Menelusuri Awal Penyebaran HIV/AIDS di Indonesia

Edukasi170 Dilihat

Biarpun sebelum tahun 1987 sudah ada kasus kematian terkait dengan HIV/AIDS di Indonesia disebut sebagai ARC (AIDS Related Complex), tapi pemerintah bersikukuh bahwa kasus HIV/AIDS pertama di Indonesia adalah kasus HIV/AIDS yang terdeteksi pada seorang turis Belanda yang meninggal di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 1987.

Ditjen P2P, Kemenkes RI, 25 Mei 2021, melaporkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia periode 1987 sampai 31 Maret 2021 sebanyak 558.618 yang terdiri atas 427.201 HIV dan  131.417 AIDS.

Penetapan pemerintah ini bermuatan politis dan sangat normatif, sekaligus mengukuhkan mitos (anggapan yang salah) yang berkembang sejak publikasi AIDS pertama di Amerika Serikat (AS) tahun 1981, yaitu: AIDS penyakit bule, AIDS dibawa dari luar negeri, dan AIDS penyakit homoseksual. Mitos ini diperkuat lagi dengan pernyataan pejabat dan tokoh-tokoh Indonesia di awal-awal epidemi HIV/AIDS sehingga menjadi pegangan banyak orang sampai sekarang.

Celakanya, sampai sekarang cara-cara menanggapi dan mengomentari HIV/AIDS nyaris tidak berubah sejak awal epidemi. Hal yang sama terjadi pada sebagian besar media (media massa dan media online) yang tidak mengedepankan fakta medis, tapi membalut berita dengan norma, moral dan agama sehingga lagi-lagi menyuburkan mitos.

Bahkan, terkesan mundur karena memberikan komentar dan pernyataan yang tidak akurat karena hanya bertopang pada norma, moral dan agama, seperti mengaitkan penularan HIV dengan zina, melacur, seks bebas, jajan, selingkuh, dan lain-lain yang sama sekali tidak terkait langsung dengan penularan HIV/AIDS.

  1. Penderita Gejala AIDS Ringan Sudah Banyak

Tahun 1983 dr Zubairi Djoerban, ketika itu staf Sub-Bagian Hematologi-Penyakit Dalam FK UI, meneliti kalangan homoseksual dan waria di Jakarta terkait leukemia. Hasil penelitian dr Zubairi ada tiga waria yang menunjukkan gejala mirip AIDS. Tapi, karena ketika itu definisi AIDS masih kabur maka gejala itu, lemas-lemas seperti yang dikeluhkan ketiga waria itu, disebut sebagai ARC.

Tahun 1986 seorang perempuan berusia 25 tahun meninggal dunia di RSCM Jakarta. Tes darahnya memastikan bahwa dia terinfeksi HTLV-III, dan dengan gejala klinis yang menunjukkan AIDS. Kasus ini tidak dilaporkan oleh Depkes.

Pada tahun yang sama Direktur RS Islam Jakarta, dr H Sugiat, melaporkan kasus pasien yang mati di rumah sakit itu (7/1-1986) karena AIDS melalui surat kepada Menkes melalui Kanwil Depkes DKI Jakarta.Ditemukan virus HTLV III dalam darah pasien melalui tes darah metode ELISA. Contoh darah pasien tersebut dites dengan Western blot di RS Walter Reed, AS, hasilnya negatif. Belakangan kematian pasien itu disebut-sebut sebagai ARC.

Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Depkes, Prof Dr AA Loedin, kembali menegaskan bahwa saat ini (sampai tahun 1986-pen.) penderita AIDS belum ada di Indonesia, tetapi penderita gejala ringan AIDS yang disebut ARC, sudah cukup banyak. “Jumlah penderita ARC kalau dihitung mencapai ratusan.” (Harian “Suara Karya”, 9/4-1986).

Biar pun sudah ada kasus yang erat kaitannya dengan AIDS, tapi pemerintah, dalam hal ini Depkes RI, baru mau mengakui AIDS sudah ada di Indonesia melalui kematian EGH, 44 tahun, seorang turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 5 April 1987 karena penyakit terkait AIDS. EGH tiba di Denpasar tanggal 26 Maret 1987.

