Sekolahlah Sampai Habis
Catatan Thamrin Dahlan
Belajar dan belajar sampai pintar. Ketika dilahirkan semua anak manusia ibarat kertas kosong. Kertas itu kemudian ditulisi oleh orang tua selagi sibayi masih belum bisa bicara dan tidak paham sedang berada dialam mana. Usia sekolah belajar tulis baca di tingkat Sekolah Dasar. Kini kertas itu mulai diisi oleh diri sendiri walaupun sang ortu tetap berperan agar isi kertas tidak ada yang merah.
Belajarlah sampai tua sesuai ungkapan belajar dari buaian sampai liang lahat. Belajar tidak musti di kelas katika ada guru dan kawan kawan seangkatan. Belajar dialam terkembang memiliki makna bahwa apapun yang dihadapi sesungguhnya adalah proses pembelajaran. Tidak semua orang paham bahwa pembelajaran itu akan melahirkan ke arifan.
Itulah sebabnya awak bersungguh sungguh menghadiri Sidang Terbuka Program Doktoral dr. Rommy Sebastian, M. Kes. Universitas Merdeka (UnMen) Malang Jawa Timur sebagai salah satu perguruan tinggi tertua tampaknya sangat konsisten dalam ikut mencerdaskan kehidupan anak bangsa. Kompol DR. dr. Rommy Doktor Disiplin Ilmu Sosial ke 265 dan urutan ke 445 Doktor secara keseluruhan di UnMen.
Sekolah DR. Rommy sudah habis. Tidak ada lagi pendidikan akademis setelah Sarjana Strata Doktoral. Dapat dibayangkan berapa lama waktu yang diperlukan untuk mencapai gelar Doktor. SD, SMP, SMA, Si, S2 dan S3 secara normal menghabiskan waktu 20 tahun. Cukup panjang apabila dibanding usia harapan hidup orang Indonesia. Artinya sepertiga usia dihabiskan di bangku sekolah.
Awak cukup bersyukur bisa mencapai pendidikan S2. Mengikuti Pendidikan tidak linier dipaksakan sembari bekerja. Untunglah semua pendidikan formal itu dibiayai oleh bebrapa Yayasan Bea Siswa.
Sekolah SD, SMP dan SMA awak mendapat Bea Siswa dari Yayasan IDA. Ketika mengambil pendidikan D3 bea siswa diberikan oleh Yayasan UNI.
Lanjut kuliah S1 di Universitas Indonesia masih ada yayasan yang berbaik hati menyekolahkan melalui Bea Siswa Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN).
Masih semangat di usia setengah abad memaksakan diri kuliah S2 Pasca Sarjana UI setelah diyakinkan ada bea siswa dari Yayasan ISTRI.
Bersyukur seluruh jenjang pendidikan sekolah tak berbayar dengan ucapan terima kasih kepada Yayasan Ibu dan Ayah (IDA) atau Mak dan Bapak , Yayasan UNI kakanda Husna Dahlan dan terakhir Istri tercinta mengelola keuangan keluarga untuk membayar uang semesteran kuliah S2.
Setiba di kota Malang awak bertemu dengan 2 orang cucu yang sedang kuliah di Universitas Brawijaya. Elvionita Ramadhona (semester 4) dan Rico Dwi Putra Darmawan (semester 6) Fakultas Ilmu Administrasi, Jurusan Administrasi Business.
Tak lain dan tak bukan bertemu anak keponakan untuk memberikan motivasi agar mereka tetap semangat menyelesaikan kuliah sampai mendapat gelar sarjana.
Laiknya Datuk dan Cucu ketika menikmati Bakso Malang Asli disalah satu kedai, anak anak muda ini berkisah suka duka. Mereka jauh dari orang tua yang bermukim di Bogor. Voni putri ke 2 kemekananda Idham Khalid sedangkan Ricko putra ke – 2 Edy Darmansyah.
Pada kesempatan itu Voni dan Rico bersua dengan DR Rommy Sebastian. Mudah mudahan dua anak muda ini termotivasi atau paling tidak bermimpi kelak bisa juga menyandang gelar Doktor. Dari sisi awak sebagai generasi tua kaum Petokayo sangat berharap ada anak keponakan dan cucu yang mencapai pendidikan sampai habis. Saat ini barulah sampai tingkatan S2 jumlah cukup banyak. Berlombalah hai kaum petokayo agar ada juga Professor di kaum kita.
Mengapa memilih kota Malang tentu ada cerita tersendiri. Kuliah di Perguruann Tinggi Negeri selain biaya semester terjangkau juga ada kepastian bahwa Universitas ini terakreditasi A.
Pesan seorang Datuk sederhana saja. Belajarlah kalian sampai sekolah itu habis. Artinya sampai S3. Ilmu sejatinya akan memuliakan seseorang ketika berhasil mencapai tingkat pendidikan tertinggi. Kemerdekaan Republik Indonesia hampir 75 tahun memberikan kemudahan bagi generasi muda mencapai pendidikan Strata 3 ketika usia belum lagi mencapai 30 tahun.
Oleh karena itu bisa dimaklumi ketika nenek moyang mengatakan kepada para cucu agar belajar sampai ke negeri cina. Makna terselubung dari petuah itu tidak lain agar kita terus belajar dan belajar agar kebermanfaatan diri bagi umat lebih optimal.
Belajar tidak harus terstruktur di kelas, apalagi bagi pemuda pemudi yang tidak mendapat kesempatan kuliah di Perguruan Tinggi. Mengapa tidak mencontoh Pahlawan Nasional Haji Agus Salim belajar mandiri / otodidak sehingga mampu menguasai 7 bahasa Internasional.
Salamsalaman
TD
1 komentar