Ending Novel Novelis (18)

Cover by Ajinatha

Melamarku

“Mbak, boleh saya bertemu dengan mbak?” Pras mengirimkan pesan malam ini.

“Maaf, mas. Sudah larut malam…”

Aku segera mematikan HPku. Aku ingin menenangkan diri untuk saat ini. Aku tak mau memikirkan Pras, Rindu atau bahkan diriku sendiri. Aku ingin melupakan penat otakku.

**

Keesokan harinya. Aku bangun kesiangan. Semalam pikiranku runyam. Untung saja aku masih haid. Jadi kalau bangun kesiangan, aku tak berdosa karena meninggalkan shalat.

Aku segera ke kamar mandi. Membersihkan badan. Rencana untuk ke kantor mruput tak kesampaian. Aku mau bilang ke ayah kalau aku mau mundur dari perusahaan.

Selepas mandi dan berpakaian rapi, aku mulai bersolek. Ya dandan minimalis saja. Biar tak ribet. Lalu kukenakan jilbab. Sudah beberapa bulan aku mengenakan jilbab tiap kerja. Meski di rumah masih sering khilaf mengenakan you can see.

Kurapikan jilbabku dan segera menuju meja makan untuk sarapan. Minum susu dan makan roti tawar saja sebagai pengganjal perut. Yang paling buruk dan masih kulakukan adalah makan sambil mondar-mandir menyiapkan tas kerja.

**

Aku mau membuka pintu gerbang. Tiba- tiba dikejutkan suara Pras.

“Selamat pagi menjelang siang, mbak…”

“Astaghfirullah. Kaget aku, mas. Ada apa ke sini pagi-pagi…”

“Pagi? Ini sudah siang, mbak. Pukul 10…”

Ah…iya. bukankah tadi aku bangun pukul sembilan kurang sedikit.

“Ternyata mbak bisa molor juga ya…” canda Pras.

Aku sewot mendengar ujarannya barusan.

“Bisa! Aku masih manusia!” seruku sambil kembali menuju teras. Buru-buru Pras menyusulku.

“Mbak kemarin nggak ke kantor. Kenapa, mbak?”

“Ah… ada acara pribadi…”

“Ke rumah Rindu?”

Aku terdiam.

“Makasih ya, mbak. Mbak perhatian ke anak-anak di sana. Itu keren…”

“Biasa saja, mas. Nggak keren…”

“Hmmm. Waduh. Bisa bertengkar lagi ini kayaknya…”

” Bertengkar? Siapa?”

“Eh… saya bisa bikin marah mbak Ajeng lagi maksud saya…”

“Ya sudah. To the point saja. Mas Pras ada keperluan apa? Kan bisa bertemu di kantor…”

“Saya mau minta maaf soal…”

“Sudah… tak usah dibahas. Nggak penting!”

“Itulah, mbak. Saya memang tak penting. Di sini atau di rumah Rindu…”

Aku terhenyak. Ucapanku ternyata disalahartikan Pras.

“Bukan begitu, mas. Soal candaan mas Pras itu. Nggak usah dipikir. Saya maklum kok…”

“Candaan yang mana, mbak?”

“Ya… yang di cafe itu…”

Pras tertawa.

“Mbak, boleh bicara sebentar kan? Ini penting…”

Aku yang akan bangkit dari kursi kembali duduk.

“Mbak, saya serius. Tak pernah bercanda. Begini… saya dan Rindu saling mencintai. Itu dulu, mbak. Karena tak ada restu saya hanya ingin berteman dengannya. Tak lebih…”

“Mas Pras sih nggak berjuang untuk kebahagiaan kalian…”

“Bukan begitu, mbak. Restu orangtua itu segalanya. Restu itu doa dan bentuk dari restu Allah. Jadi saya dan Rindu tak memaksakan diri. Kami lelah, mbak. Hubungan kami sudah terjalin sejak SMA kelas satu. Selama itu pula orangtua Rindu selalu marah melihat saya…”

Aku menyimak cerita pelengkap kisah mereka.

“Oh iya, mbak. Terimakasih sudah memberi perhatian pada saya. Rindu mengatakan semua semalam. Saya ada di rumah Rindu…”

Deg. Aku tak tahu, Rindu mengatakan apa saja kepada Pras. Tiba- tiba Pras meraih kedua tanganku. Reflek, aku mau melepaskannya.

“Mbak, yang diceritakan Rindu itu benar. Saya sedang down saat pertama kali menemani mbak Ajeng ke lapangan. Waktu itu Rindu sudah mengiyakan kalau mau dilamar Antok. Meski down, ada saja yang membuat saya bangkit. Itu karena mbak Ajeng…”

“Saya hanya teman kerjamu, mas…”

“Tapi, mbak. Saya ingin lebih dari itu…”

Aku termangu. Aku tak tahu harus bagaimana. Otakku belum bisa jernih memikirkan semuanya.

“Saya menjemput mbak Ajeng dan mau melamar di depan Pak Broto…”

Tinggalkan Balasan