KMAB43
Mendorong KPK mengatur sanksi pidana berat bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks di kalangan penyelenggara negara dan CEO korporasi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar pertemuan dengan ratusan pemimpin perusahaan swasta di Medan, Sumatera Utara (24/6-2013). Materi yang dibahas pada pertemuan tsb. adalah seputar pencegahan dan pemberantasan gratifikasi seks dan suap melalui fasilitas hiburan (TRIBUNnews.com, 23/6-2013).
Terlepas dari apakah gratifikasi seks dan suap fasilitas hiburan berupa cewek yang diberikan pihak swasta ke penyelenggara negara merupakan korupsi atau tidak, tapi dari aspek epidemi HIV/AIDS gratifikasi seks merupakan salah satu faktor pendorong penyebaran HIV/AIDS di kalangan pejabat atau penyelenggara negara.
Kasus kumulatif HIV/AIDS di Indonesia sampai Desember 2012 mencapai 143.889 yang terdiri atas 98.390 HIV dan 45.499 AIDS dengan 8.235 kematian. Sedangkan sampai 30 September 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS nasional mencapai 579.188 yang terdiri atas 445.641 HIV dan 133.547 AIDS.
Yang perlu diingat adalah angka ini tidak menggambarkan kasus yang sebenarnya di masyarakat karena banyak orang yang sudah mengidap HIV/AIDS tapi tidak terdeteksi yang dikenal sebagai fenomena gunung es.
Jumlah kasus yang dilaporkan tidak menggambarkan kasus AIDS yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat matriks).
Ada anggapan bahwa cewek atau perempuan yang berisiko menularkan HIV/AIDS hanyalah cewek atau perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK) di lokasi pelacuran dan di tempat-tempat hiburan malam, termasuk ‘panti pijat plus-plus.’
Anggapan itu merupakan mitos (anggapan yang salah) karena risiko tertular HIV/AIDS pada cewek atau perempuan bukan karena dia seorang PSK atau perempuan pekerja di tempat hiburan malam dan panti pijat, tapi karena perilakunya yaitu sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti.
Sekarang dikenal sebagai cewek prostitusi online karena lokalisasi pelacuran sudah pindah ke media sosial sejak lokalisasi pelacuran ditutup sejak reformasi bergulir. Transaksi seks dilakukan melalui ponsel dengan eksekusi pada sembarang waktu dan di sembarang tempat.
Seorang perempuan, dalam hal ini cewek yang menjadi gratifikasi seks, berisiko tertular HIV karena dia sering melakukan hubungan seksual, di dalam dan di luar nikah, dengan laki-laki yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom (lihat matriks).
Seperti yang ada dalam matriks, seorang cewek gratifikasi seks pernah melakukan hubungan seksual dengan banyak laki-laki. Di antara laki-laki tsb. ada juga yang menjadi pelanggan PSK. Ada pula yang punya pasangan waria. Ada lagi yang juga punya pasangan laki-laki lain, disebut LSL yaitu lelaki yang suka seks lelaki.
Ada kemungkinan salah satu dari laki-laki yang pernah melakukan hubungan seksual dengan cewek gratifikasi seks mengidap HIV/AIDS sehingga ada risiko penularan pada cewek gratifikasi seks.
Ketika seorang penyelenggara negara menerima cewek gratifikasi ada dua kemungkinan yang terjadi, yaitu:
(1) Laki-laki penyelenggara negara tersebut justru pengidap HIV/AIDS, maka dia menularkan HIV/AIDS kepada cewek gratifikasi seks.
(2) Laki-laki penyelenggara negara yang menerima cewek gratifikasi seks yang sudah mengidap HIV/AIDS berisiko tertular HIV.
Dalam kehidupan sehari-hari laki-laki penyelenggara negara yang menularkan HIV kepada cewek gratifikasi seks dan laki-laki penyelenggara negara yang tertularHIV dari cewek gratifikasi seks bisa saja sebagai suami.
Maka, mereka pun akan menularkan HIV kepada istrinya (horizontal). Jika istri mereka tertular HIV, anak yang dikandung istri pun berisiko pula tertular HIV (vertikal).
Bisa saja terjadi cewek gratifikasi seks justru merupakan ‘langganan’ dari pelaku usaha swasta sehingga petinggi di pihak swasta itu pun bisa mengalami hal yang sama dengan penyelenggara negara.
Di beberapa daerah kasus HIV/AIDS mulai terdeteksi pada PNS dan aparat serta pengusaha. Ini merupakan konksekuensi logis karena, (a) ada kemungkinan mereka menerima cewek gratifikasi, atau (b) mereka mempunyai uang karena mendapat penghasilan yang tetap sehingga bisa membeli seks secara rutin.
Maka, upaya KPK untuk mengatur sanksi pidana bagi pemberi dan penerima gratifikasi seks merupakan salah satu langkah yang berarti dalam upaya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia, terutama pada kalangan penyelenggara negara dan CEO korporasi. (Sumber: AIDS Watch Indonesia, 23/6-2013). *