Ilustrasi: popbela.com.
Tadi malam saya berkesempatan berbagi pengalaman tentang menulis. Saya berbagi dari Tilong kepada teman-teman pegiat literasi dari seluruh pelosok negeri. Kegiatan berbagi itu dimulai pukul jam 20.00 – 21.30 wita. Semoga memenuhi harapan dan kebutuhan akan rasa haus dan lapar informasi kepenulisan mereka.
Seperti yang sudah saya sampaikan di tayangkan terdahulu bahwa sedang persiapan. Mempersiapkan diri untuk berbagi dengan teman-teman di WAG MBI (WA grup Menulis Buku Inspirasi). Dan tadi malam telah terselenggara dengan baik.
Saya mempersiapkannya satu hari sebelum pertemuan di udara. Itu sebabnya, tanggal yang tertera di akhir tulisan ini bukanlah hari ini. Tetapi hari Minggu tanggal 29 Agustus. Rasanya itu tidak masalah, bukan? Berikut adalah materi yang saya bagikan.
Apa itu kebiasaan? Saya ringkaskan arti kebiasaan dari KBBI elektronik. Satu, sesuatu yang biasa dan selalu dikerjakan. Dua, pola untuk melakukan sesuatu secara berulang-ulang untuk hal yang sama. Jadi kebiasaan menulis sehari-hari artinya biasa dan selalu menulis dengan pola yang tetap yaitu sehari-hari dan berulang-ulang.
Ada sebuah teori praktis mengajarkan bahwa untuk bisa menjadikan sesuatu itu sebuah kebiasaan, minimal melakukannya selama 28 kali berturut-turut (katakanlah satu bulan penuh). Jadi kalau mau menjadikan menulis sebagai kebiasaan, lakukanlah berturut-turut mulai hari ini (sekarang) hingga 28 kali ke depan. Jangan terjeda sehari pun.
Dari mana datangnya kebiasaan itu? Pertama, melalui sebuah kesadaran memaksakan diri untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat menurut standar umum. Mulai dari menulis hal yang sederhana baik ide, cara dan kuantitasnya. Maka untuk menjadi biasa harus diawali dengan sebuah perjuangan berat.
Kedua, ia akan menjadi sesuatu yang biasa dan rutin. Sudah mulai terbiasa menulis mengungkapkan isi hati dan pikiran. Ketiga, dari rutin mulai menyukai kegiatan menulis itu. Keempat, mulai mencintai aktivitas menulis.
Kelima, ia sudah merupakan suatu kebutuhan. Sampai tahap ini, akan terasa ada yang kurang jika belum melakukannya. Seperti: seseorang yang harus selalu minum kopi setiap pagi. Jika sehari saja belum minum kopi rasanya ada yang kurang.
Keenam, ia sudah menjadi sebuah gaya hidup. Sesuatu yang telah terinternalisasi dalam dirinya bahwa hidup, ya, menulis. Atau menulis adalah hidupnya. Di tahap inilah seseorang boleh dan bisa disebut profesional.
Saya melabelnya dengan frasa ini: tiada hari tanpa menulis. Jadi kebiasaan itu berasal dari suatu kesadaran pemaksaan diri, lalu mulai rutin, jadi suka, meningkat jadi mencintai, kemudian jadi suatu kebutuhan dan berakhir menjadi sebuah gaya hidup.
Untuk jadi kebiasan sehari-hari, tulis apa? Ini pertanyaan dari banyak orang ketika diperhadapkan dengan hidangan bernama menulis. Saya harus tulis apa? Saya ringkas saja bahwa pintu informasi menulis dari seorang manusia adalah panca indranya. Yaitu: Penglihatan, pendengaran, penciuman, peraba dan perasa.
Tingkatkan kepekaan kelima alat dria itu untuk menyerap informasi sebanyak mungkin sebagai ide menulis. Intinya, jangan takut berekspresi. Jangan takut salah, jangan takut dibilang jelek. menulis saja!
