Hari ini, 1 Desember 2023, ada peringatan Hari AIDS Sedunia (World AIDS Day) yang merupakan kegiatan rutin sejak tahun 1988 sebagai peringatan global untuk meningkatkan kesadaran tentang epidemi HIV/AIDS.
Celakanya, narasi terkait dengan kasus HIV/AIDS di berbagai daerah di Indonesia belakangan ini justru tidak meningkatkan kesadaran terkait dengan penyebaran HIV/AIDS. Hal itu terjadi karena informasi HIV/AIDS dibalut dengan norma, moral dan agama yang mengedepankan orasi moral yang tidak objektif terkait dengan penyebaran HIV/AIDS.
Misalnya, mengkambinghitamkan LGBT (lesbian, gay, biseksual dan transgender) sebagai penyebar HIV/AIDS di Tanah Air. Padahal, secara empiris yang potensial menyebarkan HIV/AIDS adalah laki-laki heteroseksual.
Baca juga: Penyumbang Kasus HIV/AIDS Bukan LGBT tapi Heteroseksual
Secara empiris kasus HIV/AIDS pada gay, dalam hal ini LSL (Lelaki Suka Seks Lelaki), ada di terminal terkhir epidemi karena LSL tidak mempunyai istri. Bandingkan dengan laki-laki heteroseksual yang mengidap HIV/AIDS. Mereka akan menularkan HIV/AIDS ke istrinya secara horizontal.
Jika istri tertular, maka ada pula risiko penularan vertikal dari ibu-ke-bayi yang dikandungnya terutama ketika persalinan dan menyusui dengan air susu ibu (ASI).
Bahkan, ada laki-laki yang beristri sah lebih dari satu. Selain itu ada juga yang mempunyai selingkuhan dan jadi pelanggan pekerja seks komersial (PSK) atau cewek prostitusi online.
Data Kemenkes menunjukkan sampai akhir 2012 ada 6,7 juta pria Indonesia yang menjadi pelanggan PSK, sehingga pria menjadi kelompok paling berisiko tinggi untuk menyebarkan HIV/AIDS. Dari 6,7 juta pria pelanggan PSK itu 4,9 di antaranya mempunyai istri (bali.antaranews.com, 9/4/2013).
Itu artinya penyebaran HIV/AIDS oleh laki-laki heteroseksual yang mengidap HIV/AIDS akan masif di masyarakat. Hal ini bisa terjadi karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri atau gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5-15 tahun jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART) sehingga penyebaran HIV/AIDS tidak disadari.
Laporan Kemenkes melalui sihakemkes.go.id juga menunjukkan dari 672.266 kasus HIV-positif (terdiri atas 522.687 HIV dan 149.579 AIDS) yang dilaporkan dari tahun 1987 — Maret 2023 transmisi yaitu faktor risiko penularan terjadi melalui:
- heteroseksual (28,7%)
- homoseksual (19,5%)
Begitu juga dengan kasus AIDS yang dilaporkan dari tahun 1987 — Maret 2023 yaitu sebanyak 149.579 dengan faktor risiko atau transmisi melalui:
- heteroseksual (66,5%)
- homoseksual (10,4%)
Yang perlu diingat jumlah kasus HIV+ dan AIDS yang dilaporkan tidak menggambar kasus yang sebenarnya di masyarakat karena epidemi HIV/AIDS erat kaitannya dengan fenomena gunung es.
Kasus HIV/AIDS yang dilaporkan atau terdeteksi digambarkan sebagai puncak gunung es yang muncul ke atas permukaan air laut, sedangkan kasus HIV/AIDS yang tidak terdeteksi di masyarakat digambarkan sebagai bongkahan gunung es di bawah permukaan air laut (Lihat gambar).
Selain itu tidak semua daerah melakukan deteksi HIV/AIDS melalui tes HIV. Laporan sihakemkes.go.id menunjukkan pada periode Januari-Maret 2023 jumlah warga yang tes HIV sebanyak 1.230.023. Hasilnya, 13.279 HIV-positif (1,08%).
Dari jumlah tersebut di 216.420 warga Jawa Barat (terbanyak) dengan hasil 2.417 HIV-positif (1,12%). Dari jumlah ini yang menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral (ART) sebanyak 1.648. Sedangkan di Maluku Utara warga yang tes HIV sebanyak 4.905 (terkecil) dengan hasil 109 HIV-positif (2,22%). Yang ikut ART sebanyak 71.
Itu artinya narasi-narasi dalam berita dan artikel HIV/AIDS di media massa (koran, majalah, radio dan TV) serta media sosial (portal berita) yang mem-blow-up LGBT tidak akurat.
