Survei tahun 2012 menunjukkan 4,9 juta perempuan di Indonesia mempunyai suami yang jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK). Dilaporkan 6,7 juta laki-laki jadi pelanggan PSK. Sedangkan jumlah sindrom stunting (perawakan pendek karena kegagalan pertumbuhan akibat kekurangan nutrisi) pada anak-anak Indonesia mencapai 8,9 juta.
Hari ini, 1 Desember 2017, secara internasional diperingati sebagai Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day).
Sayangnya, di Indonesia Hari AIDS Sedunia (HAS) hanya bagian dari kegiatan seremonial yang tidak bermakna karena tidak berkesinambungan. Ada yang seminar, diskusi, bagi-bagi kondom, bagi-bagi brosur, kembang, dll. Pada saat yang sama perilaku seksual berisiko tertular HIV/AIDS terjadi di sembarang tempat yang menghasilkan kasus-kasus infeksi HIV baru, khususnya pada laki-laki dewasa.
Kondisinya kian runyam karena banyak media tidak menjadikan HAS sebagai newspeg untuk memasyarakatkan pencegahan HIV/AIDS. Sebagian meida justru tidak membawa fakta HIV/AIDS pada ibu rumah dan stunting ke ranah realitas sosial. Banyak media yang justru mengumbar sensasi yaitu menjadikan kondom sebagai berita dengan kaitan moralitas sehingga menggelapkan fakta tentang fungsi kondom sebagai alat untuk mencegah penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah.
- HIV/AIDS Tanpa Gejala
Jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS yang dilaporkan secara nasional pada periode 1987 sd. 31 Maret 2017 mencapai 330.152 yang terdiri atas 242.699 HIV dan 87.453 AIDS. Data UNAIDS (Badan PBB khusus AIDS) menyebutkan jumlah penduduk dunia yang hidup dengan HIV/AIDS sampai tahun 2016 sebanyak 36,7 juta. Yang mendapatkan pengobatan antiretroviral (ARV) 20,9 juta.
Dari jumlah kasus nasional di atas kasus infeksi HIV pada bayi berusia di bawah 4 tahun 5.171 (2010-Maret 2017), sedangkan kasus AIDS pada bayi berumur < 1 tahun 307 (1987 — Maret 2017) dan pada bayi berumur 1-4 tahun 1.650 (1987 — Maret 2017).
Angka-angka di atas hanya kasus yang ditangani secara medis di fasilitas-fasilitas kesehatan pemerintah yang dilaporkan secara rutin ke Ditjen P2P, Kemenkes RI. Seperti diketahui epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es yaitu kasus yang dilaporkan digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul di atas permukaan air laut, sedangkan kasus yang tidak terdeteksi atau tersembunyi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut.
Itu artinya banyak penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat tapi tidak terdeteksi. Hal ini terjadi karena:
(i) tidak ada gejala-gejala, tanda-tanda atau ciri-ciri yang khas AIDS pada kondisi kesehatan dan fisik orang-orang yang tertular HIV/AIDS sebelum masa AIDS (secara statistik muncul setelah tertular HIV antara 5-15 tahun), dan
(ii) tidak ada cara-cara yang sistematis untuk mendeteksi atau menjaring penduduk yang mengidap HIV/AIDS di masyarakat.
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis retrovirus yang hidup di tubuh manusia yang bisa menggandakan diri dengan menggunakan sel-sel darah putih sebagai ‘pabrik’, yang pada akhirnya akan menyebabkan kondisi AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome yaitu sindroma kecacatan sistem kekebalan tubuh manusia dapatan bukan turunan) pada manusia yang ditandai dengan lebih dari 70 jenis penyakit yang disebut sebagai infeksi oportunistik (Pers Meliput AIDS, Syaiful W. Harahap, Penerbit Sinar Harapan/Ford Foundation, Jakarta, 2000).
Pada akhirnya infeksi-infeksi oportunistik inilah, seperti diare, TB, dll., yang menyebabkan kematian pada pengidap HIV/AIDS, disebut juga secara internasional dengan terminologi Odha [Orang dengan HIV/AIDS, dalam Bahasa Inggris disebut people living with HIV/AIDS (PLWA)].
Dalam jumlah yang bisa ditularkan HIV ada dalam darah, air mani, cairan vagina dan air susu ibu (ASI). Penularan HIV terjadi:
(a) melalui hubungan seksual dalam ikatan pernikahan yang sah dan di luar pernikahan jika salah satu atau kedua-dua pasangan yang melakukan hubungan seksual mengidap HIV/AIDS dan suami atau laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual,
(b) menerima transfusi darah yang mengandung HIV,
(c) melalui jarum suntik dan alat-alat kesehatan yang bisa menyimpan darah yang mengandung HIV, dan (d) melalui ASI pada proses menyusui kepada perempuan yang mengidap HIV/AIDS.
