Aku Zahra. Aku seorang anak tunanetra. Umurku delapan tahun. Sekarang aku duduk di kelas dua.
Sebelum masa pandemi ini aku selalu masuk sekolah. Banyak yang aku pelajari. Berhitung, menghafal huruf braille, menulis pada papan rekenplank, berjalan menyusuri sebagian lorong sekolah dan lapangan.
“Bu guru, aku capek.. Aku pengen bercerita..”, kataku kepada bu guru saat aku sudah jenuh belajar menulis. Hehe.
Eh iya, nama bu guruku bu Nira. Orangnya lebih tinggi dari aku. Aku tahu karena oleh bu Nira aku dirabakan ke tubuh bu Nira.
Oh iya, kemudian aku diajak bercerita. Tapi karena aku belum bisa bercerita, aku ditanya-tanyai oleh bu guru. Kegiatanku kemarin setelah sekolah apa saja. Dengan siapa. Dan sebagainya.
***
“Zahra, coba sekarang dilepas sepatunya..”, kata bu Nira suatu saat di kelas.
“Kenapa harus dilepas, bu?”, tanyaku tak mengerti.
“Kamu harus belajar melepas dan memakai sepatu sendiri, Zahra..”, jawab bu Nira.
“Biar kalau ibumu repot, kamu bisa melepas dan memakai sendiri.. Terus kalau sudah gedhe, kamu juga tidak minta tolong ibu.. Kan malu.. Iya, kan?”, lanjut bu Nira.
Aku menganggukkan kepalaku. Ya, aku mengerti. Memang aku masih dibantu ibu dan bapak kalau mau memakai sepatu. Memakai baju apalagi. Hehe.
Segera ku lepas sepatuku. Agak kesusahan juga aku melepasnya. Ku buka rekatan sepatuku. Apakah bu Nira membantuku? Sesekali iya, tetapi bu Nira lebih banyak mengarahkan aku untuk melepas sepatuku.
“Kalau melepas sepatu, yang sebelah kiri dulu ya.. Setelah itu baru yang kanan..”, kata bu Nira.
“Itu ajaran Nabi Muhammad, Zahra..”, lanjut bu Nira.
“Sudah, bu..”, kataku di saat aku sudah bisa melepas sepatu kiri dan kananku.
“Alhamdulillah.. Sulit tidak, Zahra?”.
“Lumayan, bu.. Hehe..”, jawabku.
“Nah, sekarang coba kamu pakai sepatumu. Kalau memakai sepatu dimulai dari yang sebelah kanan.. Baru yang kiri..”, kata bu Nira.
Aku segera berusaha memakai sepatu. Sepatu kanan. Ku tempel rekatannya agar tidak lepas. Kemudian sepatu kiri, rekatan ku tempelkan juga.
“Nah, Zahra bisa kan memakai sepatu sendiri?”, tanya bu Nira.
“Bisa, bu. Alhamdulillah..”, ucapku senang.
“Kalau begitu, kalau di rumah, kamu melepas dan memakai sepatumu sendiri lho ya…”, kata bu Nira.
Aku menganggukkan kepalaku. Ya, memang aku harus mau belajar melepas dan memakai sepatu sendiri di rumah. Apalagi kalau ibu dan bapak sedang repot mengurus adik dan simbah.
Oh iya, kata bu Nira, besok kalau sudah agak besar, bu Nira akan mengajari aku melepas dan memakai sepatu yang bertali. Karena sekarang ini aku masih memakai sepatu yang direkatkan.