Kasus ini membuat Indonesia masuk dalam daftar Badan Kesehatan Sedunia (WHO) sebagai negara ke-13 di Benua Asia yang melaporkan ada kasus AIDS. Indonesia menetapkan HIV/AIDS resmi sebagai penyakit menular yang dikuatkan dengan Instruksi Menteri Kesehatan No. 72/Menkes/Inst/II tanggal 11 Februari 1988.

Ketika Indonesia ‘geger’ karena kematian ‘bule’ di Denpasar itu, di rumah sakit yang sama justru seorang WNI, pria asli Indonesia, 35 tahun, meninggal dunia juga karena penyakit terkait AIDS di RS Sanglah, Denpasar, Bali, 23 Juni 1988.

  1. Mitos dan Stigmatisasi

Tes darah pria ini dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. Sekretaris Panitia Penanggulangan AIDS Depkes, dr Suriadi Gunawan, MPH, membenarkan hal itu. Tes dengan ELISA di Bali dan Western blot di Jakarta menunjukkan hasil positif. (Harian “Kompas”, 22/7-1988).

Jika disimak matriks (Menelusur Kasus Awal HIV/AIDS di Indonesia) WNI yang meninggal di Denpasar (1988) kemungkinan tertular HIV antara tahun 1973 dan 1983 dengan perhitungan rentang waktu mencapai masa AIDS antara 5 dan 15 tahun. Ini jauh sebelum EGH tiba di Bali.

Bahkan, tahun 1987 Depkes RI melaporkan 5 kasus HIV dan 2 kasus AIDS. Ini menunjukkan 2 kasus AIDS tertular antara tahun 1972 dan 1982. Maka, kalau ada asumsi atau anggapan bahwa AIDS dibawa orang ‘bule’ dari luar negeri maka fakta ini memupus asumsi tsb.

Di tahun 1984 Kepala Divisi Transfusi Darah PMI, Dr Masri Rustam, mengatakan masyarakat tidak perlu khawatir AIDS menyerang penerima transfusi darah pencegahan dilakukan dengan melarang kaum homoseksual atau waria menjadi donor darah.

Padahal, tahun 1985 Menkes, ketika itu, Dr Suwardjono Suryaningrat, mengatakan bahwa belum pernah ditemukan orang yang betul-betul terkena penyakit AIDS. Menjawab pertanyaan wartawan, Menkes komentar “Kalau kita taqwa pada Tuhan, kita tidak perlu khawatir terjangkit penyakit AIDS.”

Ini salah satu pernyataan yang menyuburkan mitos (anggapan yang salah) dan stigmatisasi (pemberian cap buruk) serta diskriminasi (perlakuan yang berbeda) terhadap orang-orang yang tertular HIV, termasuk yang tertular melalui cara-cara yang justru dibenarkan agama, seperti transfusi darah dan transplantasi organ tubuh.

Apakah orang yang tidak bertaqwa otomatis tertular HIV? Lalu, apa ukuran taqwa yang bisa mencegah penularan HIV, seperti melalui transfusi darah? Kemudian, apa alat ukur dan siapa yang berhak menakar ketaqwaan seseorang terkait dengan pencegahan HIV?

  1. Indonesia Diingatkan Oleh UNAIDS

Begitu pula dengan pernyataan Ketua PMI yang mengesankan HIV/AIDS hanya ada di kalangan waria dan homoseksual. Ini pun menyuburkan mitos yang sampai sekarang sangat sulit dihapuskan dari memori sebagian orang Indonesia.

Tahun 1986 ada usulan dari kalangan dokter di RSCM Jakarta untuk melakukan surveilans tes HIV terhadap kalangan yang dianggap berisiko tinggi tertular HIV, al. pekerja seks dan homoseksual. Usul ini muncul karena di banyak negara kasus HIV/AIDS mulai bermunculan, sedangkan di Indonesia sama sekali tidak ada kegiatan mendeteksi HIV/AIDS. Hal ini dikemukakan oleh dr Zubairi Djoerban, Kasub Hematologi, Bag. Ilmu Penyakit Dalam FKUI/RSCM.