Bahkan, mengaitkan lesbian dalam LGBT dalam penyebaran HIV/AIDS adalah hoaks (informasi bohong) karena seks pada lesbian bukan faktor risiko transmisi HIV/AIDS. Hal ini karena seks pada lesbian bukan seks penetrasi.
Baca juga: Kaitkan Lesbian Langsung dengan Penyebaran HIV/AIDS Adalah Hoaks
Biarpun epidemi HIV/AIDS secara global sudah berlangsung sejak tahun 1981, tapi Pemeritah Indonesia baru mengakui epidemi HIV/AIDS ada di Indonesia pada tahun 1987, tapi sejauh ini banyak kalangan di Tanah Air yang belum atau tidak mau memahami HIV/AIDS sebagai fakta medis. Buktinya, materi komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) tentang HIV/AIDS selalu dibalut dan dibumbui dengan norma, moral dan agama sehingga menenggelamkan fakta medis tentang HIV/AIDS dan menyuburkan mitos (anggapan yang salah).
Misalnya, mengait-ngaitkan penularan HIV/AIDS dengan ‘seks bebas’ (terminologi ngawur bin ngaco), seks menyimpang, zina, pelacuran dan LGBT.
Padahal, secara empiris penularan HIV/AIDS melalui hubungan seksual bukan karena sifat hubungan seksual (seks bebas, seks menyimpang, zina, pelacuran dan LGBT), tapi karena kondisi saat terjadi hubungan seksual (salah satu atau keduanya mengidap HIV/AIDS dan laki-laki tidak memakai kondom). Ini fakta medis!
Celakanya, program penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia dengan pijakan peraturan daerah (Perda) hanya mengekor ke ekor program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand.
Dari lima program penanggulangan HIV/AIDS di Thailand nomor lima (ekor) adalah ‘program wajib kondom 100 persen’ bagi laki-laki yang melakukan hubungan seksual dengan PSK di tempat-tempat pelacuran dan rumah bordir.
Langkah itu dilakukan Thailand setelah meningkatkan pemahaman warga dengan melibatkan media massa, ketika itu tahun 1990-an belum ada media sosial, (koran, majalah, radio dan TV) secara simultan dengan skala nasional.
Baca juga: Program Kondom Indonesia: Mengekor ke Ekor Program Penanggulangan AIDS Thailand
Di Indonesia penggunaan kondom jadi program utama penanggulangan HIV/AIDS melalui Perda dengan kondisi tingkat pemahaman masyarakat terkait dengan cara-cara penularan dan pencegahan HIV/AIDS sangat rendah. Maka, terjadi penolakan dari banyak kalangan terkait dengan sosialisasi kondom untuk hubungan seksual berisiko.
Belakangan penanggulangan HIV/AIDS juga hanya terjadi di hilir, yaitu melakukan tes HIV terhadap kalangan tertentu melalui penjangkauan dan ibu hamil. Celakanya, suami ibu hamil yang terdeteksi HIV-positif tidak semerta menjalani tes HIV sehingga mereka jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat.
Selain itu ada pula PITC (Provider Initiated Testing and Counseling) yaitu pengamatan di layakan kesehatan oleh dokter terhadap pasien dengan penyakit yang terkait infeksi HIV dianjurkan menjalani voluntary counseling and testing (VCT) yaitu konseling untuk menjalani tes HIV secara sukarela.
Maka, dengan program penanggulangan yang hanya di ranah orasi moral omong kosong Indonesia bisa bebas infeksi HIV baru di tahun 2030.
Baca juga: Ini Mimpi: Indonesia Bebas AIDS Tahun 2030
Itu artinya penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia tanpa langkah konkret di hulu yaitu menurunkan, sekali lagi hanya bisa menurunkan, jumlah insiden infeksi HIV baru terutama pada laki-laki melalui hubungan seksual tanpa kondom dengan PSK, sekarang adalah PSK tidak langsung yaitu prostitusi online melalui media sosial.
Soalnya, sekarang pelacuran sudah pindah dari jalanan dan lokalisasi ke media soaial.
Maka, penanggulangan dengan ‘program wajib kondom’ bagi laki-laki yang melakukan perilaku seksual berisiko tidak bisa dijangkau.
Dengan kondisi itu insiden infeksi HIV baru terus terjadi yang pada gilirannya laki-laki yang tertular HIV akan jadi mata rantai penyebaran HIV di masyarakat yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS’ di Indonesia. (Sumber: kompasiana.com, 1 Desember 2023). *