Oleh : Heri Setiyono
Pak Sukab membolak-balik map anggaran, memijit-mijit kalkulator dahinya berkerut. Runyam. Diambilnya kertas dan pulpen diulanginya lagi hitungan. Kembali dahinya mengernyit, kali ini rambutnya yang tinggal beberapa helai juga tampak tegak. Otaknya memanas.
“Sudah buat saja surat pesanan soalnya, uangnya ambil saja dahulu darimana saja,” kata Cik Gu Besar seraya menggeser kursi yang senyatanya berderak enggan ditimpa beban hampir satu kwintal.
“Tapi bagaimana mungkin Bu, kita tidak memiliki anggaran untuk itu. Adapun keuangan hampir habis untuk membayari hutang sekolah. “ Jawab Sukab lirih. Guru kelas enam, guru paling senior dan merangkap bendahara sekaligus pembina pramuka itu lunglai tidak menemukan celah mengutak-atik keuangan.
“Ya sudah, aku pinjami uang. Berarti sampai bulan ini utang sekolah kepadaku menjadi dua belas juta ya.” Ucap Cik Gu Besar seraya mempersiapkan buku bon dan pulpen seolah semua telah direncanakan.
Sukab hanya bisa terdiam lesu. Dia memahami betul tidak mungkin guru miskin sepertinya mampu memberi talangan dana. Semua bergantung pada kepala sekolahnya. Meskipun lebih sering jika kepala sekolahnya mengibulinya. Belanja-belanja kebutuhan sekolah misalnya, tahu-tahu sudah ada di meja kepala sekolah. Rupaya atasannya yang telah berbelanja dengan uang pribadinya dan kemudian meminta ganti kepada berdaharanya itu. Tentu saja Sukab harus rela memberikan ganti meskipun dia berulang kali dikemplang karena mengganti melebihi anggaran seharusnya yang telah direncanakan.
Kali ini sukab hanya pasrah. Ia menyadari betul posisinya yang tidak bisa membantah. Maka ia pun akhirnya membuat surat pesanan untuk membeli lembaran soal ujian.
Soal-soal pesanan itu nantinya akan digunakan untuk ujian tengah semester satu, dan akan terus begitu berulang hingga soal penilaianakhir semester. Senyatanya soal-soal itu banyak yang tidak sesuai mengukur kompetensi para anak didik Sukab. Karena hanya berupa soal-soal yang sering berseliweran di dunia maya bernama internet. Dikumpulkan dan dicetak percetakan. Belum pernah diuji validitasnya apalagi kematangan mengukur tingkat berpikir. Yang ada hanya masalah tawar menawar keuntungan antara percetakan dan pemesan. Sayangnya , Pak Guru Sukab yang matanya berkaca seperti jendela kuno itu tidak pernah mengetahu mahluk bernama internet apalagi mendapatkan cipratan keuntungan. Semua masuk ke kantong utang sekolah yang dimiliki atasannya.
Sukab hanya tahu nuraninya tidak menyetujui setiap tindakan yang dilakukan atas perintah atasannya itu. Diam-diam ia mengganti alamat tujuan pemesanan.
Hari berikutnya, Sukab tidak hadir. Absen berhari-hari sedang soal yang dinanti tidak kunjung datang. Semua kerabat juga rekan kerjanya tidak mengetahui Pak Guru Sukab yang tercinta telah pergi kemana. Seperti hilang ditelan bumi begiru saja. Memang pada jaman itu permukaan planet di negeri itu sering merekah dan menelan apapun yang ada diatasnya. Termasuk menelan orang-orang yang sengaja ingin menghilangkan dirinya sendiri karena muak dengan hidupnya, seperti halnya Sukab. Sukab memang telah bosan terus-terusan mengkhianati nuraninya.
Karena hilangnya Pak Sukab, Cik Gu Besar menjadi sering bermimpi. Bermimpi buruk terus menerus, bahkan saat tidur siang diatas sofa di ruang kantornya. Dalam mimpinya dia melihat Sukab dengan dahi berkerutnya. Maka, buru-buru ia bertanya.
“Mana soalnya Kab, sampai sekarang tidak juga datang? Kemana kamu memesan?” Tanya Cik Gu Besar lantang.
“Sebentar lagi sampai bu, sedang dikirim mungkin besok pagi tiba,” jawab Sukab menahan kaget mendengar suara lantang dari belakangnya.
“Tapi maaf bu..” Sukab lirih berkata-kata dengan wajah tertunduk.
“Maaf karena soal pesanan telat. Tidak masalah itu itu bukan salahmu..” Jawab atasan Sukab.
“Bukan Bu, bukan itu… saya minta maaf karena saya kirim ke tempat lain.”
“Maksudmu?” Tanya atasan Sukab berang.
“Saya kirim ke Malaikat Maut Bu, biar dapat soal yang gampang, enam pertanyaan saja. Ada satu paket soal buat ibu juga katanya.” Jawab Sukab.
Tiba-tiba semua menjadi gelap.
Demikianlah, sejak peristiwa itu berbondong-bondong sekolah di negeri itu memesan soal kepada Malaikat Maut untuk soal ujian. Hanya berisi enam soal saja dan gampang pula dijawabnya menurut Sukab dan murid-muridnya. Entah kalau atasannya bisa menjawab tidak. Itu bukan urusan saya sebagai tukang mengarang cerita fiksi.
Catatan penulis:
Heri Setiyono, S.Pd
No. pokok anggota PGRI : 10094000266