Sebuah tim dari Hematologi FKUI/RSCM melakukan pemeriksaan HIV dengan ELISA terhadap 7.464 orang dari kalangan risiko tinggi yang tidak menunjukkan gejala klinis AIDS pada kurun waktu April-September 1986. Hasilnya? Reaksi positif pada tes pertama 47, tes ulang tinggal 18 yang reaksi positif. Dari 18 ini hanya 8 yang mau melanjutkan pemeriksaan. Hasilnya, 4 terdeteksi imunitas selular dan 4 terdapat antigen HIV.

Tahun 1987 dilaporkan ada tiga penduduk Indonesia yang ‘terjangkit’ AIDS. Menanggapi fakta ini, Kabalitbang Depkes RI, waktu itu Prof. Dr. AA Loedin, mengatakan: “Jangan Ikut-ikutan Panik Terhadap AIDS.”

Disebutkan pula, kasus AIDS masih relatif tertanggulangi di Indonesia.Jadi, penyakit ini tidak usah dijadikan persoalan nasional. Ketua IDI Cab. Denpasar, waktu itu, Dr. Agus Bagiada “Biar saja bangsa Barat kalang kabut, tapi jangan impor keresahan mereka ke sini. Sebab berbeda dengan bangsa Indonesia, umumnya bangsa Barat tidak berpengalaman menanggulangi kasus penyakit menular, sehingga mereka menjadi sangat panik.” (Harian “Suara Pembaruan”, 21/9-1987).

Pada tahun 1989 dilaporkan ada lima orang yang ’diduga’ mengidap penyakit terkait AIDS secara rutin konsultasi ke Kelompok Studi Khusus AIDS (Pokdisus AIDS) Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)/RS Cipto Mangunkusumo Jakarta. Pada tahun ini juga dilaporkan ada WNI yang meninggal di RS dr. Soetomo, Surabaya. Dikabarkan, ‘teman kencan’ laki-laki ini cemas. Celakanya, kalangan rumah sakit justru panik menghadapi kasus ini.

Kalau saja sejak ditemukan kasus HIV/AIDS di Indonesia dilakukan langkah-langkah penanggulangan yang konkret tentulah akan lain hasilnya. Tapi, karena yang terjadi hanya sanggahan dan penyangkalah, maka jangan heran kalau sekarang. kasus HIV dan AIDS terdeteksi terus-menerus di semua daerah. Indonesia menjadi salah satu dari tiga negara di Asia, setelah Cina dan India yang tinggi percepatan laju infeksi baru HIV, khususnya di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik yang bergantian.

Peringatan terhadap Indonesia terkait epidemi HIV/AIDS sudah juga dikumandangkan oleh Dr Peter Piot, waktu itu Direktur Eksekutif UNAIDS (Badan PBB untuk AIDS). Dalam pidato pembukaan, Dr Piot secara khusus menyoroti peningkatan epidemi HIV di kalangan pengguna narkoba dengan jarum suntik berganti-ganti di Indonesia.

Di Indonesia sendiri kasus kumulatif HIV/AIDS sampai 30 Juni 2001, seperti dilaporkan Ditjen PPM & PL Depkes RI, tercatat 2.150. Dari jumlah ini tercatat 415 pengguna narkoba yang terdiri atas 309 HIV dan 106 AIDS. Estimasi UNAIDS/WHO kasus HIV/AIDS di Indonesia 52.000, sedangkan Depkes RI memperkirakan 120.000 kasus. Jumlah ini bertambah drastis karena diperkirakan ada 60.000 – 80.000 pengguna narkoba suntikan (Syaiful W. Harahap, AIDS di Indonesia Menjadi Sorotan, Harian “SUARA PEMBARUAN”, Jakarta, 6 Oktober 2001)

  1. Debat Kusir

Di tahun 1985 dr. Zubairi mengatakan bila penyakit AIDS sampai menyerang masyarakat akan sulit dicegah. Begitu pula dengan Dr A. Haryanto Reksodiputro, ketika itu Kepala Bagian Penyakit Dalam FK UI, mengingatkan masyarakat perlu memperoleh penjelasan tentang AIDS tapi tidak menimbulkan kepanikan.

