Amarah Tidak Akan Pernah Bisa Selesaikan Masalah

Edukasi54 Dilihat

Unjuk rasa bagian dari demokrasi sebagai hak untuk menyuarakan aspirasi, tapi jika dengan amarah dan anarkisme tidak akan menyelesaikan masalah

Oleh: Syaiful W. Harahap

Belakangan ini muncul sikap anarkis di sebagian warga untuk menyuarakan sesuatu yang ditandai dengan amarah yang berlebihan. Membakar ruang kuliah, merusak laboratorium, membakar kantor, merusak pos polisi, bahkan membakar rumah warga dan saling bunuh.

Memang, amarah bisa memuncak ketika ada rasa tidak senang karena dihina, diabaikan, ditelantarkan, diperlakukan seenaknya, dst. Tapi, tanda disadari amarah sebagai emosi yang meluap-luap justru meningkatkan denyut jantung, mendorong tekanan darah bahkan adrenalin pun memuncak. Pada saat yang sama perilaku pun tidak lagi terkendali.

Kondisinya kian parah jika ada pihak yang memanas-manasi bahkan dengan intervensi masif yang dirancang sebelumnya. Amuk massa yang melibatkan sebuah komunitas, seperti warga desa, tidaklah muncul dengan tiba-tiba karena ada provokator dan penyandang dana.

Sejak perayaan kemerdekaan tanggal 17 Agustus 2019 kita dikejutkan dengan aksi-aksi saudara-saudara kita warga Papua di Papua dan Papua Barat yang merembet ke daerah-daerah lain di luar ‘Bumi Cendrawasih’. Di Pulau Jawa, di Sumatera, di Sulawesi, dan daerah lain muncul berbagai aksi yang menentang perlakuan berbau SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) yang dilontarkan aparat dan pentolan ormas (organisasi masyarakat) terhadap mahasiswa Papua di Asrama Papua di Kota Surabaya, Jawa Timur.

Saudara kita dari Papua dan Papua Barat tidak terima umpatan ‘monyet’ yang dilontarkan oleh orang-orang yang mengepung asrama itu. Aparat kepolisian ‘mengepung’ asrama itu karena ada dugaan perusakan bendera ‘Sang Saka Merah Putih’.

Yang disayangkan belum ada bukti keterlibatan mahasiswa Papua tapi penegakan hukum sudah dilakukan. Pengepungan juga dilakukan oleh beberapa ormas yang sebenarnya tidak mempunyai wewenang dalam penegakan hukum.

Unjuk rasa yang semula berjalan damai tapi berakhir dengan kericuhan. Di Manokwari (Papua Barat) Gedung DPRD dibakar. Di Sorong juga terjadi kericuhan. Sedangkan di Jayapura (Papua) gedung Telkom dibakar dan menara BTS lumpuh total. Di daerah-daerah lain di Papua juga terjadi unjuk rasa.

Yang menyedihkan unjuk rasa yang semula menentang ujaran kebencian bergulir ke ranah politik dengan pengibaran bendara “Bintang Kejora” dan isu referendum (jajak pendapat). Tidak ada alasan logis bagi Papua dan Papua Barat serta daerah lain di Indonesia untuk mewacanakan referendum. Dari Sabang (Aceh) sampai Merauke (Papua) dan dari Miangas (Sulut) sampai ke Rote (NTT) adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang merdeka tanggal 17 Agustus 1945.

Referendum selalu jadi alat yang tanpa disadari sering pula jadi lahan organisasi-organisasi yang tidak memiliki cita rasa nasionalisme. Mereka mendengung-dengungkan isu-isu yang bisa mengglobal dengan harapan ditanggapi dunia internasional tanpa memikirkan mudaratnya.

Papua sendiri ditetapkan sebagai daerah otonomi khusus (Otsus) melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua yang diundangkan tanggal 21 November 2001 di masa pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri. Penetapan Otsus ini menempatkan Papua sebagai daerah dengan perlakuan khusus, seperti Dewan Perwakilan Rakyat Papua (DPRP) yang kedudukannya setingkat dengan DPRD. Ada juga alokasi khusus dana pembangunan.

Dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2019, misalnya, pemerintah mengalokasikan dana untuk tiga daerah khusus yaitu Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat sebesar Rp 20,979 triliun. Sedangkan untuk Daerah Istimewa Yogyakarta disediakan dana Rp 1,2 triliun.

Dengan mengedepankan amarah yang terjadi adalah hal-hal yang destruktif. Kerusakan bangunan, kendaraan bermotor, fasilitas umum, kematian dan ketakutan masyarakat yang pada akhirnya meruntuhkan perekonomian daerah yang merusak peradaban.

Kerugian yang besar justru terjadi pada warga. Semua kegiatan pemerintahan, pendidikan dan perekonomian terganggu. Trauma yang berkepanjangan.

Unjuk rasa diperlukan untuk dukungan, tapi tidak dengan kekerasan dan anarkisme yang destruktif dengan merusak fasilitas umum, properti warga yang akhirnya menimbulkan ketakutan dan rasa tidak aman. (Sumber: Tagar.id, 18/5-2023). *

Tinggalkan Balasan