Hingar-bingar Revisi Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang memicu unjuk rasa besar-besaran di Nusantara al. soal pasal zina.
Sejatinya pasal perzinaan yang diatur dalam KUHP merupakan delik aduan, tapi yang terjadi selama ini ada razia yang dilancarkan pemerintah daerah dengan pijakan peraturan daerah (Perda) yang bermuatan moral.
Dalam banyak razia yang dilakukan oleh Satpol PP dan Polisi zina disebut sebagai ‘penyakit masyarakat’ sehingga penggerebekan dilakukan terhadap tempat-tempat kos, kamar-kamar penginapan, losmen dan hotel melati. Wartawan, terutama televisi, pun ikut pula dengan kamera menyorot pasangan di kamar dengan kondisi tidak berpakaian.
Padahal, dalam KUHP disyaratkan di pasal 284 harus ada pengaduan terhadap laki-laki atau perempuan yang bukan pasangan melakukan hubungan seksual. Tapi, tanpa pengaduan pun Satpol PP dan Polisi bergerak atas nama penegakan moral dengan menindak ‘pekat’.
Jika pasal zina di RKUHP disahkan, maka tindakan-tindakan polisional tanpa menghiraukan hukum pun akan lebih masif. Ini Pasal 417 ayat 1 RUU KUHP: “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda Kategori II.” Denda Kategori II Rp 10 juta.
Yang perlu diperhatikan adalah bahwa perzinaan merupakan delik aduan. Karyawan hotel itu sudah melakukan perbuatan melawan hukum dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) karena melaporkan perbuatan yang tidak ada kaitannya dengan dirinya terkait pernikahan. Polisi hanya bisa merazia jika ada pengaduan dari suami atau istri salah satu pasangan yang ada di kamar penginapan, losmen, hotel melati dan hotel berbintang
Baca juga: FTV di “SCTV” yang Merusak Citra Pariwisata Yogyakarta
Ada kesan yang sangat kental pasal ini merupakan intervensi pemerintah ke ranah privasi (pribadi). Artinya, negara, dalam hal ini pemerintah, memakai hukum pidana untuk masuk ke hak-hak konstitusional warga negara yang merupakan privasi.
Di sisi lain pasal zina ini akan jadi pemicu pernikahan karena orang tua was-was anak-anak mereka akan terlibat dengan perzinaan. Hal ini bisa terjadi pada usia muda karena sejak seorang laki-laki mimpi basah dan perempuan menstruasi sudah ada dorongan seksual. Untuk mencegah zina orang tua memilih perkawinan sehingga luput dari ancaman pidana.
Padahal, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 59 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) ada komitmen pemerintah untuk menutup pintu bagi praktik perkawinan anak. Orang tua yang khawatir anak-anaknya melakukan zina akhirnya memilih perkawinan agar anak-anak terhindar dari zina dan ancaman pidana.
Ada lagi salah kaprah tentang (larangan) zina yaitu dikait-kaitkan dengan penularan HIV/AIDS. Memang, sejak epidemi HIV/AIDS ada di Indonesia selalu saja disebutkan mencegah penularan HIV/AIDS adalah dengan cara tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah dan zina.
Tentu saja hal itu menyesatkan karena merupakan mitos (anggapan yang salah).
Penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (sebelum menikah dan zina), tapi karena kondisi hubungan seksual yaitu salah satu atau dua-duanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom setiap kali melakukan hubungan seksual.
Tindakan polisional akan melahirkan ‘polisi moral’ dengan berlindung pada Ormas yang melakukan razia zina ke rumah-rumah kos, penginapan, losmen dan hotel melati tanpa pengaduan. Berbekal perda dan membasmi ‘pekat’ Satpol PP dan Polisi menggerebek kamar-kamar kos, penginapan, losmen dan hotel melati. Ini terjadi tanpa ada yang mengadu karena zina adalah delik aduan.
Sektor yang akan dilabrak pasal zina ini adalah pariwisata, terutama menyangkut wisatawan mancanegara (Wisman). Razia yang akan gencar akan menakutkan bagi Wisman yang berlibur dengan pacar atau teman yang tidak terikat pernikahan karena ada ancaman pidana penjara.
Wisman atau turis-turis tanpa ikatan pernikahan itu akan jadi sasaran empuk razia moral yang dilancarkan banyak kalangan dengan dalih membasmi maksiat dan ‘pekat’.
Baca juga: Pariwisata Bali Dihantam Kriminalisasi Zina
Razia Satpol PP dan Polisi atas nama moral dengan pijakan Perda justru terjadi secara diskriminatif yaitu razia hanya dilakukan ke kamar-kamar kos murah, penginapan murah, losmen murah dan hotel melati murah.
Sebaliknya tidak pernah ada razia atas nama moral dengan pijakan Perda untuk mencegah ‘pekat’ (baca: zina) ke hotel berbintang dan apartemen mewah (tagar.id, 28 September 2019). *