Langkah Demi Langkah Mengejar Mimpi
Mimpi terbesar kami adalah memiliki perangkat komputer untuk melaksanakan UNBK mandiri. Kami ingin melaksanakan UNBK dengan tenang, fokus pada penyelenggaraan yang kondusif. Tidak seperti tahun lalu ketika menumpang di sekolah lain.
Mengaharapkan bantuan dari pemerintah tak bisa kami jadikan target pertama. Karena jangankan sekolah kami yang nomor sekian di wilayah kami, sekolah besar pun baru satu sekolah yang mendapat bantuan tahun kemarin. Tahun ini SMP besar lainnya, jadi tak bisa diharapkan. Kami harus cari cara agar minimal 15 komputer yang kami butuhkan ada ketika pelaksanaan simulasi UN sampai kepada hari H pelaksanaan UN. Hmm memang mimpi yang berat untuk terwujud bagi sekolah kami yang kecil ini.
Mengandalkan dana BOS? Hanya boleh maksimal 5 perangkat dengan spec yang sudah ditentukan. Harganya mahal, paling kami hanya bisa membeli 2 unit tahun ini. Andaikan boleh membeli sesuka kami, maka kami akan membeli komputer PC rakitan, yang lebih ekonomis yang penting bisa dipakai untuk UN dan bisa membeli 5 unit dengan jumlah harga yang sama untuk 2 unit yang standar.
Aku utarakan dalam rapat dinas sekolah ide untuk bisa membeli 7 unit komputer PC dengan total harga 15 juta rupiah. Dengan 7 komputer kami akan bisa mewujudkan pelaksanaan UN mandiri di sekolah sendiri. Yang sudah kami miliki 3 komputer, jadi bisa 10 komputer. 5 lagi meminjam dari notebook para guru PNS.
Aku sampaikan seandainya semua guru mendukung ide ini, maka kami semua harus puasa. “Bagaimana caranya , Bu?” bu Tita merespon ajakanku.
“Coba bapak Ibu bayangkan, seandainya anak-anak kita melaksanakan UN di sekolah sendiri. Banyak hal yang bisa dihemat, dibandingkan dengan menumpang seperti tahun kemarin. Tetapi untuk membeli 7 komputer perlu dana 15 juta rupiah. Ada ide?” aku balik bertanya.
“Kalau minta partisipasi komite sekolah bagaimana, Bu?” usul pak Subhan, wakasek kami.
“Baik, berapa kira-kira kekuatannya?” tanyaku.
“Bila satu anak diminta 50rb saja terkumpul 7,5 juta rupiah, Bu,” kata bu Tita.
“Baik, tinggal 7,5 juta lagi yah?”responku. Baiklah Insya Allah bisa kita atur dari sisihan-sisihan kegiatan untuk memenuhi dana 7,5 juta lagi. Tapi kalau menunggu sisihan akan lama ngumpulnya,“ kataku.
“Kenapa tidak kita bangun sistem cadangan dana sekolah? Dengan menerima tabungan harian siswa misalnya? Kita kelola dengan baik, ada pemegang khusus tabungan. Bagaiman?” tanyaku.
“Wah ide yang bagus , Bu,”kata seorang guru. Yang lainpun meyetujuinya. Mulai minggu depan disampaikan kepada siswa bahwa kami menerima tabungan seperti yang dilakukan di SD.
Akhirnya kami mampu mengadakan komputer murah tapi memadai untuk dipakai UN dengan strategi yang aku atur dengan dana talangan dulu. Bulan Pebruari pun kami sudah bisa mengadakan simulasi UN pertama di sekolah. Rasanya bagai mimpi, namun melegakan hati. Mimpi ke dua Alhamdulillah terwujud.
Tantangan Lainnya Menunggu
Tanah kami yang luas hanya ditumbuhi rumput walaupun tidak tinggi karena tanah bekas sawah berair. Aku merenung, sayang sekali dibiarkan gundul tidak termanfaatkan.
“ Bu Haji, coba bisa nggak tanah kita yang bagian ujung atas sana dari pada penuh semah kayak di hutan, lebih baik ditawarkan kepada siapa saja yang mau menggarap. Dengan sistim paroan. Misal untuk menanam singkong atau ubi jalar atau sayuran, gitu.”kataku kepada bu Tita ketika suatu saat, dia sedang kosong mengajar.
Memang aku banyak minta pendapat beliau. Mungkin karena sesama perempuan lebih leuasa ketika menyampaikan ide untuk hal-hal diluar masalah pembelajaran. Selain itu, ia memiliki hubungan yang cukup luas dengan masyarakat di sekitar sekolah.
“Baik,Bu. Ntar saya ngobrol sama orang-orang sini,”sambutnya.
Beberapa hari kemudian ia membawa kabar baik, bahwa ada seorang petani yang menyambut baik tawaran dari sekolah. Ia dan anaknya akan menggarap tanah dengan batas-batas yang ditentukan sekolah.
Hari-hari selanjutnya aku lihat seorang perempuan tengah baya yang rajin dan ulet menggarap tanah itu. Ternyata ia menanm singkong, ubi jalar juga kangkung. Lumayan juga hasilnya, 1 bulan kemudian hampir tiap hari kami dikirim kangkung untuk teman nasi liwet kami.
Enam bulan berikutnya kami panen ubi jalar, kalau singkong cukup lama juga hampir satu tahun. Sangat membantu sekolah menangani konsumsi harian kami. Sengaja bagian kami jangan dipanen semua biar berlangsung lama persediaannya. Mimpi ketiga terwujud jua.
Menciptakan Ekowisata di Sekolah
Tanah kosong yang diolah oleh penggarap diharapkan bisa mem-backup perekonomian sekolah. Walaupun belum banyak, namun sudah terasa manfaatnya sebagai penyuplai konsumsi. Selain itu aku punya mimpi membuat taman yang indah penuh bunga. Aku membayangkan areal depan sekolah penuh dengan aneka bunga yang diatur rapi bagaikan di taman bunga.Hmm.. mimpi lagi..
Kuawali membeli 4 macam bibit bunga berupa biji lewat olshop. Untuk mengolah tanahnya kami tawarkan kepada petani di sekitar sekolah. Syukurlah, gayung bersambut. Ia bersedia menggarap tanah dengana upah harian. Butuh 4 hari untuk menggarap tanah, mulai dari mencangkul, meratakan, sampai membuat bedengan-bedengan. Tanah bekas sawah yang becek kalau hujan nantinya akan kebanyakan air bila tidak dibuat bedengan-bedengan.
Berikut ini penampakkan halaman sekolah yang telah dibuat bedengan-bedengan.
(Bersambung)
Wah, Bu Kepsek ini memang luar biasaaaa sukses dan berkah selalu Bu. Inspiratif
Terima kasih Bu Dita, aamiiin ya robbal aalamiin..