Kepada Harian Kompas, Dr Haryanto mengingatkan bahwa akan ada konsekuensi yang besar jika AIDS sudah ada di Indonesia. Biaya yang mahal akan dikeluarkan untuk skrining darah untuk transfusi. Biaya yang besar juga diperlukan untuk memeriksa antibody HIV pada orang-orang yang diduga tertular HIV. Sub-Bagian Hematologi Penyakit Dalam FKUI mendeteksi antibody HIV dengan ELISA. Ketika itu harga reagent-nya Rp 10.000. (Harian “Kompas”, 10/8-1985).

Terkait dengan informasi HIV/AIDS melalui media massa yang tidak komprehensif sudah disuarakan oleh Prof Dr AA Loeddin, ketika itu Kalitbang Depkes RI, yang menilai bahwa media massa di Indonesia belum banyak membantu dalam upaya menyadarkan masyarakat mengenai masalah AIDS. Media massa dinilainya lebih banyak membuat sensasi dan hal itu justru telah membuat masyarakat gelisah (Tajuk Rencana, Harian “Suara Pembaruan”, 22/6-1987).

Analisis berita-berita HIV/AIDS di media massa nasional periode 1987 – 2000 merupakan isi buku “Pers Meliput AIDS” (Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000).

Kalangan pejabat juga ada yang menuding media massa menyebar ’kabar bohong’ tentang kasus HIV/AIDS di Indonesia. Terkait dengan hal ini Ketua Umum IDI Pusat, ketika itu, dr Kartono Mohamad, mengatakan: Ribut-ribut tentang AIDS.Pilihan kita dalam hal ini memang tidak dapat lain, kecuali mengumumkan jika memang benar ada kasus AIDS di Indonesia, karena hanya masyarakatlah yang dapat mencegah penyebarannya. Bukan pemerintah dan bukan pula dokter. Ribut-ribut saling bantah justru makin membingungkan. Kalau memang berita pers tidak benar, maka perlu ditunjukkan di mana letak kebohongan berita itu. (Harian “Kompas”, 9/4-1986).

Pernyataan pakar-pakar ternyata hanya bagaikan ‘anjing menggonggong kafilah berlalu’ karena dibantah oleh pejabat dan pemuka masyarakat yang justru didengar rakyat walaupun yang mereka sampaikan hanya mitos.

Lihatlah pernyataan dr Adhyatma, ketika itu Dirjen Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan Pemukiman (P2MPLP), Depkes RI, “ …. mengakui sulit mencegah masuknya AIDS ke Indonesia, karena Indonesia adalah negara terbuka. “Apalagi di sana sini banyak praktek pelacuran dan kebiasaan kumpul kebo pun mulai masuk ke Indonesia. Jadi AIDS sulit dicegah masuk. Tapi sebenarnya memberantasnya tidak sulit.Caranya, berantas saja perzinahan dan kemesuman. Dan ini tentu bukan tugas Depkes saja.” (Harian “Kompas”, 4/9-1985).

  1. Turis Timur Tengah ke Puncak Hasilkan Pemain Sinetron

Pernyataan-pernyataan yang tidak akurat terus bermunculan dengan muatan norma, moral dan agama. Coba simak berita ini: Boyke Dian Nugraha: Korban AIDS bisa Berubah Mirip Monster. Ada nasihat dari pakar seks, Prof. Dr. Boyke Dian Nugraha, SOG, untuk siswa SMU tentang bahaya HIV Aids. Seseorang yang terkena Aids, dalam 5 tahun wajahnya akan berubah mirip monster. Tidak peduli apakah wanita itu cantik dan lelaki ganteng. Semuanya akan berubah menjadi monster. Hal itu dikemukakan, Boyke Dian Nugraha, saat berbicara dalam seminar yang dihadiri pelajar SMU di Surabaya (29/5). (Harian “Bali Post”, 30/5-2000).

Mengumbar mitos terus terjadi, seperti yang diberitakan Harian “Pos Metro Balikpapan” (30/5-2009) ini: Pada kesempatan itu, dr Boyke juga memaparkan bahaya atau dampak yang ditimbulkan dari selingkuh berupa, kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit kelamin di antaranya AIDS dan perceraian. “AIDS itu ‘anunya itu dimasukan sembarangan’, jadi kalau enggak mau kena AIDS jangan berselingkuh,” tegasnya yang lagi-lagi disambut tawa kaum ibu. Untuk menginspirasi agar orang tidak berselingkuh, kemarin, ia pun memperdengarkan salah satu lagu dari album Bunga Jantungku.

