Penanggulangan AIDS di Kota Cirebon Ada di Hilir

KMAB200 Dilihat

 

KMBA6

Tes HIV terhadap populasi berisiko langkah di hilir karena mereka telah tertular HIV, yang diperlukan langkah di hulu menurunkan insiden infeksi HIV baru

Oleh: Syaiful W. Harahap

“Tidak hanya dewasa, virus HIV kini juga sudah menjalar ke remaja bahkan anak-anak.” Ini ada dalam berita “Pengidap HIV AIDS Melonjak Selama Pandemi, Sebagian Besar Akibat Hubungan Sesama Jenis” (pikiran-rakyat.com, 9/7-2022).

Kalau saja wartawan dan sumber berita ini jeli dengan membawa fakta di atas ke ranah realitas sosial, maka dari jumlah anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS akan dapat gambaran terkait dengan penyebaran HIV/AIDS di Kota Cirebon, Jawa Barat.

Jika ada 1 anak-anak yang terdeteksi mengidap HIV/AIDS, maka ada 2 dewasa pengidap HIV/AIDS, yaitu ayah dan ibu anak tersebut.

Dari banyak kasus terungkap suami yang menularkan HIV/AIDS ke istrinya, selanjutnya istri yang tertular HIV/AIDS menularkan HIV/AIDS secara vertikal ke bayi yang dikandungnya terutama saat persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).

Maka, diperlukan regulasi yang komprehensif, misalnya melalui peraturan daerah (Perda) yaitu mewajibkan suami perempuan hamil menjalani tes HIV. Tapi, yang terjadi di banyak daerah justru sebaliknya. Perempuan hamil atau ibu rumah tangga yang diwajibkan tes HIV.

Langkah itu keliru dan bisa menyesatkan karena dari banyak kasus ketika istrinya terdeteksi HIV/AIDS suami menolak tes HIV. Bahkan, di Kabupaten Lebak, Banten, suami justru kabur meninggalkan istri di rumah sakit dan anak-anaknya.

Suami-suami yang menolak tes HIV ketika istrinya terdeteksi HIV-positif akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat secara horizontal, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Tentu akan lain halnya kalau suami yang diwajibkan tes HIV ketika istrinya hamil. Jika suami positif, istri baru jalani tes HIV. Jika istri positif, maka akan ditangani secara medis untuk menurunkan risiko penularan HIV/AIDS ke bayi yang dikandungnya.

Sedangkan suami-suami yang menjalani tes HIV akan dikonseling agar tidak menularkan HIV ke perempuan lain jika positif, dan akan diberikan cara-cara melindungi diri agar tidak tertular HIV/AIDS.

Agar tidak disebut sebagai perbuatan yang melawan hukum dan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), maka suami yang diwajibkan tes HIV jika istrinya hamil adalah mereka yang memakai fasilitas kesehatan pemerintah atau yang berobat dengan BPJS Kesehatan.

Sedangkan kasus HIV/AIDS pada remaja terjadi karena mereka tidak memperoleh informasi yang akurat tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS. Selama ini materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga fakta medis HIV/AIDS kabur dan menghasilkan mitos (anggapan yang salah).

Pada masa remaja dorongan seksual sangat tinggi dan hanya bisa disalurkan melalui hubungan seksual. Nah, mereka ada pada kondisi yang berisiko tinggi tertular HIV/AIDS karena tidak mengetahui cara-cara pencegahan yang realistis.

Disebutkan dalam berita: Dengan pelibatan banyak pihak, Sri Maryati (Sekretaris KPA Kota Cirebon-pen.) optimistis pencegahan penularan HIV bisa dilakukan dengan cepat.

Yang penting dalam penanggulangan HIV/AIDS adalah program yang konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, melalui perilaku-perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS.

Biarpun banyak pihak yang terlibat kalau tidak ada program yang konkret tentu saja hasilnya nol besar.

Paling tidak ada tiga pintu masuk HIV/AIDS ke Kota Cirebon yang harus diintervensi, yaitu:

Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom, dan

Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom.

Tanpa ada intervensi yaitu program pemakaian kondom kepada laki-laki pada perilaku berisiko di atas, maka insiden infeksi HIV baru di Kota Cirebon akan terus terjadi.

Warga yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi akan jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Disebutkan sampai tahun 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Kota Cirebon sebanyak 1.800.Dari jumlah ini 300 di antaranya ada pada masa AIDS (tertular antara 5-15 tahun sebelumnya dan mereka tidak meminum obat antiretroviral/ARV).

Yang perlu diingat jumlah kasus yang terdeteksi (1.800) tidak menggambarkan kasus HIV/AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.

Kasus yang terdeteksi (1.800) digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (lihat gambar).

Fenomena gunung es pada epidemi HV/AIDS. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Maka, Pemkot Cirebon harus mencari warga yang mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi melalui langkah-langkah yang konkret tanpa melawan hukum dan melanggar HAM.

Di judul disebutkan: Sebagian Besar Akibat Hubungan Sesama Jenis. Tapi, dalam berita tidak ada penjelasan.

Berita-berita yang mengumbar kasus HIV/AIDS diaitkan dengan ‘sesama jenis’ hanya untuk sensasi yang bombastis tanpa makna. Dalam epidemi HIV/AIDS kasus HIV/AIDS pada gay ada di terminal terakhir karena mereka tidak punya istri.

Yang jadi masalah besar adalah kasus HIV/AIDS pada laki-laki heteroseskual karena mereka punya istri, selingkuhan dan seks dengan pekerja seks komersial (PSK). Bahkan, ada laki-laki yang istrinya lebih dari satu sehingga kian banyak perempuan yang berisiko tertular HIV/AIDS jika seorang laki-laki heteroseksual tertular HIV/AIDS.

Disebutkan pula: “ …. pihaknya juga terus memantau dan melakukan pemeriksaan HIV terhadap populasi berisiko seperti pekerja seks, waria, ibu hamil, warga binaan, dan populasi kunci lainnya.”

Langkah di atas ada di hilir, yaitu setelah mereka tertular HIV/AIDS. Yang diperlukan adalah langkah di hulu yaitu intervensi terhadap laki-laki agar memakai kondom jika melalukan hubungan seksual berisiko.

Maka, tanpa langkah konkret di hulu penyebaran HIV/AIDS akan terus terjadi di Kota Cirebon sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 12/7-2022). *

Tinggalkan Balasan