Sebab menulis itu adalah seni. Yaitu bagaimana memainkan rasa pembaca dengan kata dan frasa. Karena itu, dia tidak ada urusan dengan salah atau jelek. Yang tepat adalah enak atau tidak ketika dibaca. Enak di sini telah mewakili masuk akal tidaknya tulisan itu.
Bagaimana menulisnya? Ini adalah pertanyaan lain lagi yang biasanya dilontarkan. Semestinya tidak perlu ditanyakan sebab menurut saya, ini mubazir dan buang energi. Tetapi kalau tetap ingin dijawab, saya akan menjawabnya.
Namun sebelumnya, biarlah saya sampaikan ini dulu, bahwa: Ide dan kreativitas adalah dunia entah berantah yang tak bertepi. ia tidak bisa dijangkau dengan rumus & dalil apapun. ia hanya bisa diarungi oleh orang yang memilikinya. (Yolis Djami).
Karena itu, begini jawaban saya atas pertanyaan tadi: Pertama, ambil dan pegang bolpen. Ambil kertas lalu letakkan di meja di depan Anda. Langsung saja menekan mata bolpen ke atas kertas dan jadilah sebuah tulisan apik yang menarik dan membelajarkan orang.
Kedua, duduk di depan laptop atau PC. Klik Microsoft word, letakkan jari-jari di atas tuts lalu ketuk ketiklah huruf demi huruf. Maka terciptalah karangan manis yang menohok dinding nalar dan rasa pembaca. Bacaan yang menggoda emosi para penikmatnya.
Ketiga, ambil telepon pintar dan buatlah jempol Anda menari berdansa meliuk-liuk di huruf-huruf yang diinginkan hingga jadi tulisan. Uraian yang memuat sebuah informasi bergizi bagi khalayak banyak di luar sana. Itu dia, selesai.
Sebelum lanjut ke soal berikut, saya ingin menyampaikan sesuatu soal bagaimana secara agak serius. Ketika sudah rajin menulis dan terbiasa, tulisan Anda akan mengalir lancar. Itu sebabnya perlu latihan terus-menerus. Latihan tanpa jeda, tanpa jemu.
Saat menulis pun harus dengan cara pengungkapan yang benar, ejaan yang benar, dan seterusnya. Ungkapan ini mungkin akan membamtu Anda memahami apa yang saya maksud. Perfect practice, makes perfect! Demikian kata Deddy Corbuzier.
Kapan menulis? Manusia telah dikaruniakan suatu kebebasan berkehendak. Mau buat apa, dengan cara apa dan kapan silakan atur sendiri sesuai irama yang disukasi dan kuasai. Jadi soal kapan menulis, kembali ke individu masing-masing. Sesuaikan dengan kesempatan tiap orang.
Tapi sebaiknya sempatkan diri untuk menulis setiap hari. jangan tunggu punya kesempatan luas lebar dan banyak. itu tidak akan pernah ada. Ini hanya sebuah nasihat kecil saja. Wejangan ini boleh diikuti boleh tidak. Atau kalau dianggap tidak berguna, abaikan saja.
Intinya, tentukan waktu yang terbaik menurut diri sendiri. jangan menurut apa kata orang. Ini hanya merupakan kerikil-kerikil kecil yang berusaha mengganggu, malah menghambat kita untuk segera menulis.
Orang Tilong bilang: “Don’t put a side things that you can do it today.” Jangan tunda menyelesaikan sesuatu yang bisa dibereskan sekarang. Kekira begitu terjemahan bebas saya. Malah diserukan, the sooner, the better!” Seperti slogan SBY: Lebih cepat, lebih baik. Jadi? Mulailah sekarang!
