AKU ADA SEBAGAIMANA AKU ADA KARENA MEREKA ADA BAGIKU

Edukasi211 Dilihat

Ilustrasi gambar: dokpri

Indonesia tepat berulang tahun ke 76 hari ini yaitu Selasa tanggal 17 Agustus 2021. Ia bisa ada karena para pendahulu, para pejuang dan para pendirinya telah bertarung nyawa demi melahirkan dia. Ya, Indonesia ada dan tetap kokoh berdiri karena orang-orang terdahulu telah memperjuangkannya dan kini kita wajib mempertahankannya. Dirgahayu Indonesiaku!

Tema yang diusung dalam memperingati hari kemerdekaan RI ke 76 tahun ini adalah: Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh! Indonesia akan semakin tangguh karena ia terus bertumbuh. Ia tangguh menghadapi segala ancaman karena ada kesadaran rakyatnya yang tumbuh untuk mempertahankan eksistensinya.

Di hari kemerdekaan ini pula aku ingin menuliskan cerita tentang beberapa orang hebat. Yaitu mereka yang telah menjadikan aku tangguh dan tumbuh sebagaimana adanya aku sekarang. Uluran tangan mereka telah membuatku tegak berdiri dengan gagah menantang dunia hingga kini. Kendatipun dampak perbuatan mereka tak pernah terpikirkan olehku kala itu.

Keberadaanku hari ini sebagaimana yang aku alami rasakan saat ini adalah karena mereka. Bersebab dari orang-orang hebat itu yang berada di sekelilingku. Orang-orang yang merelakan dirinya tak berarti demi membuat diriku berarti sepenuhnya. Dan itu dimulai sejak aku belum mengenal diriku dan duniaku.

Mereka merajut membentukku sedemikian rupa sehingga aku bisa seperti sekarang ini. Mereka membentukku dari tiga ranah sebagai pusat sumber dayaku. Ketiga sumber daya itu adalah: Hati, otak, dan otot. Mereka menjadikan diriku berarti karena hati, otak dan ototku dibangun secara simultan dengan gaya mereka masing-masing.

Proses pembentukanku tidak selalu menyenangkan. Ada hal-hal menyebalkan yang aku terima dari mereka. Tapi aku takkuasa menempiknya sebab aku berada di bawah kekuasaan mereka. Kelak baru aku tahu dan sadari bahwa didikan itu keras dan pahit rasanya tapi ia mujarab hasilnya.

Aku suka sekali dengan pepatah Arab dan kutipan yang aku baca sekitar tahun 1986-1987. Aku memperolehnya dari beberapa buku yang kubaca di salah satu toko buku di bilangan Jakarta Barat. Ketika itu aku sedang dalam proses penyelesaian pendidikan di FPOK-IKIP Jakarta.

Pepatah dan kutipan itu kucatat baik-baik dalam notes yang selalu kubawa. Ia kujadikan cambuk dan juga sebagai penyemangat dalam menyelesaikan kuliah. Ia berkata begini: “Barang siapa takmau merasakan pahitnya studi (baca: didikan) pasti akan merasakan pahitnya kebodohan sepanjang masa.”

Ada dua kutipan lagi yang ingin kubagikan untuk pembaca sekalian. Yang pertama berasal dari buah pikiran R. W. Mongisidi. Anak muda pejuang yang membuat Indonesia berjaya. Kata-katanya adalah: “…Belajarlah melihat kepahitan; semua tidak ada yang gampang tapi terlalu susah pun takada.”

Kutipan kedua berasal dari pemikiran sang proklamator tercinta, Mohammad Hatta. Ia berkata: “Sebagaimana suluh menerangi jalan di waktu gelap, demikian ilmu menerangi pikiran kita di kala menempuh masalah yang gelap rupanya dan tak tentu ujung pangkalnya.”

Pepatah dan kutipan di atas akan memaksa menuntun kita menengok peran orangtua dan guru. Didikan dan situasi pahit yang kita hadapi serta ilmu sebagai suluh penerang kehidupan adalah peran keren yang dimainkan oleh orangtua dan guru. Pribadi-pribadi ini yang sering memberi kita didikan dan tuntunan agar tidak mudah menyerah, meski susah pun pahit rasanya.

Nah, tulisan ini merupakan kenanganku bersekutu dengan para guru hebat itu. Aku akan menyebutkan satu atau dua guru mewakili lainnya yang telah membentukku sejak di bangku Esde hingga perguruan tinggi. Mereka semua sangat berarti bagiku. Semoga aku dapat melakukan dan menyampaikannya dengan gamblang kepada Anda.