Ketika tidak ada program yang sistematis untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS di masyarakat, maka penyebaran HIV/AIDS pun terjadi terus-menerus tanpa di sadari oleh orang-orang yang menularkan dan yang tertular karena tidak ada tanda yang khas ketika terjadi penularan HIV. Penyebaran HIV tanpa disadari terjadi melalui hubungan seksual di dalam dan di luar nikah dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom. Yang ironis adalah banyak kalangan yang mati-matian menolak kondom tapi mengharapkan vaksin AIDS. Ini ‘kan konyol dan munafik
2. Mitos AIDS
Memang, kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga tidak banyak terdeteksi tapi di beberapa daerah justru lebih banyak daripada jumlah kasus pada PSK. Ini sebenarnya hal yang wajar karena seorang PSK bisa melayani tujuh laki-laki setiap malam.
Sampai September 2014 dilaporkan ada 6.539 ibu rumah tangga yang terdeteksi mengidap hIV/AIDS (nasional.republika.co.id, 15/1-2015). Sedangkan kasus HIV dan AIDS yang dilaporkan sampai Maret 2017 pada bayi di bawah umur 1 tahun dan pada umur 1-4 tahun berjumah 7.128. Angka-angka ini menunjukkan kasus HIV/AIDS pada ibu rumah tangga ada yang tidak terdeteksi. Padahal, data menunjukkan ada 4,9 perempuan yang menikah dengan laki-laki yang perilaku seksualnya berisiko tinggi tertular HIV/AIDS.
Sejak reformasi ada euforia di Indonesia yaitu membuat peraturan daerah (Perda) pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang jumlahnya mencapai 98 (provinsi, kabupaten dan kota). Celakanya, perda-perda itu tidak lebih dari ‘macan kertas’ karena tidak menyasar persoalan yang mendasar kepada cara-cara pencegahan HIV/AIDS. Perda-perda AIDS itu sarat dengan retorika norma, moral dan agama sehingga mengabaikan fakta medis tentang cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS.
Risiko penularan HIV kepada bayi terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan menyusui dengan ASI. Risiko di negara-negara berkembang menyentuh angka 30 persen. Artinya, dari 100 perempuan hamil yang mengidap HIV/AIDS ada 30 bayi yang lahir dengan HIV/AIDS. Tapi, jika perempuan hamil ditangani dokter pada awal kehamilan, al. dengan memberikan obat antiretroviral (ARV), risiko penularan dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya bisa ditekan sampai nol persen.
Persoalan besar adalah banyak ibu rumah tangga yang tidak menyadari dirinya sudah tertular HIV dari suaminya karena mereka bukan perempuan dengan perilaku seksual yang berisiko tertular HIV. Sementara itu banyak laki-laki, termasuk suami, yang termakan mitos (anggapan yang salah) yaitu merasa dirinya tidak berisiko tertular HIV/AIDS karena: (1) mereka tidak melakukan hubungan seksual dengan PSK, (2) mereka tidak melakukan hubungan seksual di lokasi atau lokalisasi pelacuran, dan (3) sebagian melakukan hubungan seksual dengan perempuan yang berganti-ganti di dalam ikatan pernikahan.
Sejak awal epidemi HIV/AIDS di Indonesia yang ditandai dengan penemuan kasus HIV/AIDS pada turis asal Belanda di RS Sanglah, Denpasar, Bali (1987) banyak kalangan bahkan menteri yang mengait-ngaitkan HIV/AIDS dengan homoseksualitas, perzinaan, dan pelacuran. Jargon-jargon moral terus membalut informasi HIV/AIDS sampai sekarang sehingga banyak orang yang lalai dan abai terkait dengan perilakunya sehingga terjadi penyangkalan (denial) dengan tiga alasan di atas.
Pada poin 1 terjadi salah paham karena mitos yang menganggap hanya PSK yang berisiko tertular HIV/AIDS. Lebih tepat lagi yang mereka sebut PSK itu adalah PSK langsung yaitu PSK yang kasat mata, seperti perempuan di tempat-tempat pelacuran atau di tepi jalan raya.
