Ending Novel Novelis (16)

Cover by Ajinatha

Tempat Tugas Pras yang Baru 

Di ruang kantor ayah.

“Ajeng, rencana membuka anak cabang perusahaan di Jogja sudah clear. Apa Pras nanti kita minta mengembangkannya…?”

“Gitu juga sip, yah…”

Aku acungkan ibu jariku pada ayah. 

“Sudah, yah? Aku ke ruanganku dulu…”

“Iya…”

Aku bangkit dan menuju pintu. Ayah memanggilku lagi.

“Ajeng…”

” Iya, yah. Ada apa?”

Aku membalikkan badanku lagi.

“Emmm. Ayah mau memanggil Pras sekarang. Kamu tak menunggu dan ikut bicara dengannya?

Aku menggelengkan kepala.

Aku mau balik badan, lagi-lagi ayah memberi pertanyaan yang mengejutkanku,”Apa kamu mencintainya, nak…?”

Aku terpaku. Sesaat aku terdiam lalu tersenyum pada satu-satunya orang tercinta yang tersisa. 

“Nggak, yah…”

**

Saat ini di kantor ada acara penandatanganan berita acara, penyerahan simbolis pimpinan anak cabang perusahaan di Jogja. 

Aku tak ada di sana. Biarlah. Yang jelas aku berada di kampung Rindu. Sejak beberapa bulan lalu aku rutin ke sana, sekadar memberikan bingkisan untuk anak-anak yang putus sekolah dan diajar Rindu.

Namun entah kenapa sampai menjelang sore ini Rindu tak juga sampai tempat belajar mereka. 

“Kira-kira mbak Rindu ke mana ya, dik Lili…” kutanyakan pada anak didik Rindu yang paling besar.

“Oh… mungkin mbak Rindu sedang persiapan acara nanti malam, mbak…”

“Acara?” Lili mengangguk.

“Kalau nggak salah Mas Antok mau melamar mbak Rindu…”

Aku terkesiap. Mengapa Rindu dilamar lelaki lain? Mengapa bukan Pras?

**

Di rumah Rindu. Sepi. Aku mengetuk pintu. Lama tak ada jawaban salamku.

Tak lama kemudian muncullah Rindu bersama ibunya. Sepertinya habis berbelanja. Belanjaan diturunkan dan dibawa masuk ke dalam rumah.

“Maaf, mbak. Sudah lama menunggu?”

“Lumayan, mbak. Ehmmm… sepertinya mbak Rindu sedang sibuk…”

Rindu tersenyum.

“Nggak juga, mbak. Cuma acara keluarga…”

Aku bingung mau bicara bagaimana dengan Rindu.

“Acara apa itu, mbak? Kok tadi Lili bilang kalau mbak Rindu mau dilamar…”

Rindu tersenyum. Diceritakannya tentang siapa yang melamarnya. Aku langsung protes.

“Saya dan Pras tak ada komitmen apa-apa, mbak. Sejak dulu saya sudah bilang begitu. Soalnya berat, mbak. Ayah dan ibu begitu tinggi memberi kriteria calon mantunya…”

Rindu mengatakan kalau restu tak diberikan kedua orangtuanya. Mereka tak melihat masa depan indah bagi anaknya jika dinikahi Pras. Jadi Rindu dijodohkan dengan orang yang menurut orang tuanya termasuk orang sukses.

“Tapi sekarang mas Pras sudah berhasil, mbak. Dia baik dan tak lama lagi dia memimpin anak cabang perusahaan di Jogja…”

Rindu tersenyum. Tak bergeming dengan perkataanku. Baginya restu orangtua adalah segalanya.

“Kami memang saling mencintai, mbak. Tapi digariskan bukan untuk bersama…”

Kubujuk Rindu untuk menggagalkan niatannya menikah dengan lelaki lain. Tak ada hasil. Bahkan ketika aku mau bilang ayah ibunya, biar tak melihat sebelah mata akan Pras.

“Nggak, mbak. Jangan. Ayah dan ibu nanti akan marah kalau saya membatalkan acara nanti…”

Ah…aku kesal bukan main. Kenapa ada orangtua yang egois seperti itu? 

“Lalu mbak Rindu sudah bilang sama mas Pras…?”

Rindu menggelengkan kepalanya.

“Saya belum kasih kabar, mbak. Mungkin nanti…”

Tinggalkan Balasan

1 komentar