Mereka Bagiku Sebelum Sekolah

Ketika aku belum mengenyam pendidikan di sekolah, orangtuaku adalah guru terbaik. Mereka mengajari dan membentukku dari segi karsa. Yaitu hati sebagai sentral berkelakuan hidup yang baik. Papa dan Mama mendidikku dengan ketat agar kehendakku tidak bertentangan berbenturan dengan kehendak orang lain di mana pun aku ada dan temui.

Suatu saat aku ingin sekali mencicipi ikan asin yang adalah titipan orang untuk dijual. Aku sangat tergiur tapi tak berani memintanya pada Papa atau Mama. Karena itu aku berusaha dengan segala daya untuk mengambil dan menikmatinya. Aku kerahkan nalar dan ragaku untuk menjangkaunya.

Kenapa susah ambilnya? Sebab ia berada di tempat yang tinggi. Ini dimaksudkan agar tidak dijamah kucing dan anjing yang memang banyak di rumah dan yang berdatangan dari para tetangga. Papa menggantung ikan itu di plafon ruang tamu. Dengan begitu ia aman. Kecuali Papa Mama dan orang dewasa yang sanggup mengambilnya.

Karena badanku kecil, aku susun kursi sebanyak-banyaknya hingga tangan mungilku bisa menggapainya. Sesudah itu aku mengambil hanya satu ekor ikan kecil tapi bukan teri. Aku menikmatinya sebagai lauk saat sarapan. Tentunya ketika makan, tidak diketahui siapapun. Nikmatnya tak teruraikan kala itu.

Tapi kawan, Papa tahu kalau jualannya tidak utuh. Ada yang mengambil tanpa sepengetahuannya. Selidik punya selidik, aku terciduk. Papa memarahiku dan memberi pesan ini: “Kalau ingin sesuatu, minta. Jangan mencuri. Itu perbuatan yang tidak terpuji. Jangan pernah ulangi lagi!” Pesan itu membekas dan mengabadi hingga kini: Lebih takmakan daripada mencuri.

Sebagai konsekwensinya, aku digantung dekat sekali dengan ikan-ikan itu. Entah bagaimana cara Papa melakukannya. Yang pasti aku tidak jatuh dan juga tidak cedera dan/atau mencelakakan. Karena aku tidak sakit secara fisik. Aku dibiarkan bergelantung di situ di samping ikan asinnya hingga sore hari. Lumayan, bukan?

Mereka Bagiku di Esde

Ketika belajar di sekolah dasar, Papa adalah guru favoritku. Itu bukan karena beliau adalah Papaku. Tapi karena cara mengajarnya yang gampang dicerna. Ia selalu menggunakan segala cara demi kami para muridnya paham. Ia takmau membiarkan kami pulang dalam ketidakmengertian.

Materi belajar kala itu hanya baca, tulis dan hitung. Alat tulis kami hanya terbuat dari sebuah lempengan batu dan pensil dari batu pula. Waktu itu kami menyebutnya, batu tulis. Jadi setelah dipakai untuk pelajaran tertentu harus dihapus untuk mengikuti pelajaran lainnya.

Jadi pembelajaranannya selesai di dalam kelas. Sebab materinya selalu terhapus digantikan pelajaran berikut. Untuk itu, setiap ke sekolah kami wajib membawa air di botol-botol kecil sebagai penghapus. Semua kami selalu setia membawa air bukan untuk minum tapi untuk membersihkan batu tulis.

Bahan pelajarannya Papa buat sendiri. Ketika itu belum ada buku cetak. Seingatku begitu. Maka Papa mebuat bahan ajar menggunakan kertas-kertas bekas. Ia mengukir abjad, angka dan lainnya untuk diajarkan kelak. Ia menuliskan semua itu dengan warna-warna menyolok dan bentuk yang beragam. Sangat menarik bagi usia kami saat itu.

Kreativitasnya dalam mengajar membekas tegas dalam diriku. Sehingga ketika aku menjadi guru, cara Papa menjadi barometer kepengajaranku. Aku takmau anak-anak pulang tanpa membawa sesuatu yang berharga. Sebisa mungkin selalu ada hal baru dalam setiap pembelajaran.

Mereka Bagiku di Esempe

Sosok guru yang mengesankanku saat duduk di bangku sekolah menengah pertama adalah kepala sekolahku, Ibu Karels-Suek. Ia selalu menempatkan dirinya sebagai pemeran pengganti. Karena itu setiap guru yang berhalangan hadir, ia akan menggantikan. Kalau ia berada di ruangannya dan tidak sibuk, pasti ia masuk mengajar menggantikan guru yang absen.

Beliau pernah menggatikan guru Biologi, Matematika dan Bahasa Inggris. Itu yang masih kuingat. Entah kalau masih ada mata pelajaran lain lagi yang pernah dibawakan sebagai seorang pemeran pengganti. Itu terjadi sekitar tahun 1978 ketika aku sudah duduk di kelas tiga atau kelas sembilan sekarang.

