Sia-sia Lockdown Daerah Tanpa Tes Massal Covid-19

Edukasi51 Dilihat

Tes massal penduduk di satu wilayah untuk menemukan kasus positif virus corona (Covid-19) lebih efektif daripada lockdown atau isolasi wilayah.

Kalau saja kita berkaca ke Korea Selatan (Korsel) yang berhasil mengerem penyebaran virus corona (Covid-19) tanpa melakukan lockdown (penutupan wilayah) tentulah tidak akan ada wacana lockdown atau isolasi wilayah di Indonesia. Soalnya, beberapa negara di dunia yang melakukan lockdown ternyata kasus baru terus terdeteksi. Ini menunjukkan terjadi penularan horizontal di masyarakat.

Sampai tanggal 30 Maret 2020 pukul 12.00 jumlah kumulatif positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 1.414 dengan 122 kematian dan 75 sembuh. Kasus ini per 29 Maret 2020 tersebar di 30 provinsi dengan kasus terbanyak di DKI Jakarta 675, Banten 106, Jawa Barat 149, dan Jawa Timur 90.

Italia sebagai negara yang pertama melakukan lockdown tanggal 9 Maret 2020 justru melaporkan kasus terbanyak di Eropa dan nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat (AS). Sampai 30 Maret 2020 pukul 04.36 GMT atau 11.36 WIB Italia melaporkan 97.689 kasus positif Covid-19 dengan 10.779 kematian dan AS melaporkan 142.178 dengan 2.484 kematian.

Bandingkan dengan China sebagai negara yang pertama yang mengalami wabah melaporkan 81.470 dengan 3.304 kematian. Sedangkan Korea Selatan yang terdampak wabah setelah China hanya melaporkan 9.661 dengan 771 kematian.

  1. Mendeteksi Warga yang Positif Covid-19

Kalau saja diskusi soal corona di Indonesia tidak dibalut dengan moral dan politik, maka pembicaraan adalah mempelajari langkah Korea Selatan dalam menghadapi gelombang wabah corona di awal pandemi. Celakanya, ada media yang justru menggiring opini publik dengan menjadikan pandemi corona sebagai ‘senjata’ menyerang pemerintah (baca: Jokowi) dengan lockdown sebagai amunisi.

Padahal, jika dilihat dari epidemiologi pandemi corona yang memegang peranan penting untuk memutus mata rantai penularan atau penyebaran virus corona di masyarakat justru masyarakat sendiri. Pemerintah melakukan contact tracing dengan mencari orang-orang yang pernah kontak dengan seorang warga yang terdeteksi positif Covid-19, tapi ini akan kalah cepat dengan penyebaran corona di masyarakat karena mobilitas warga yang tinggi dan berbagai faktor lain.

Baca juga: Hanya Masyarakat Bisa Putus Rantai Penularan Corona

Misalnya, ada OTG (Orang Tanpa Gejala) yaitu warga yang sudah tertular Covid-19 tapi tidak menunjukkan gejala dalam beberapa hari setelah tertular. Biar pun tidak ada gejala, seperti demam, batuk dan panas, tapi OTG sudah bisa menularkan virus corona melalui droplet (percikan ludah) yang terlempar ke luar mulut ketika berbicara, batuk dan bersin. Jika droplet yang mengandung virus corona itu terhirup maka ada risiko tertular.

Kebiasaan baru di Seoul, Korea Selatan, pakai masker di keramaian. (Foto: bbc.com/EPA)

Bisa juga droplet menempel di berbagai macam benda, seperti kayu, besi, plastik, dll. Jika benda-benda yang terpapar droplet yang mengandung virus corona maka ada risiko tertular jika tangan tidak dicuci dengan sabun di air yang mengalir. Penularan melalui tangan terjadi ketika tangan menggosok-gosok hidung atau mata. Bisa juga melalui makanan yang dipegang.

  1. Banyak Kasus Covid-19 Terdeteksi Kian Banyak Mata Rantai Penularan yang Diputus

Selain itu ada Orang dalam Pengawasan (ODP) yaitu orang-orang yang pernah kontak dengan warga yang positif Covid-19 tanpa APD (alat pelindung diri), seperti anggota keluarga, teman, rekan dan kalangan medis di rumah sakit. Juga orang-orang yang baru kembali dari daerah atau negara dengan pandemi corona. Mereka ini harus melakukan isolasi atau karantina mandiri selama 14 hari untuk mengetahui apakah mereka tertular Covid-19. Nah, jika ada ODP yang tidak mematuhi aturan itu artinya dia jadi mata rantai penyebaran virus corona di keluarga dan masyarakat.

