Fenomena Berita Hiperrealitas dan Orgams Journalistic di Pemilu Serentak 2024

Hiperrealitas memberikan gambaran yang tidak akurat, sedangkan orgasm journalistic tidak bisa mengecoh warga dengan tingkat literasi tertentu

Soal Hasil Quick Count, Ganjar: “Kamu Percaya Suara Saya Segitu?” Ini judul berita di VOA (14/2/2024).

Pencoblosan telah usai dengan suasana yang sangat-sangat kondusif karena anasir yang terkait dengan upaya mengacau jauh-jauh hari sudah ditangani pemerintah, dalam hal ini Densus 88.

Yang muncul kemudian adalah keterkejutan banyak kalangan terhadap hasil quick count yaitu hitung cepat berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah.

Lihat saja judul berita “VOA” di atas yang menyiratkan tanggapan yang naif. Selain itu berita di sebagian besar media massa, terutama stasiun televisi, serta media online atau portal berita mulai menyebarkan ‘isu’ terkait dengan kecurangan tapi hanya sebatas statement (pernyataan) dari kalangan-kalangan yang dibenamkan hasil quick count.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) kepada wartawan (15/2/2024) mengingatkan bahwa di TPS ada saksi partai, saksi Paslon Capres/Cawapres, ada saksi Caleg, ada Bawaslu dan aparat. Maka, Jokowi minta kalau ada bukti langsung disampaikan ke Bawaslu untuk seterusnya ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Jika hanya statement itu sama saja menyebarkan sakwa-sangka atau kecurigaan yang berujung fitnah [KBBI: perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelekkan orang (seperti menodai nama baik, merugikan kehormatan orang)].

Ada kemungkinan keterkejutan kalangan yang meragukan dan menolah hasil quick count berpijak pada ‘lautan massa’ yang menghadiri kampanye.

Tapi, perlu diingat bahwa ‘lautan manusia’ itu bisa jadi tidak sepenuhnya sebagai penggembira yang tulus yang dikenal sebagai relawan (volunteers), tapi ada yang dibayar melalui pengerahan massa.

Itu artinya terjadi hiperrealitas pada ‘lautan manusia’ yang mengikuti kampanye. Hiperrealitas adalah kodisi yang secara empiris tidak bisa membedakan antara fantasi, dalam hal ini ‘lautan manusia’dengan kenyataan tidak semua murni sebagai pendukung dan penggembira karena ada yang dibayar melalui pengerahan massa.

Baca juga: Timnas PSSI Korban Hyperreality Stasiun Televisi Nasional

Penyebutan jumlah juga tidak objektif karena tidak akurat. Ada berita menyebutkan ribuan, puluhan ribu, ratusan ribu serta jutaan tanpa memberikan dasar perhitungan yang bersifata matematis.

Secara empiris 1 meter persegi (m2) bisa diisi empat orang jika berdiri seperti lidi. Maka, kalau dalam berita disebut puluhan ribu, maka luas areal tempat massa itu ribuan meter persegi.

Misalnya, kalau disebut ada 10.000 pengunjung kampanye, maka luas arealnya 2.500 m2. Bisa 250 x 10 meter atau ukuran lain yang luasnya 2.500 m2.

Tapi, perlu diingat tidak sepenuhnya 1 m2 ototomatis diisin oleh empat orang karena berbagai alasan, seperti perbedaan jenis kelamin dan barang bawaan.

Kalau ada berita yang menyebut pengunjung kampanye 100.000, maka luas areal 25.000 m2. Misalnya, 250 x 100 meter. Ini sekitar dua kali lapangan sepak bola.

Maka, ada baiknya wartawan tidak gegabah menyebut jumlah pengunjung kampanye karena jika tidak tepat berita tersebut masuk kategori misleading (menyesatkan).

Baca juga: Zohri “Korban” Hiperrealitas Pemberitaan Media

Selain ‘lautan manusia’ yang tidak semuanya murni pendukung, simpatisan dan penggembira bisa juga berita dikembangkan dengan pijakan ‘orgasm journalistic’ yaitu berita yang tidak sepenuhnya berdasarkan kaidah dan kerja jurnalistik.

Media dijadikan corong baik oleh pemilik media, pendukung atau dengan bayaran untuk keperluan pribadi, kelompok atau partai terkait dengan bisnis, politik dan pencitraan tanpa memenuhi unsur-unsur layak berita yang baku.

Dalam dunia jurnalistik media massa dan media online yang hanya memberitakan pemilik media tersebut untuk tujuan yang tidak bersifat jurnalistik, artinya tidak memenuhi unsur-unsur jurnalistik, dikenal sebagai “orgasm journalistic” atau “jurnalisme onani” yaitu lebih mementingkan kepuasan sendiri, dalam hal ini pemilik media atau yang membayar iklan, daripada memenuhi hak publik untuk mendapatkan berita yang komprehensif.

Dalam kaitan ini bisa saja pemberitaan terkait dengan kontesasi ditampilkan sebagai berita dalam kandungan ‘jurnalisme onani.’

Baca juga: Jokowi Versus Orgasm Journalistic

Maka, dengan tingkat literasi tertentu, terutama masyarakat dengan frame of reference dan field of experience, seperti kalangan Gen Z dan milenial,   yang mumpuni bisa ‘membaca’ berita atau artikel yang ditulis dengan pijakan ‘orgasm journalistic’ sehingga tidak mempengaruhi mereka, dalam hal ini memutuskan pilihan untuk partai politik (Parpol) dan pasangan calon presiden dan wakil presiden (Capres/Cawapres).

Terkait dengan peroleh suara Paslon Nomor Urut 2 (Prabowo Subianto/Gibran Rakabuming Raka) yang muncul di quick count yang menghebohkan pada dasarnya bukan hal yang istimewa karena suara itu datang dari pendukung Jokowi ketika di Pilpres 2014 dan 2019.

Jokowi yang didukung oleh Bara JP (Barisan Relawan Jokowi Presiden), organisasi relawan pertama yang mendukung calon presiden di Indonesia, dalam hal ini Jokowi, mempunyai anggota aktif sebanyak 1,4 juta di media sosial (Facebook) sebelum dibajak bedebah.

Nah, jika tiap satu relawan mengajak 5-10 untuk memilih Jokowi tentulah ada 7-14 juta pemilih yang mencoblos Jokowi, terutama di Pilpres 2019.

Jika dilihat perbandingan suara yang diperoleh Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, di dua Pilres (2004 dan 2009) dengan dua Pilpres dengan Capres Jokowi (2014 dan 2019) tampak jelas perbedaannya:

Pilpres dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, sebagai Capres:

  • Pilpres 2004 – 44.990.704
  • Pilpres 2009 – 32.548.105

Pilpres dengan Joko Widoso (Jokowi) sebagai Capres:

  • Pilpres 2014 – 70.997.833
  • Pilpres 2019 – 85.607.362

Jika dilihat dua Pilpres dengan Jokowi sebagai Capres (2014 dan 2019), maka ada pertambahan suara yang sangat besar yaitu berkisar 30-40 juta.

Pemilih Jokowi di Pilpres 2014 dan 2019 itulah kemudian yang migrasi ke Paslon Nomor Urut 2 di Pilpres 2024, maka amat masuk akal angka yang melambungkan pasangan itu sebagai pemenang Pilpres 2024 satu putaran versi quick count. (Sumber: Kompasiana, 16/2/2024). *

Tinggalkan Balasan