Di mataku, beliau sangat cerdas dan komunikatif. Dia senang bercakap-cakap dengan para muridnya. Ketika beliau mengajar semua anak dimotivasi untuk bertanya. Dia takingin melihat ada siswa yang diam. Kalau siswa tidak bertanya, dialah yang akan bertanya. Sampai lulus, aku taktahu apa latar belakang kelimuannya. Yang kutahu dia hebat dalam banyak hal.

Aku kagum padanya karena bahasanya tidak putar-putar. Langsung pada obyek pembicaraan. Ia sangat hemat tenaga dan waktu. Kata orang pintar, efektif dan efisien. Caranya mengajar tidak bertele-tele. Ia langsung mengepung materi yang ingin dicapai. Dengan demikian sesudahnya kami paham akan apa yang beliau ajarkan.

Seorang guru yang baik dan menjadi berkat bagi siswanya adalah guru yang tahu banyak dan banyak tahu. Yaitu orang yang tahu banyak hal demi memenuhi kebutuhan rasa, nalar dan raga para murid yang diasuhnya. Dan banyak tahu tentang hal yang diketahuinya. Atinya tidak dangkal pengetahuan dan pemahamannya.

Mereka Bagiku di Esgeo

Esgeo itu SGO sebagai singkatan dari sekolah guru olahraga. Sekolahnya para calon guru olahraga untuk tingkat sekolah dasar. Jadi mereka yang lulus dari SGO berhak dan berkompeten untuk menjadi guru olahraga di sekolah setingkat SD.

Kami dididik secara teliti agar menguasai teori dan praktik keolahragaan sebagai bekal mengajar. Cabang olahraga yang diajarkan adalah: Atletik, Permainan, Senam dan Renang. Semua siswa wajib menguasai dengan baik semua cabang olahraga itu.

Menurut pengamatanku, didikan di SGO sangat dan lebih keras dibanding jenjang lainnya. Para siswa yang suka membandel, malas atau ogah-ogahan belajar dihajar sampai KO. Kadang kalau gurunya sudah lelah memukul dengan tangannya, ia suruh memikul meja guru sepanjang pelajaran. Siswa terhukum akan membungkuk kemudian meja diletakkan di atas punggungnya.

Perlu Anda ketahui, teman bahwa meja guru terbuat dari kayu jati asli. Silakan Anda membayangkan betapa beratnya beban itu. Tapi begitulah resiko yang harus ditanggung oleh mereka yang pantas mendapatkan ganjaran itu. Setiap melakukan kesalahan, itulah upah yang harus didapat dan dipikulnya.

Tentang kerasnya pukulan biarlah kuceritakan padamu dari kejadian yang kualami. Kami kalau ditempeleng, jari sang guru akan membekas di pipi dan telinga hingga pulang sekolah. Bagi yang terbiasa dengan pukulan keras tak jadi persoalan. Tapi neraka bagi yang jarang menerimanya.

Aku pernah sekali seumur hidupku menerima pukulan itu. Itu akibat ada yang meneriakkan kata-kata tak senonoh yang menohok naluri keguruan sang guru. Tidak ada yang mengaku atas perbuatan tercela itu. Akulah yang dijadikan bemper. Teman-temanku sekelas meneriakkan namaku setelah ia bertanya siapa pelakunya.

Itu mereka lakukan karena mereka menganggap aku mampu meredam amarah guru. Alasan itu didasarkan pada kenyataan bahwa aku siswa berprestasi. Jadi pasti luluh kemarahan guru bila aku yang dikedepankan. Kekira begitulah pemikiran teman-teman. Ternyata keliru besar, kawan.

Guruku ini adalah seorang mantan petinju Nasional. Tapi sangat ramah dan tidak pernah marah. Tapi kali ini di luar dugaan. Situasinya berubah dan tidak seperti hari-hari yang telah lewat. Biasanya ia hanya menjewer telinga jika ada kekeliruan yang kami buat. Atau melayangkan pukulan kecil di dada, khusus laki-laki. Kalau anak perempuan biasanya disuruh lari keliling sekolah.

Biasanya pula setelah dipanggil ia akan bertanya alasan berbuat demikian baru menjatuhi hukuman. Tetapi hari naas itu, ketika aku menghampiri ia langsung mendaratkan telapak tangan besarnya ke pipiku. Teman, hanya sekali tapi aku sakit selama satu minggu.

Apa yang kudapat dari peristiwa itu adalah seorang peramah yang tidak pernah marah bukan berarti tidak bisa marah. Justru kemarahannya akan membuat orang lain berpikir berkali-kali untuk membuatnya marah. Jangan pernah membuat orang ramah jadi marah. Kata Nenek: Itu berbahaya!

