Cover buku oleh Ajinatha

Puisi untukku 

 

Masih di taman hotel tempatku menginap selepas launching bukuku. Mas Pras tetap berada di sampingku.

“Kamu sama sekali tak membuka pesanku, Ajeng. Kenapa?” Suara mas Pras menyadarkan aku yang sibuk mengingat peristiwa demi peristiwa yang kulalui sampai saat ini.

Aku memalingkan muka.

“Kamu tak rindu padaku?”

Kuhembuskan nafas perlahan. Sulit untuk menjelaskan perasaanku pada mas Pras.

“Kuminta kamu membuka pesan-pesanku selama dua bulan ini, Ajeng. Biar isi novelmu bisa kamu tentukan akhir ceritanya.”

HPku yang tadi kuserahkan kepada mas Pras dikembalikan padaku. Entahlah, dia membaca alur kisah kami dalam novelku atau tidak.

“Aku sedikit belajar membuat puisi meski aku bukanlah pujangga atau penulis sepertimu, Jeng. Bacalah. Bukankah kamu ingin aku membuat puisi, biar romantis.” Ucapnya, sedikit menggodaku.

Kubuka aplikasi WhatsApp. Kuklik pada nomor mas Pras. Penasaran juga dengan isi puisi lelaki yang telah memenuhi ruang hatiku itu.

Kubaca perlahan ribuan pesan dari lelaki yang kucintai itu. Dan benar, dia sempat membuat puisi untukku.

Kau Telah Sentuh Hatiku

Perempuanku. Iya…kamu perempuanku yang mampu menyentuh hatiku. Hatiku yang keras laksana batu. Hingga diriku menjadi manusia yang tak punya hati.

Nafsu dunia. Dendam kesumat yang telah mendarah daging. Tak mampu melihat tulus cinta dan kasihmu. Kau menjadi korban kebodohan dan keegoisanku.

Jika kini kau ragukan diri dan hatiku. Yang ingin kau beri kesempatan, itu wajar. Hatimu terlalu sakit olehku. Kau tak ingin terluka lagi.

Kau tetap perempuanku. Jika kau ingin berlalu selamanya. Biarlah aku menjadi pengemis cinta darimu. Jangan halangiku!

Kini kuingin akhir kisah yang bahagia. Meski bahagia itu relatif. Namun kuyakin masih ada harap pada cintamu. Yang membawa bahagia bersama, berdua denganmu selamanya.

Di akhir bahagia yang kuingin. Kuharap bisa gunakan sisa umurku. Tuk buktikan rasaku. Untukmu selalu.

Inilah akhir kisah yang kuingin, dari kisah yang kau tulis. Dari kisah nyata kita.

**

“Aku pusing membaca pesannya, mas.”

Aku berhenti membaca chat mas Pras sampai pada puisinya saja. Mataku lelah. Sementara mas Pras merasa sedikit terkejut mendengar ujaranku.

“Lalu bagaimana?”

“Puisinya bagus.”

“Kamu suka?”

Aku tersenyum. Salah tingkah.

“Puisiku bisa melengkapi akhir kisah novelmu?”

“Aku coba, mas…”

Tinggalkan Balasan

3 komentar