atau 20.18 WIB Korsel sudah melakukan tes spesimen swab dengan PCR terhadap 589.520 warga sehingg proporsinya 11.499 per 1 juta populasi. Bandingkan dengan Indonesia yang mulai menjalankan tes, dalam hal ini rapid test, sejak kasus pertama dilaporkan yaitu 2 Maret 2020. Sampai tanggal 24 April 2020 pukul 12.00 WIB tes spesimen swab dengan PCR di Indonesia baru mencapai 64.054 dengan proporsi 234 per 1 juta polulasi. Jumlah kasus positif Covid-19 di Indonesia 8.211 dengan kematian 689 dan 1.002 sembuh.

Dengan kondisi yang terjadi di Indonesia sekarang belum bisa disebut sebagai puncak pandemi karena jumlah tes yang tidak proporsional. Sebaliknya sejak awal April 2020 terjadi pergerakan manusia yang massif ketika mulai wacana Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dimulai di Jakarta tanggal 10 – 23 April 2020 diperpanjang sampai 22 Mei 2020. PSBB juga diberlakukan di Jawa Barat yaitu Kabupaten dan Kota Bogor, Kabupaten dan Kota Bekasi dan Kota Depok serta Bandung Raya (Kota Bandung, Kabupaten Bandung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Sumedang). Di Jawa Timur ada di Kota Surabaya, Kabupaten Sidoarjo dan Kabupaten Gresik. Kota Banjarmasin (Kalsel) dan Tarakan (Kaltara). Juga di Sumbar dan Sulsel.

Sebenarnya, sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan sudah mulai terjadi pergerakan manusia, tertama perantau, yang kembali ke daerah asalnya. Beberapa daerah, seperti Jawa Tengah mencatat sekitar 7 juta warga Jateng yang merantau ke Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi). Tentu saja Gubernur Jateng, Ganjar Pranowo, akan kewalahan menyiapkan tempat isolasi selama 14 hari untuk 7 juta orang. Daerah lain pun sama halnya dengan Jateng.

Beberapa kasus Covid-19 di daerah terdeteksi pada perantau yang pulang dan mudik dari Jakarta. Di Jawa Barat, misalnya, seperti diungkapkan Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil, ketika teleconference dengan Wapres Ma’ruf Amin 3 April 2020. Ada seorang ayah di sebuah desa yang sakit dan kemudian stroke karena tertular Covid-19 dari anaknya yang mudik dari Jakarta. Ada pula seorang suami di Bandung yang tertular Covid-19 dari istrinya yang pulang dari Jakarta.

Penyebaran Covid-19 di masyarakat terjadi melalui kontak, terutama close contact, dengan orang yang mengidap Covid-19 baik yang sudah ditetapkan sebagai Pasien dalam Pengawasan (PDP) atau pengidap Covid-19 dengan gejala atau tanpa gejala.

  1. Penyebaran Covid-19 di Masyarakat yang Meluas

Ada beberapa kasus pasien PDP yang kabur dari rumah sakit. Ada kesan warga, terutama keluarga, tidak membawa pasien PDP ke rumah sakit. Yang terjadi adalah pihak yang berwewenang menjemput pasien PDP itu. Ada yang dihadapi dengan perlawanan, bahkan fisik, dari pasien PDP dan keluarganya bahkan warga sekitar.

Adalah hal yang sangat ironis menolak melaporkan anggota keluarga yang positif Covid-19 dengan risiko terjadi penyebaran virus, sedangkan di sisi lain menolak mayat jenazah Covid-19 serta mengusir tenaga medis dari kontrakannya.

Selain itu ada juga orang-orang yang perilakunya berisiko tertular Covid-19, seperti pernah kontak dengan pasian PDP, pernah berkunjung ke daerah zona merah atau pernah melancong ke negara dengan kasus Covid-19 yang besar. Akibatnya banyak tenaga kesehatan, perawat dan dokter, yang terpapar virus corona. Bahkan banyak yang meninggal dunia. Ini membuat pelayanan kesehatan terganggu.

Ini ironis karena pasien PDP yang kabur dari rumah sakit adalah orang yang tertular Covid-19 dengan gejala. Itu artinya pasien PDP itu potensial menularkan virus (Covid-19) ke orang lain di sekitarnya melalui droplet yang keluar ketika pasien PDP itu berbicara, batuk atau bersin dengan kondisi pasien PDP tidak memakai masker dan warga yang kontak pun tidak pakai masker.

Di gambar Matriks 2 bisa dilihat alur penyebaran Covid-19. Misalnya, seorang suami positif Covid-19. Ada risiko penularan ke istri dan anak-anaknya (keluarga). Salah seorang anaknya, dalam gambar nomor 1, laki-laki, dinas ke luar kota. Tentu ada kontak dengan warga selama di perjalanan, di hotel, di kantor cabang, bisa juga di kafe kalau dia pergi ke kafe di kota tujuan.

Orang-orang yang kontak selama di perjalanan, di hotel, di kantor cabang, dan di kafe tentu saja kontak lagi dengan orang lain dalam berbagai kondisi dan kegiatan.

  1. Peran Aktif Masyarakat Putus Rantai Penyebaran Covid-19

Lalu anak nomor 2, laki-laki, pacaran dengan salah seorang anak perempuan di Keluarga C. Di dalam Keluarga C ada risiko penyebaran Covid-19 karena karena salah satu anaknya kontak dengan anak laki-laki nomor 2 di keluarga Covid-19 positif atau pasien PDP.

Istri pasien PDP atau Covid-19 positif punya relasi yaitu istri di Keluarga A. Di Keluarga A terjadi kontak istri dengan suaminya dan anak-anaknya. Salah seorang anaknya perempuan nomor 3 mempunyai komunitas sehingga terjadi kontak di komunitas ini. Salah seorang anggot komunitas, seorang laki-laki mempunyak istri. Ini pun terjadi kontak. Keluarga ini bisa saja kontak dengan orang-orang lain.

Anak yang lain, laki-laki nomor 4, berkeluarga yaitu di Keluarga B. Dalam keluarga ini juga terjadi kontak. Anggota keluarga ini pun bisa saja kontak lagi dengan orang lain dalam berbagai kegiatan dan kondisi.

Dalam kaitan ini tracing yang dilakukan oleh jajaran dinas-dinas kesehatan di kabupaten dan kota kalah cepat dengan penyebaran virus melalui kontak sosial dalam berbagai kegiatan, kesempatan dan kondisi.

Maka, tidak ada cara lain yang bisa memutus mata rantai penyebaran Covid-19 selain peran aktif masyarakat yang datang ke fasilitas kesehatan terdekat dengan keluhan kontak dengan seseorang dari keluarga dalam lingkaran positif Covid-19 atau pasien PDP.

Tanpa peran serta masyarakat secara aktif penyebaran Covid-19 di masyarakat terus terjadi tanpa bisa dikendalikan karena tidak ada vaksin Covid-19. Penyebaran Covid-19 di masyarakat bagaikan api dalam sekam yang kelak memicu ‘ledakan Covid-19’ di Indonesia (tagar.id, 25 April 2020). *

Tinggalkan Balasan