Mereka Bagiku di Efpeoka

Ada dua istilah teknis dalam olahraga yang mungkin pernah Anda dengar, yaitu: Motor ability dan motor educability. Motor ability adalah kemampuan seseorang dalam melakukan gerakan-gerakan olahraga, seperti: Push up atau sit up dan lain-lain. Sedangkan motor educability adalah kemampuan seseorang dalam mendemonstrasikan teknik dasar dari cabang olahraga tertentu, seperti: menendang bola, pasing voli, pukulan dalam tenis meja, dan lain-lain.

Saat aku sudah tercatat sebagai mahasiswa olahraga di FPOK-IKIP Jakarta, kami melakukan hal ini. Pada mata kuliah gerak tertentu, kami diuji kemampuan teknik dasarnya. Yaitu untuk mengetahui seberapa pengetahuan atau keterampilan kecabangan seorang mahasiswa. Ini juga sebagai landasan atau pijakan pemberian materi kuliah oleh dosen yang bersangkutan. Supaya tidak mulai dari nol besar kalau kemampuan mahasiswa sudah bagus.

Ketika kuliah Tenis Meja dan Badminton, kami diuji kecakapan masing-masing. Di Tenis Meja, kami harus memantulkan bola ke meja yang terlipat selama satu menit. Dan dihitung berapa pukulan diraih capai oleh setiap mahasiswa. Aku termasuk yang tertinggi yaitu 60 pukulan tanpa salah yang mengakibatkan bola lari ke mana-mana. Aku dapat menguasai bola dengan baik.

Kemudian di mata kuliah Bulutangkis juga diberlakukan hal yang sama. Setiap kami diharuskan mengembalikan kok ke daerah permainan lawan dengan cara yang seharusnya sesungguhnya. Walaupun di sana tidak ada pemain yang menerima.

Kami harus mengejar kok dengan cara melangkah yang benar menurut standar permainan badminton. Kemudian kami juga harus dapat mengembalikan dengan teknik dasar yang benar menurut standar minimum. Setiap kami diberi kesempatan yang sama dalam melakukannya.

Dari penilaian sang dosen, aku dianggap memiliki teknik dasar yang mumpuni. Maka aku dimasukkan ke dalam kelompok elit. Yaitu mereka dianggap sebagai pemain-pemain yang berpengetahuan dan berpengalaman.

Setelah melakukan tes itu, kami diadu. Dipasang saling berhadapan sesuai perolehan nilai menurut kecakapan keterampilan tadi. Tahukah kau, teman? Aku dikelompokkan dengan para pemain yang telah malang melintang di banyak arena pertandingan. Aku sendiri belum pernah bertanding dalam sebuah kejuaraan pun. Apa boleh buat, takada kata mundur.

Tenis meja aku berhadapan dengan seorang juara dari daerahnya. Sedangkan di bulutangkis aku berhadapan dengan seorang mahasiswi tapi dia adalah sang juara Jakarta Timur. Anda dapat menebak hasilnya. Aku hanya mampu memungut bola dan kok. Tak kuperoleh nilai satu pun. Keok.

Dari sini aku mendapat satu masukan berharga bahwa: Menguasai teknik dasar adalah keharusan keniscayaan dalam olahraga. Tetapi pengalaman bermain pun harus menjadi keharusan dan keniscayaan pula. Tidak boleh menomorsatukan yang satu dan menomorsekiankan yang lainnya.

Rasanya itu yang bisa kuceritakan sehubungan dengan orang-orang hebat yang telah membentuk aku. Mereka yang telah menjadikan aku sebagaimana adanya aku saat ini. Mereka telah mengukir diriku dengan indah selama menempuh pendidikan di setiap jenjang yang kulewati.

Mereka telah membuat aku tangguh dan terus bertumbuh. Juga membuat aku tumbuh dan menjadi tangguh dalam menghadapi situasi sesulit apapun itu. Mereka adalah guru-guru hebat yang Tuhan karuniakan untukku.

Oleh karena itu, dengan hati tulus aku ingin menyampaikan rasa terim kasihku kepada semua guruku. Mereka yang pernah berada di sekelilingku menjadikanku guru yang berbeda. Sebab mereka membentukku dengan cara yang berbeda pula. Kiranya Tuhan membalaskannya berlimpah-limpah.

Selamat merayakan HUT RI ke 76 bagi seluruh rakyat Indonesia. Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh!

Selamat menyongsong Hari Guru Nasional pada tanggal 25 November yang akan datang. Karena guru Indonesia Tangguh, Indonesia Tumbuh!

 

Tabe, Pareng, Punten!

 

Tilong-Kupang, NTT

Selasa,17 Agustus 2021 (17.29 wita)

Tinggalkan Balasan

2 komentar