Ini sebuah kisah nyata. Tidak ditambah, tidak dikurangi. Saya mau cerita kenapa saya bergabung di PGRI. Organisasi profesi guru terbesar di negeri ini.
Dulu, saya sering ejek mereka dengan sebutan Pensiunan Guru Republik Indonesia. Bukan Persatuan Guru Indonesia. Sebab saya melihat pengurusnya orang-orang tua dan para birokrat. Saya selalu berpikir negatif tentang organisasi PGRI ini.
Apapun yang dilakukan PGRI, akan saya tuliskan dengan nyinyir. Bagi saya saat itu, PGRI tidak lebih dari organisasi para orang tua yang sudah pensiun. Sampai suatu ketika ada seorang kawan pengurus PGRI di Bangka Belitung mengundang saya menjadi pembicara seminar nasional PGRI.
Di sana saya bertemu dengan pengurus pusat PGRI. Namanya pak Didi Supriyadi. Orangnya enak diajak bicara dan diskusi. Ketika di bandara saya bertanya kepada beliau. Kenapa pengurus PGRI kebanyakan orang tua? Beliau menjawabnya bijak.
Kalau memang orang muda ada dan sanggup silahkan bergabung di PGRI. Orang tua tentu akan mempersilahkan yang muda untuk tampil. Kemampuan memimpin organisasi tentu akan menjadi jaminannya.
Ketika mata pelajaran TIK dihapuskan dalam kurikulum 2013, guru guru TIK membentuk organisasi guru TIK. Tapi sayang hanya seumur jagung. Organisasi malah terpecah menjadi 3, dan masing-masing bertahan dengan pendapatnya.
Perjuangan guru TIK bukan semakin kuat malah semakin lemah. Butuh organisasi profesi guru yang kuat. Tepat tanggal 28 Agustus 2017 kami bergabung ke PGRI dibawah naungan APKS PGRI.
Asosiasi Profesi dan Keahlian Sejenis. Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul “Mengapa Saya Bergabung di PGRI?”,
Kreator: Wijaya Kusumah Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Tulis opini Anda seputar isu terkini di Kompasiana.com, dan Mohon komentarnya di kompasiana.