Teacher The Explorer

Humaniora0 Dilihat

Teacher the Explorer

Nuniek Nurpraesti

Seorang tropis mendapat tugas ke China di akhir musim dingin. Yang terjadi kemudian adalah kehebohan. Menghidupkan paspor yang selama ini mati suri -ada tapi tak terpakai- itu sudah pasti. Tapi berburu perlengkapan untuk sekedar bertahan di cuaca dingin itu yang lebih heboh. Sepatu bot, kaus kaki, sarung tangan, syal, semuanya khusus untuk musim dingin, beda dengan yang dipakai naik motor, begitu katanya. Jaket pun mesti wol atau kalau mau ringan pakai yang isinya bulang (bulu angsa) supaya hangat. Dan saya pun jadi tahu yang namanya long john*. Plus baru tahu juga ada toko spesialis menjual perlengkapan winter di Bandung.. hey kemana aja ya aku, hehe:)

Dan kehebohan itu berujung di kantong yang menipis karena harga semua printilan itu engga bisa dibilang murah. Akhirnya saya memutuskan membeli beberapa barang preloved (second) agar perekonomian rumah tangga terselamatkan. Dan terimakasih buat sahabat saya yang bersedia meminjamkan beberapa barangnya untuk saya pakai, paling engga jadi doa, barangnya dulu yang melancong ke luar negeri, pemiliknya menyusul kemudian insyaallah, amiiin.

 

Waktu kunjungan yang pas di bulan Maret membawa bonus tersendiri bagi saya manusia pengamat alam (maksudnya guru IPA, jadi sebetulnya lebih karena tuntutan profesi sih). Iklim asing membuat saya jadi kampungan karena banyak herannya. Fenomena kesetrum misalnya, sering kami alami tatkala menyentuh besi pegangan di bis, pegangan pintu, bahkan bahu teman yang mau kita tepuk. Nah terbukti bahwa peristiwa listrik statis lebih mudah diamati di iklim yang kering, tidak seperti di negara sendiri yang kelembabannya tinggi.

 

Iklim kering juga agak menguntungkan bagi baju-baju bawaan. Kamar dormitory kami tak memiliki balkon, sehingga agak sulit untuk menjemur pakaian. Malas juga membawanya ke laundry karena jauh dan ribet deh komunikasinya. Juga supaya ngirit maka pakaian saya cuci sendiri di wastafel kamar dan dijemur di kamar mandi. Dan ternyata baju-baju jemuran itu cepat sekali kering, meskipun mesin heater nya agak jauh. Udara kering membuat butiran air cepat terlepas ke udara. Begitulah kira-kira analisis amatiran. Kalo saja tahu sejak awal, saya tak akan bawa baju banyak-banyak.

 

Omong-omong tentang baju, hampir selalu saya memakai 4 lapis pakaian plus jaketnya. Tak berani kurang dari itu karena takut  kedinginan atau sakit. Bisa dibayangkan keriwehan yang terjadi ketika akan keluar kamar. Ga bisa janjian dadakan karena pakai baju pun makan waktu, haha. Dan ga bisa ujug-ujug lari gitu aja keluar kecuali mau beku kedinginan.

 

Padahal orang pribumi sih cukup selapis dua lapis, katanya. Wahai betapa hebatnya daya adaptasi manusia terhadap iklim. Dan saya pun jadi tahu, di balik ‘normal’nya penduduk setempat memakai celana jins, ternyata jins mereka didesain khusus, di dalamnya ada lapisan bulu penghangatnya. Namun begitu, setebal apapun baju yang saya pakai, tatkala angin menerpa wuuus dinginnya sampai ke tulang. Salah satu rekan guru saya yang mengesankan berbagi resep agar lutut tak ngilu kedinginan, yaitu dengan membungkus nya dengan plastik di atas legging atau longjohn. Saya sendiri merasa dengan memakai baju berbahan scuba di bagian dalam, agak tertolong dari hawa dingin yang menusuk.

 

Gaya kampungan saya yang lain adalah saat di luar ruangan tanpa heater, saya merasa seperti berada dalam kulkas raksasa. Maka saya bereksperimen yang lain. Saya mencoba menyetok beberapa telur rebus dari kantin dan mengawetkannya di sisi luar jendela kamar pada malam hari, saat suhu terendahnya bisa mencapai 2 derajat celcius. Dan benar saja, telur rebus tersebut awet berhari-hari lamanya. Namun yang mengecewakan adalah kenyataan bahwa semua makanan basah di ruang kamar kami juga tak ada yang basi walau sudah melebihi 3 hari. Padahal heater on terus 24 jam.

 

Sungguh lagi-lagi mungkin faktor udara kering, yang tak membawa kuman-kuman penyebab rusaknya kualitas makanan. Pantas saja makanan lokal cenderung bercita rasa hambar, mungkin karena tak butuh banyak garam atau gula sebagai pengawetnya. Bahkan hewan-hewan kecil pemangsa makanan yang berserakan pun tak nampak. Baik itu semut, lalat, atau cicak, tak pernah  keliatan atau terdengar. Malam hari pun sangat sunyi, tak ada suara-suara seperti di dalam negeri misalnya jangkrik, kodok, burung, kucing ataupun binatang nokturnal lainnya. Hanya dengung heater yang sedikit menderu.

 

Sebagai cerita terakhir, yaitu fenomena gerak yang setahu saya sebagai lulusan fisika adalah disebabkan oleh gaya. Malam itu, seusai membereskan barang-barang belanjaan dan menyingkirkan plastik pembungkusnya saya berniat tidur. Semua rekan sekamar telah terlelap dan tinggallah saya seorang diri. Baru saja saya membaringkan diri, terdengar suara plastik-plastik yang digerakkan dengan teratur. Bukan seperti suara plastik yang jatuh atau yang merosot dari tumpukannya. Tak ada angin karena mana mungkin membuka jendela di suhu udara yang beku. Dan sedang tak ada hewan-hewan kecil seperti di Indo. Hingga saat ini saya tak bisa menemukan gaya penyebab gerak plastik yang berbunyi tersebut.

 

 

Nuniek Nurpraesti, lahir di Bandung. Saat ini tinggal di Kota Tahu dan mengajar IPA di SMPN 3 Sumedang. Pernah menjuarai OGN IPA dan menjadi peserta Short Course for Excellent Teachers di Xuzhou, China. Bisa dihubungi via email, nurpraesti@gmail.com

 

 

 

Tinggalkan Balasan