Apa itu menulis? Berikut ini adalah makna menulis menurut olahnalar dan olahrasa saya. Makna asal-asalan versi saya, bahwa: menulis adalah beraksara tanpa suara. Itulah sejatinya menulis. Tidak butuh tenaga untuk berujar bersuara dengan kata-kata. Apalagi dengan teriakan lantang menggelegar, tidak perlu.
Dari makna besar itu, saya pecah-pecah ke dalam serpihan-serpihan kecil ini: 1. Menulis = berbisik pada diri sendiri. 2. Menulis, paparkan kejujuran. 3. Menulis, menyampaikan geram dalam diam. 4. Menulis = berlatih memberi solusi. 5. Menulis itu memberi pertolongan. 6. Menulis, jernihkan hati dan pikiran yang keruh. 7. Menulis, melerai yang bertikai. 8. Menulis = pijakan lompatan. 9. Menulis = memprotes tanpa ekpresi ketus.
Kenapa menulis? Saya sengaja menempatkan pertanyaan ini di poin terakhir. Padahal sebaiknya di awal pembahasan karena ia adalah visi dan tujuan. Seperti adagium berbahasa Inggris ini bahwa penting sekali meletakkan tujuan di depan: No goal no stress, no stress no activity, no activity no learning. Tapi tidak mengapa. Saya berubah pikiran karena mengikuti naluri yang menuntun saja. Bukan sebuah alasan ataupun dalil ilmiah.
Untuk menjawab pertanyaan terakhir, saya kutipkan buah pikiran Benjamin Franklin. Dia berkata:
If you wou’d not be forgotten
As soon as you are dead and rotten
Either write things worth the reading
Or do things worth the writing
(Jika Anda tak ingin terlupakan
Seketika terbujur kaku dan membusuk
Tulislah hal-hal laikbaca, atau
Lakukanlah hal-hal laiktulis)
Jadi saya menulis karena terprovokasi oleh puisi di atas. Entah saya pernah baca di mana, saya pun sudah lupa. Ini adalah dorongan bagus agar setiap kita mau dan suka menulis. Supaya ada jejak sejarah yang tertoreh bahwa kita pernah ada di muka bumi yang fana ini.
Sobat literasi hebat Indonesia, menulis dan membaca adalah suatu keutuhan. Dia ibarat dua sisi koin yang tidak bisa terpisahkan, apalagi dipisahkan. Tidak mungkin! Untuk bisa menulis dengan keren, wajib banyak membaca.
Menulis itu menyampaikan ide secara logis. Sedangkan membaca adalah sarana membangun logika. Berarti keduanya linear. Tentang membaca, Ralph Waldo Emerson menasihatkan: “Bila ingin tahu apa yang diketahui orang lain, bacalah apa yang mereka baca.”
Buah pikiran Ralph Waldo Emerson tadi saya baca secara tidak sengaja ketika berkunjung ke salah satu toko buku. Kata-kata itu meresap merasuk ke dalam sanubari saya. Akhirnya saya pajangtempatkan sebagai moto di skripsi saya. Jadi sekiranya ingin terampil menulis seperti para maestro, bacalah apa saja yang mereka baca.
Saya ingin menyampaikan ini sebagai penutup paparan malam ini. Saya mendapatkan suatu penguatan dari hasil belajar dan bereksperimen. Bahwa teori menulis itu penting dan dibutuhkan (baca: harus dilahap), apabila seseorang sudah menghasilkan karya.
Sebaliknya: “Kalau sudah mempunya teori yang mumpuni, berlatihlah sesuai teori yang dipunyai supaya terampil mengelola dan mengolah kata. Atau kalau sudah terampil menulis, belajarlah teorinya agar semakin kaya gaya dan kian kaya aksara bermakna. Maka, pasti keren!”
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang, NTT
Minggu, 29 Agustus 2021 (16.31 wita)
Wah, bagus tulisannya, Pak. Terima kasih memberi pencerahan. Salam liteasi.
Terima kasih, Pak Rasyid! Semoga bermanfaat!