Lockdown terhadap sebuah wilayah yang sia-sia karena di wilayah yang di-lockdown sendiri terjadi penyebaran virus corona antar penduduk. (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap).

Di Gambar 1 bisa dilihat kondisi sebuah wilayah yang menjalankan lockdown atau isolasi. Biar pun wilayah itu dikelilingi dengan benteng dan dijaga tentara penularan akan terus terjadi jika tidak ada langkah konkret untuk mendeteksi warga yang positif Covid-19 sebagai OTG atau ODP.

Sejak awal pandemi Korea Selatan melakukan pendekatan yang ramah, al. dengan menggencarkan tes Covid-19 kepada warganya. Sebanyak 400 jemaat gereja, misalnya, menunjukkan gejala terkait corona. Sambil menunggu hasil tes mereka diisolasi. Korsel mengetes 270.000 warga sebagai bentuk surveilans Covid-19. Dengan jumlah ini berarti Korsel menjalankan 5.200 tes Covid-19 per sejuta penduduk. Tahun 2017 dilaporkan penduduk Korsel sebanyak 51,47 juta.

Untuk memperluas cakupan tes massal Korsel menyediakan tes Covid-19 secara sambil lalu sehingga pengemudi dan penumpang mobil tidak perlu turun (drive through). Ini langkah yang proaktif sehingga warga pun tidak merasa terganggu.

Jika dianalogikan ke Indonesia maka paling tidak warga yang menjalani tes Covid-19 sebanyak 1,4 juta. Penduduk Indonesia tahun 2019 sebanyak 269,6 juta. Rapid test yang sudah dilakukan baru terhadap 1.500 warga dengan kriteria pendekatan epidemiologi dengan hasil 130 positif atau 8,7%.

Dengan menemukan satu kasus Covid-19 melalui tes, maka satu mata rantai diputus.Jika yang terdeteksi seorang suami itu artinya risiko penularan istri dan anak-anak serta kerabat dan teman sekantor sudah diputus. Makin banyak kasus Covid-19 yang terdeteksi kian banyak pula mata rantai penularan yang diputus.

  1. Zona Hijau Juga Perlu Jalankan Tes Covid-19 secara Massal

Maka, amatlah tidak masuk akal pemerintah provinsi, kabupaten dan kota yang masuk kriteria zona merah melampiaskan kepanikan dengan lockdown terbatas atau isolasi wilayah. Langkah ini sama sekali tidak berguna karena penyebaran Covid-19 terjadi antar warga di masyarakat bukan dari pendatang. Seperti di Gambar 2 jelas terlihat biarpun wilayah ‘zona merah’ karena banyak kasus Covid-19 dilokalisir tetap terjadi penularan antar penduduk karena ada OTG dan ODP.

Di kawasan zona merah yang di-lockdown akan terus terjadi penularan virus corona jika tidak ada tes Covid-19 massal. (Foto: Tagar/Syaiful W. Harahap).

Maka yang perlu dilakukan oleh pemerintah provinsi, kabupaten dan kota adalah menggencarkan surveilans tes Covid-19 untuk menemukan warga yang positif Covid-10 yang belum atau tidak terdeteksi. Misalnya, surveilans terhadap pengulang-alik, perantau, pedagang ke kota besar, buruh dan pekerja dari kota besar, sopir, dll. Selain itu staf medis dan nonmedis yang bekerja di fasilitas kesehatan, terutama yang menangani Covid-19.

Tanpa surveilans tes Covid-19 biarpun wilayah yang zona merah ditembok keliling dan dijaga tentara penularan tetap akan terus terjadi karena ‘pembawa’ virus corona ada di masyarakat bukan datang dari luar wilayah.

Sedangkan untuk daerah dengan zona hijau, kasus Covid-19 tidak banyak, perlu juga melakukan surveilans tes Covid-19 kalangan yang berisiko karena bisa saja mereka sudah terpapar tapi tidak menunjukkan gejala. Penularan pun terjadi tanpa terdeteksi sehingga bisa jadi ‘bom waktu’ ledakan corona.

Mitos (anggapan yang salah) juga membayangi penanggulangan virus corona karena di awal-awal pandemi selalu dikaitkan dengan norma, moral dan agama seperti menyebut penularan karena dansa. Ini merupakan kontra produktif terhadap penanggulangan Covid-19 yang murni medis.

Yang jelas tanpa tes Covid-19 secara massal, maka penyebaran virus akan terus terjadi yang kelak bermuara pada ‘ledakan corona’ (tagar.id, 30 Maret 2020). *

Tinggalkan Balasan