Kalangan artis pun ikut pula nimbrung menyuburkan mitos. Pada acara Redaktur Hebooh (ANTEVE, 21/4-2000), Nurul Arifin mengatakan selingkuh sebagai salah satu faktor risiko penularan HIV (Newsletter HindarAIDSNo. 46, 5 Juni 2000).

Pernyataan yang tidak komprehensif tentang HIV/AIDS terus berlanjut. Ini judul berita di Harian “Fajar”, Makassar, 2/12-2005: JK (Wakil Presiden Jusuf Kalla-pen.): Mau Tetap Berdosa, Pakai Kondom. Dalam berita disebutkan JK mengatakan: “Yang harus kita katakan adalah melakukan hubungan seks tidak dengan istri itu adalah dosa. Tetapi, kalau Anda memang tetap ingin berdosa ya, pakailah kondom agar tidak mengorbankan keluarga dan diri sendiri.”

Ini masih pernyataan Wapres Jusuf Kalla: “Anak-anak yang ditinggalkan akan memiliki gen yang lebih baik dan dapat menjadi pemain sinetron.” Itulah pernyataan Wapres Jusuf Kalla pada promosi pariwisata tentang turis Timur Tengah datang ke Puncak, Jawa Barat, untuk mencari janda atau melakukan pernikahan singkat (Harian ”KOMPAS”, 1/7-2006). [‘Pernikahan Singkat’ (Bisa) Mewariskan AIDS].

  1. Biksu di Thailand Dukung Penanggulangan HIV/AIDS

Maka, tidak mengherankan kalau sampai sekarang mitos tetap menyelimuti informasi HIV/AIDS yang menjalar ke penanggulangan epidemi HIV. Lihat saja pencegahan dan penanggulangan epidemi HIV di 120-an Perda Penanggulangan AIDS di Indonesia. Tidak satu pun pasal di perda-perda itu yang menawarkan cara pencegahan yang konkret.

Padahal, HIV/AIDS adalah fakta medis yang bisa diuji di laboratorium dengan teknologi kedokteran. Maka, penanggulangan dan pencegahannya pun dapat pula dilakukan secara medis, realistis dan masuk akal (sehat).

Tampaknya, sebagian dari kita memilih ‘debat kusir’ soal penanggulangan epidemi HIV dengan membenturkan norma, moral dan agama kepada fakta medis. Jika paradigma kita tidak berubah, maka kita tinggal menunggu pengalaman Thailand terjadi di Indonesia.

Dua dekade yang lalu pemerintah Thailand sudah diingatkan oleh pakar epidemiologi agar menanggulangi epidemi HIV dengan serius. Tapi, pemerintah Negeri Gajah Putih itu menampik dengan alasan masyarakatnya berbudaya dan beragama. Satu dekade kemudian dilaporkan kasus HIV/AIDS mendekati angka 1.000.0000. Devisa dari pariwisata hanya bisa menyumbang 2/3 kepada biaya penanggulangan HIV/AIDS di sana.

Untunglah biksu di Thailand membuka pintu vihara lebar-lebar bagi penderita AIDS yang tidak tertampung di rumah sakit. Jerih payah tanpa pamrih bhiku ini menghasilkan Hadiah Ramon Magsaysay. Sebuah penghargaan internasional.

Indonesia juga ‘beruntung’ karena ada donor asing yang mendanai penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, mulai dari penanggulangan sampai pengobatan, al. pembelian obat antiretroviral (ARV). Tapi, jika kelak donor hengkang, maka: Apakah dana dari APBN dan APBD cukup untuk biaya penanganan Odha (Orang dengan HIV/AIDS –cara penulisannya tidak dengan huruf kapital karena bukan merupakan akronim) dan penanggulangan epidemi HIV?

Jika penolakan terhadap Odha terus berlanjut, maka: Apakah kelak pintu rumah-rumah ibadah di negeri ini terbuka lebar bagi Odha?

Sejarah akan mencatat langkah pemerintah dalam menanggulangi epidemi HIV/AIDS di negeri ini (AIDS Watch Indonesia, 1 Desember 2021). *

Tinggalkan Balasan