Fenomena Lelaki Suka Seks Lelaki (LSL) Dalam Epidemi AIDS

Kesehatan89 Dilihat

Di awal epidemi HIV/AIDS laki-laki gay (laki-laki tertarik secara seksual kepada laki-laki) menjadi menjadi ’kambing hitam’ karena kasus pertama AIDS diidentifikasi di kalangan gay di San Francisco, California, Amerika Serikat, 1981. Ketika penyebaran HIV mulai ’mendunia’ kasus HIV/AIDS pun diidentifikasi di luar kalangan gay, seperti pekerja seks komersial (PSK), laki-laki ’hidung belang’ bahkan di kalangan ibu rumah tangga.

Secara global dan nasional faktor risiko (mode of transmission) HIV/AIDS penularan HIV adalah hubungan seksual pada heteroseksual (laki-laki secara seksual tertarik dengan perempuan dan sebaliknya) di dalam dan di luar nikah.

Belakangan, faktor risiko penularan HIV/AIDS pun terdeteksi di kalangan laki-laki heteroseksual yang juga tertarik secara seksual kepada laki-laki yang dikenal sebagai laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan laki-laki dan juga laki-laki gay. Kalangan ini dikenal sebagai LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki).

Laporan Ditjen P2P, Kemenkes RI, tanggal 25 Mei 2021, menunjukkan kasus HIV-positif secara nasional dari tahun 1987 –Maret 2021 faktor risiko penularan homoseksual sebesar 17,5% dari 427.201 kasus. Sedangkan faktor risiko homoseksual pada kasus AIDS sebesar 8,2% dari 131.417 kasus AIDS nasional. Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS per Maret 2021 sebanyak 558.618.

Kalangan biseksual ini tetap tidak mengidentikkan diri sebagai laki-laki biseksual karena tidak kasat mata dan dalam kehidupan sehari-hari secara seksual mereka heteroseksual, seperti mempunyai istri. Sedangkan LSL laki-laki homoseksual dikenal sebagai gay, yaitu laki-laki yang orientasi seksualnya tertarik kepada laki-laki.

Di Indonesia diperkirakan ada 800.000 LSL. Dari jumlah ini 60.000 – 80.000 di antaranya berada di Jakarta. Sedangkan kalangan ahli epidemiologi memperkirakan LSL di Indonesia sekitar tiga juta (Diperkirakan 3 Juta Pria Lakukan Seks Sejenis, kompas.com, 18/3-2011).

LSL ada yang merupakan laki-laki heteroseksual yang beristri, tapi secara seksual juga tertarik kepada laki-laki yang dikenal sebagai biseksual. Mereka ini bukan laki-laki gay atau waria. Mereka jua melakukan hubungan seks anal dengan waria.

Laki-laki biseksual inilah yang menjadi jembatan penyebaran IMS (infeksi menular seksual yaitu penyakit-penyakit yang ditularkan melalui hubungan seksual tanpa kondom, di dalam dan di luar nikah, dari seseorang yang mengidap IMS kepada orang lain, seperti sifilis, GO, klamidia, hepatitis B, dll.) serta HIV/AIDS ke istri atau pasangan seksnya. 

Jika ada LSL yang tertular IMS atau HIV/AIDS atau dua-duanya sekaligus maka LSL itu pun menyebarkan HIV di komunitasnya. Yang beristri menularkan ke istrinya, perempuan lain yang jadi pasangannya atau pekerja seks komersial (PSK). Jika istrinya tertular HIV maka ada pula risiko penularan HIV kepada bayi yang dikandungnya kelak ketika di kandungan, saat persalinan atau ketika menyusui bayi dengan air susu ibu (ASI).

Karena LSL dikhawatirkan akan menjadi salah satu mata rantai penyebaran HIV/AIDS yang potensial, maka ada inisiatif dari enam kota besar di Asia untuk menyelenggarakan pertemuan rutin membahas langkah-langkah penanggulangan. Kota-kota itu adalah Bangkok, Chengdu, Ho Chi Minh City, Jakarta, Manila, dan Yangon.

Di Indonesia sendiri penelitian tahun pada 2007 di enam kota menunjukkan prevalensi (perbandingan antara LSL yang HIV-positif dan LSL yang HIV-negatif) mencapai 5,2%. Artinya, dari 100 LSL ada 5,2 LSL yang mengidap HIV/AIDS.

Biar pun prevalensi HIV/AIDS di kalangan LSL tinggi, celakanya upaya penjangkauan (outreach) terhadap LSL sangat rendah. Di 12 negara di Asia, termasuk Indonesia, tahun 2005 program penanggulangan HIV di kalangan LSL diperkirakan baru menjangaku 8% dari populasi LSL.

Dalam kaitan itulah KPAP DKI Jakarta mengembangkan program penjangkauan dengan menggandeng jaringan gay, waria, LSL (GWL)-INA (2011). Penjangkauan merupakan langkah yang tepat karena jika tidak ada intervensi langsung maka pada tahun 2020 diperkirakan separuh dari penularan HIV kota-kota besar di Asia terjadi di kalangan LSL.

Ada juga LSL yang melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung (PSK di lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (cewek bar, cewek disko, anak sekolah, mahasiswi, cewek SPG, ibu rumah tangga, selingkuhan, WIL, dll.). Dalam kaitan ini pun LSL menjadi jembatan penyebaran HIV dari PSK langsung atau PSK tidak langsung ke masyarakat. Hal sana juga terjadi di komunitas LSL jika LSL pengidap HIV/AIDS melakukan kontak seksual dengan LSL di komunitasnya.  

LSL bisa ‘muncul’ di berbagai komunitas dan kesempatan, seperti di asrama yang diatur berdasarkan jenis kelamin, anak buah kapal (ABK), pekerja lepas pantai, atau narapidana. Asrama dengan jenis kelamin perempuan bisa muncul homoseksualitas yang dikenal sebagai lesbian, tapi praktek seks mereka tidak berisiko menularkan HIV/AIDS karena tidak ada seks penetrasi.

Jika LSL tidak menerapkan perilaku seks yang aman, yaitu selalu memakai kondom ketika melakukan hubungan seksual dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan PSK serta waria, maka ada risiko penyebaran IMS dan HIV/AIDS. Di satu komunitas seorang LSL bisa saja melakukan hubungan seksual dengan waria, PSK langsung atau PSK tidak langsung, serta dengan LSL di komunitas lain.

Di kalangan LSL, dalam hal ini biseksual yang seks dengan laki-laki atau waria, ada semacam pembenaran bahwa mereka tidak mengingkari cinta terhadap istrinya karena tidak melakukan hubungan seksual dengan perempuan.

Karena LSL sudah merupakan fenomena sosial maka yang perlu dilakukan adalah penjangkauan terhadap LSL agar mata rantai penyebaran HIV melalui LSL dapat diputus. Ini akan menurunkan potensi ‘bom waktu’ ledakan AIDS. *

Tinggalkan Balasan