3. 1000 HPK
Padahal, ada PSK tidak langsung yaitu yang tidak kasat mata. Mereka ini bisa menyamar sebagai anak sekolah, pelajar, mahasiswi, pemijat, SPG, ibu-ibu, dan cewek gratifikasi seks (perempuan yang diumpankan terkait dengan bisnis dan kekuasaan), dll. Perilaku seksual PSK tidak langsung juga persis sama dengan PSK langsung sehingga risiko mereka tertular HIV juga sangat tinggi karena sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom dengan laki-laki yang berganti-ganti. Bisa saja terjadi salah satu laki-laki yang mereka layani secara seksual mengidap HIV/AIDS sehingga PSK tidak langsung itu pun bisa tertular HIV/AIDS.
Nasib jutaan bayi yang akan lahir di Indonesia selain berisiko lahir dengan HIV/AIDS juga ada risiko lahir dengan stunting (sindrom perawakan pendek). Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi stunting nasional mencapai 37,2 persen, meningkat dari tahun 2010 (35,6%) dan 2007 (36,8%) [mca-indonesia.go.id]. Sedangkan angka kelahiran setiap tahun di Indonesia menunjukkan angka 4,9 juta (kompas.com, 8/6-2015). Menteri Kesehatan Menteri Kesehatan, Nila Moeloek, mengatakan dalam tiga tahun terakhir ada 37,2 persen atau sekitar 9 juta anak di Indonesia mengalami stunting (nasional.tempo.co, 12/7-2017).
Itu artinya beban bayi yang lahir dari ibu pengidap HIV/AIDS akan lebih menderita lagi karena selain lahir dengan HIV/AIDS juga berisiko lahir dengan sindrom stunting. Risiko tertular HIV terjadi pada masa kehamilan, persalinan dan menyusui. Sedangkan risiko lahir dengan stunting sangat tergantung pada masa kehamilan dan bayi sampai usia dua tahun yang disebut sebagai 1000 Hari Pertama Kehidupan (1000 HPK).
Risiko penularan HIV dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya dan risiko lahir dengan sindrom stunting bisa dicegah.
Sayangnya, dalam 98 Perda AIDS tak satupun ada pasal yang bisa dipakai untuk mendeteksi kasus HIV/AIDS yang ‘tersembunyi’ di masyarakat. Maka, tidak diperlukan perda dengan puluhan pasal yang mengambang, tapi cukup satu atau dua pasal yang konkret dan secara faktual bisa mendeteksi kasus-kasus HIV/AIDS yang tersembunyi di masyarakat.
4. Caranya?
Ya, pertama ada peraturan yang mewajibkan suami menjalani konseling HIV/AIDS ketika istrinya hamil. Kalau hasil konseling mengarah ke perilaku seksual suami yang berisiko tertular HIV, maka suami wajib tes HIV yang diikuti oleh istri. Langkah ini bermakna banyak. Pertama, akan memutus mata rantai penyebaran HIV secara horizontal yaitu mengendalikan perilaku suami agar tidak menularkan HIV ke perempuan lain. Kedua, mencegah penularan HIV secara vertikal dari-ibu-ke-bayi yang dikandungnya. Ketiga, menangani suami dan istri secara medis agar tetap hidup produktif, al. dengan memberikan obat ARV dan pendampingan.
Sedangkan untuk mengatasi sindrom stunting adalah dengan memberikan nutrisi pada 1000 HPK melalui layanan kesehatan di Posyandu dan Puskesmas. Hanya saja perlu diperhatian peringatan dari Dr dr Damayanti Rusli Sjarif, SpA (K)-Dokter Spesialis Anak-RSCM/FKUI, bahwa untuk menentukan apakah seorang bayi mengalami sindrom stunting atau tidak perlu diagnosis dokter ahli, dalam hal ini spesialis anak. Hal ini disampaikan Dr Damayanti pada pembekalan 20 blogger (peserta “Danone Blogger Academy” bersama Kompasiana di Kantor Danone Indonesia, Gedung Cyber 2, Kuningan, Jakarta Selatan, 3/11-2017).
Jangka pendek stunting menyebabkan perkembangan otak, fisik dan organ metabolik pada 1000 HPK tidak optimal, sedangkan jangka panjang stunting menyebabkan penurunan kemampuan kognitif dan pendidikan, tubuh pendek, serta berbagai penyakit degeneratif (Danone Manifesto). Jika bayi lahir dengan stunting sekaligus infeksi HIV itu artinya penderitaan seumur hidup.
Maka, sudah saatnya pelayanan di Posyandu dan Puskesmas tidak lagi mementingkan laporan angka kunjungan, tapi diagnosis terkait dengan tinggi dan berat badan bayi sampai berumur dua tahun serta kondisi kesehatan ibu hamil, al. konseling HIV/AIDS (Kompasiana, 1 Desember 2017). *