Pandemi virus corona (Covid-19) terus berkecamuk di 218 negara di dunia, di Indonesia sendiri terjadi pembangkangan sipil terhadap protokol kesehatan.
Ahli-ahli epidemiologi mengatakan untuk mengatasi epidemi (seperti HIV/AIDS dan Ebola) dan pandemi (seperti virus corona) hanya bisa dilakukan dengan imunisasi atau vaksinasi. Celakanya, ketika epidemi dan pandemi berkecamuk tidak ada vaksin.
Laporan situs independen, worldometer, tanggal 6 Desember 2020 pukul 08.39 WIB, menunjukkan jumlah kasus infeksi virus corona di seluruh dunia mencapai 66.834.593 dengan 1.533.741 kematian. Kasus ini dilaporkan oleh 218 negara dan teritori serta 2 kapal pesiar mewah.
Secara medis jika belum atau tidak ada vaksin, maka ada pilihan ‘vaksin’ lain yaitu perilaku yang bisa melindungi diri berupa pencegahan agar tidak tertular virus. Ini dikenal sebagai ‘vaksin sosial’.
Pada epidemi HIV/AIDS ‘vaksin sosial’-nya antara lain adalah melakukan hubungan seksual yang aman yaitu menghindari perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS. Perilaku seksual yang berisiko tertular dan menularkan HIV/AIDS adalah pernah atau sering melakukan hubungan seksual dengan kondisi laki-laki tidak pakai kondom dengan pasangan yang berganti-ganti (di dalam dan di luar nikah) atau dengan orang-orang yang sering gonta-ganti pasangan seks yaitu pekerja seks komersial (PSK).
- Di Banyak Negara Terjadi Penolakan
Dalam prakteknya banyak orang yang mengabaikan ‘vaksin sosial’ ini dengan 1001 macam alasan yang terkadang tidak masuk akal karena mengada-ada. Maka, tidak heran kalau kemudian kasus HIV/AIDS di dunia mencapai 38 juta dengan 690.000 kematian dan 1,7 juta infeksi baru setiap tahun (unaids.org).
Begitu juga dengan pandemi virus corona. Banyak kalangan yang mengabaikan ‘vaksin sosial’ yaitu anjuran Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) yaitu protokol kesehatan yang diaplikasikan sebagai memakai masker, menjaga jarak fisik dan sering mencuci tangan dengan sabun di air yang mengalir.
Langkah yang mudah. Tapi, kenyataannya di banyak negara terjadi penolakan bahkan sampai pada tingkat pembangkangan sosial, terutama di kalangan pemeluk agama dan partisan partai politik (Parpol).
Pernikahan putri Rizieq Shihab menciptakan kerumunan di tengah pandemi di Petamburan, Jakarta Pusat, Sabtu, 14 November 2020. (Foto: Tagar/Suara.com)
Di Korea Selatan, misalnya, kasus pertama terdeteksi pada umat sebuah rumah ibadat. Padahal, ketika itu, Januari 2020, ratusan ribu warga China, khususnya dari Wuhan yang merupakan tempat pertama virus corona terdeteksi, merayakan tahun baru di Korea Selatan.
Otoritas Negeri Ginseng itu sudah menyebarluaskan protokol kesehatan sehingga warga yang tidak berurusan dengan pariwisata memilih tetap tinggal di rumah. Kalau terpaksa keluar rumah menerapkan protokol kesehatan. Itu sebabnya warga tidak tertular biar pun sebagian besar wisatawan asal Wuhan itu mengidap virus corona tanpa gejala.
Di Eropa pun kalangan penganut agama anggap remeh terhadap protokol kesehatan sampai pemimpin mereka meninggal karena terpapar virus corona. Pada tahap ini pun sebagian penganut agama tetap mengabaikan protokol kesehatan. Maka, tidak mengherankan kalau kemudian pandemi virus corona berkecamuk di negara-negara di Eropa.
- Bagian dari Separatisme
Komisioner Urusan Kesehatan Uni Eropa, Stella Kyriakides, mengatakan setiap 17 detik satu orang meninggal dunia akibat Covid-19 di Eropa (voaindonesia.com, 3 Desember 2020). Laporan situs independen, worldometer, tanggal 6 Desember 2020 pukul 08.39 WIB, menunjukkan jumlah kasus infeksi virus corona di Eropa mencapai 18.273.687 (27,34% dari jumlah kasus dunia) dengan 420.846 kematian (27,44% dari jumlah kematian dunia).
Salah satu kondisi yang meningkatkan risiko penularan virus corona adalah kerumunan (crowd) yang di Indonesia dalam situasi sebagai publik yaitu pendukung tokoh dan pemuka agama dan masyarakat (kegiatan keagamaan) serta partisan Parpol (kegiatan kampanye Pilkada).
Di Jawa Barat, misalnya, ada klaster terkait dengan seminar keagamaan di Bogor, Februari 2020, dan seminar keagamaan di Lembang, Maret 2020.
Baca juga: Empat Klaster Penularan Virus Corona di Jawa Barat
Klaster keagamaan di Bogor merembet ke Solo dan Kalimantan Timur (Kaltim). Ketika itu informasi tentang penyebaran virus corona sangat rendah karena perhatian masyarakat Indonesia hanya tertuju kepada kasus pertama. Laporan kasus pun sangat rendah bahkan Menkes Terawan Agus Purwanto menantang kelangan ahli luar negeri, Universitas Harvard, Cambridge, Massachusetts, Amerika Serikat, yang tidak percaya pada laporan kasus virus corona Indonesia dengan alasan ilmiah.
Baca juga: Penyebaran Corona Cluster Bogor di Solo dan Kaltim
Tapi, fakta berbicara lain. Sinyalemen pakar luar negeri itu berbuah pahit ketika hari demi hari kasus baru harian terus bertambah tanpa terkendali. Laporan situs independen, worldometer, tanggal 6 Desember 2020 pukul 08.39 WIB, menunjukkan jumlah kasus infeksi virus corona di Indonesia mencapai 569.707 dengan 17.589 kematian. Indonesia ada di peringkat ke-20 dunia dan peringkat ke-4 di Asia.
Baca juga: Covid-19 Indonesia Sejarah Gelap Awal Penyebar Virus
Temuan Bawaslu (Komisioner Badan Pengawas Pemilu), misalnya, terjadi 91.640 bentuk kampanye yang dilaksanakan dengan bentuk tatap muka pada kampanye Pilkada 2020. Dari jumlah ini pelanggaran protokol kesehatan menduduki peringkat teratas, yaitu berjumlah 2.126. Kampanye ini jadi kerumunan dengan peserta yang mengabaikan protokol kesehatan sehingga jadi arena penyebaran virus corona.
Penolakan yang sebenarnya merupakan pembangkangan sipil terhadap protokol kesehatan bisa dilihat dari jumlah pelanggaran razia yang dilakukan di beberapa daerah. Masalahnya adalah mereka mematuhi protokol kesehatan di area razia, tapi di luar itu banyak warga yang mengabaikannya. Maka, klaster perkantoran dan keluarga jadi penyebaran virus corona di Indonesia.
Kondisi di Indonesia terkait dengan protokol kesehatan untuk mencegah penularan virus corona di masa pandemi ini sudah sampai pada posisi pembangkangan sosial yang bisa saja jadi bagian perilaku sebagai separatis (Bahan-bahan dari berbagai sumber) (tagar.id, 6 Desember 2020). *