Dari Lira ke Lari: Kisah Uang Kertas Berbagai Negara

Berita, Wisata219 Dilihat

Semuanya 5 Lari”, tukas sang gadis yang bertugas sebagai kasir di sebuah toko kecil yang menjual kebutuhan sehari-hari dan terletak di tepi jalan yang berliku-liku dan sedikit gelap di Kota Tua Tbilisi. Dengan sigap saya kemudian menyodorkan selembar uang bertuliskan angka 5. Namun sang gadis berkali-kali dengan sabar sambil tersenyum menolak uang tersebut.

Mula-mula saya agak kaget kenapa lembaran uang tadi ditolak sampai kemudian saya sadar bahwa uang yang saya sodorkan adalah lembaran uang 5 Lira yang kebetulan masih ada di dompet saya. Maklum saja, itu adalah sore pertama di Tbilisi, ibukota Republik Georgia yang menggunakan mata uang Lari. Sedangkan pagi tadi saya masih berada di Istanbul, Turki, yang menggunakan mata uang Lira. Kemudian uang 10 Lari pun saya sodorkan dan langsung diterima sang gadis sambil tersenyum manis, menyebutkan didi madloba yang artinya terima kasih dan juga kembaliannya selembar uang 5 Lari.

Mata uang memang bisa menjadi sesuatu hal yang menunjukkan identitas suatu negara. Pada masa sebelum negara di Eropa menggunakan mata uang Euro, kita masih sangat familier dengan mata uang DM alias Mark Jerman, Peseta Spanyol. Lira Italia, dan juga Franc Prancis. Namun hingga saat ini, masih juga ada negara di Eropa yang tetap mempertahankan mata uangnya seperti Pound Inggris, Krona Swedia, Denmark, dan Norwegia.

Mata uang, juga sangat menarik. Nilainya bermacam-macam, di akhir abad ke dua puluh dulu, kalau kita pergi ke Turki, maka kita akan melihat uang yang selembarnya bernilai jutaan rupiah. Maklum kala itu 1 USD nilainya sama dengan sekitar 500 ribu Lira. Dan ketika sempat mampir e museum mata uang di Selandia Baru, saya juga sempat melihat mata uang Zimbabwe yang memiliki 12 angka nol alias Triliun Dolar. Namun ada juga mata uang yang tetap kuat dan berjaya. Mata uang Yen Jepang misalnya .

Pertama kali saya pergi ke Tokyo di akhir tahun 1980an, yang menarik adalah banyaknya vending machine yang menjual minuman dingin dan panas. Saking asyiknya bermain vending machine saya bahkan pernah menemukan uang 100 Yen yang bisa digunakan untuk membeli sekaleng minuman dingin. Asyiknya harga ini relatif tidak berubah bahkan sampai lebih tigapuluh tahun kemudian dimana kita masih dapat membeli sekaleng minuman dingin di vending machine seharga 110 atau 120 Yen.

Uang Yen juga sangat menarik karena memiliki nilai uang logam dengan nilai yang cukup mahal dan hanya mempunyai uang kertas 1000, 5000, dan 10.000 Yen. Uang logamnya sampai dengan nilai 500 Yen yang nilainya hampir 60 ribu rupiah. Akibatnya uang kertas Yen selalu dalam bentuk yang rapi, bagus dan tidak pernah kumel dan lusuh. Bandingkan dengan lusuhnya uang kertas Rupiah yang bernilai 1000, 2000,5000 atau bahkan 10.0000.

Konon kata orang lusuhnya uang kertas berbanding lurus dengan kurang beresnya perekonomian di suatu negara. Lalu negara mana sajakah yang uang kertasnya lusuh dan uang logamnya hampir tidak memiliki nilai? Selain Indonesia, Nepal merupakan negara yang memiliki uang kertas dengan denominasi dan penampilan yang sangat lusuh. Uang dengan nilai 10 Rupee, 20 Rupee dan bahkan sampai 50 atau 100 Rupee, selalu hadir sangat kumel, lusuh dan bahkan sering dengan warna yang sudah luntur. Selain itu, negeri tetangganya yang juga kebetulan menggunakan uang Rupee yaitu India juga memilih penampilan uang kertas yang mirip dengan Nepal. Bahkan parahnya uang logam 1 Rupee sangat susah dijumpai sehingga hampir sering kalau kita belanja tidak akan ada uang kembalian. Apa lagi uang dengan denominasi lebih kecil dari Rupee yang bernama Paisa.

Negara yang sudah makmur biasanya akan sangat menghargai mata uang mereka sendiri, sedangkan negara yang masih mencari identitas lebih menghargai mata uang asing. Hal ini dapat dilihat di bandara keberangkatannya. Bila di duty free suatu negara harga barang dihargai dalam USD maka negara itu memang masih tergolong sedang berkembang ataupun belum maju.

Selain Indonesia, ada beberapa negara dimana kita hanya bisa menggunakan USD di duty free bandara internasionalnya. Antara lain di Vietnam, Mesir, Nepal, Rwanda, Kenya, dan Cambodia. Di Cambodia, bahkan penggunaan mata uang USD sangat meluas hingga mata uang Riel hanya digunakan untuk nilai yang recehan.

Namun yang paling menarik adalah negeri Iran, dimana walaupun mereka sangat membenci Amerika Serikat, tetapi rakyatnya akan sangat suka bila kita berbelanja degan USD. Sementara nilai mata uang Riyal sendiri saat ini sudah hancur karena 1 USD sudah lebih dari 24 ribu Riyal?

Bepergian ke banyak negara, memang sangat mengasyikkan, dan dengan mengenal uang mereka baik kertas maupun logam kita dapat sekilas mengenal lebih dalam kehidupan budaya, dan juga bahkan tingkat kemakmuran suatu negara.

Tinggalkan Balasan