Laporan Kasus AIDS Nasional per Provinsi Priode Juli Sampai September 2011

KMAB125 Dilihat

KMAB18

Pada priode Juli – September 2021 dilaporkan 592 kasus AIDS, tapi beberapa daerah tidak ada laporan kasus AIDS

Oleh: Syaiful W. Harahap

Berdasarkan laporan di situs siha.kemkes.go.id, 7/2-2022, jumlah kasus AIDS yang dilaporkan pada priode triwulan ketiga tahun 2021 yaitu Juli – September adalah sebanyak 592.

Sedangkan secara nasional sejak tahun 1987 sampai 30 September 2022 jumlah kasus AIDS dilaporkan sebanyak 133.547.

Namun, perlu diingat bahwa jumlah kasus yang dilaporkan, dalam hal ini 133.547, tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).

Fenomena Gunung Es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Ada 11 provinsi dengan jumlah kasus terbanyak yang dilaporkan pada periode triwulan ketiga tahun 2021 Juli-September, yaitu:

(1) Jawa Tengah (Jateng) 148

(2) Bali 88

(3) Jawa Timur (Jatim) 41

(4) Kalimantan Timur (Kaltim) (35)

(5) Banten (32)

(6) Sulawesi Utara (Sulut) 30

(7) Nusa Tenggara Barat (NTB) 23

(8) Maluku Utara (Malut) 20

(9) Sulawesi Selatan (Sulsel) 18

(10) Aceh dan Kalimantan Barat (Kalbar) 15

Grafik: Kasus AIDS yang dilaporkan periode Juli – September 2021 berdasarkan jumlah terbayak per provinsi. (Sumber: siha.kemkes.go.id)

Beberapa daerah tidak ada laporan kasus AIDS, seperti Riau, Sulawesi Barat (Sulbar) dan Papua.

Selain itu sekarang tidak ada penjangkauan sehingga mempengaruhi jumlah penemuan kasus baru, seperti di kelompok kunci dan kalangan berisiko. Hal ini terjadi karena sejak Indonesia jadi anggota negara-negara kaya, G20, Indonesia tidak boleh lagi menerima grant atau hibah dari negara lain atau dari lembaga donor luar negeri.

Padahal, selama ini penjangkauan yang dilakukan oleh aktivis di lembaga-lembaga swadaya masyarakat (LSM) bersumber dari grant atau hibah lembaga-lembaga donor asing.

Dari aspek kelompok umur jumlah kasus AIDS yang dilaporkan pada priode Juli-September 2021 terbanyak pada kelompok umur 30-39 tahun dengan persentase tertinggi yaitu 34,5%, selanjutnya kelompok umur 20-29 tahun 28,4% dan kelompok umur 40-49 tahun 20,1% (Lihat Grafik).

Grafik: Kasus AIDS yang dilaporkan periode Juli – September 2021 berdasarkan kelompok umur. (Sumber: siha.kemkes.go.id)

Sedangkan dari aspek faktor risiko jumlah kasus AIDS yang dilaporkan pada priode Juli-September 2021 tertinggi melalui hubungan seksual berisiko pada heteroseksual 56,3%, homoseksual 33,3% dan tidak diketahui 6,8% (Lihat Grafik).

Grafik: Kasus AIDS yang dilaporkan periode Juli – September 2021 berdasarkan faktor risiko. (Sumber: siha.kemkes.go.id)

Dari 6.117 kasus HIV-positif yang dilaporkan pada priode Juli – September 2021 ad 5.558 yang menjalani terapi pengobatan (ART – antiretroviral theraphy) dengan obat antiretroviral (ARV). Itu artinya ada 559 orang yang positif HIV tidak menjalani ART.

Selain ada risiko mencapai masa AIDS bagi yang HIV-positif, mereka juga berisiko menularkan HIV ke orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah. Ke istri atau suami bagi yang menikah atau ke pasangan seksual lain dan bisa juga ke pekerja seks komersial (PSK).

Tentu saja perlu dicermati alasan 559 orang yang HIV-positit itu tidak menjalani ART.

Sebagai gambaran di beberapa daerah obat ARV hanya tersedia di rumah sakit di ibu kota provinsi dan ibu kota kabupaten. Ini sangat berat bagi yang tinggal jauh dari ibu kota provinsi atau kabupaten, terutama di daerah dengan sarana transportasi yang kurang atau di daerah kepulauan.

Mereka harus mengeluarkan ongkos yang besar dan harus menginap karena tidak bisa pulang-pergi pada hari yang sama. Ini salah satu faktor yang membuat orang-orang dengan HIV-positif tidak menjalani terapi ARV.

Perlu juga dipikirkan untuk membuat jaringan distribusi obat ARV agar bisa menjangkau daerah-daerah yang jauh dari ibu kota kabupaten atau daerah kepulauan

Jika orang-orang HIV-positif dibiarkan tidak menjalani terapi ARV mereka akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang kelak berujung pada pertambahan kasus HIV/AIDS baru. (Sumber: Kompasiana, 24/7-2022). *

Tinggalkan Balasan