Raisha (Fiksimini)

Cerpen, Fiksiana25 Dilihat

 

Raisha (Fiksimini)

Oleh: Heri Setiyono

 

Kelas sebelas A mendapatkan tugas mengarang cerita pendek dari Bu Ivo, Guru Bahasa Indonesia yang juga wali kelas mereka. Rio yang tidak menyukai bahasa dan sastra masih memandangi kertas folio di depannya. Pulpen di tangannya diputar-putar melewati jemari dengan lincah. Sedang tangan kiri masih memijit-mijit pelipis seolah memaksa ide keluar dari tempurung kepalanya. Tak kunjung inspirasi cerita datang kepadanya. Mendadak ia teringat sesuatu. Tutup pulpen dibuka dan ia memulai ceritanya.

Cerita itu begini:

Suatu malam Rio sedang menunggu giliran menyusur jejak jurid malam dengan cemas. Tangan dan pipinya dingin. Sedari tadi diterpa udara lembut puncak bulan penghujan, Februari. Baju pramuka  lengkap dengan hasduk di leher yang dikenakannya tak mampu mengusir kebekuan.  Diliriknya jam tangan, hampir tengah malam. Langit berwarna gelap dan muram tertutup kelabu mendung yang enggan beranjak sedari surup Isya. Seperti sebuah alamat yang buruk.

Memang tidak jelas benar mengapa dirinya mau bertukar urutan menyusur jurid malam dengan  peserta lain bernama Raisha. Karena Raisha cantik, menarik dan nahas mendapat undian giliran terakhir. Kiranya itulah yang dia pikirkan sebagai alasan yang cukup masuk akal.

Disaat peserta lain sudah berada di titik akhir di ruang kesenian, berselimut hangat dan tertidur, ia rela berjam-jam menunggu giliran. Kegiatan perpaduan menyusur jejak dan jurid malam itu adalah persyaratan yang harus dia lakukan untuk mendapatkan badge pleton inti.  Setiap peserta harus berjalan dengan rute yang sudah ditentukan oleh para Kakak Bantara. Tidak lama jika berlari, hanya menyusuri sekolah di malam hari yang tidak kurang dari empat lorong bangunan. Sayangnya peserta tidak boleh berlari. Setiap peserta yang berlari akan  ketahuan karena ada panitia yang mengintai di balik gelapnya bayang bangunan.

Selain dilarang berlari, di setiap titik yang ditentukan peserta harus membubuhkan tanda tangan pada lemabar kertas yang disediakan. Terdapat sebatang lilin penerang dekat kertas absen untuk memudahkan penglihatan. Peserta harus berjalan sendiri tanpa penerangan apapun.

Begitulah aturan main yang digariskan yang di dengar  Rio.

 

 

Sebenarnya ada kengerian yang muncul di benak Rio setiap kali mengingat sekolah ini adalah bekas bangunan jaman kolonial. Bangunan yang dahulu sempat digunakan para penjajah menyusun siasat untuk menjebak dan mengeksekusi pembelot.

Lebih ngeri lagi jika mengingat mitos turun temurun di sekolah itu jika terdapat lorong bawah tanah yang menghubungkan kelas sepuluh B dengan aula. Terdapat ruang-ruang gelap di lorong bawah tanah itu, konon dahulu digunakan sebagai ruang untuk menyiksa para gerilya. Mito situ sayangnya tidak dapat dikonfirmasi karena pintu lorong itu sudah ditutup pondasi.

Malam ini sayup binatang malam pun tak terdengar. Mendung masih menggantung, beberapa bulir rintik sudah membasahi bumi. Kelabu malam tidak selalu berarti malapetaka bukan?

Namun pikirannya segera berubah.

Tibalah giliran Rio, peserta terakhir. Ia berjalan dengan gugup meski dicobanya tetap santai. Namun, nafasnya tidak mau kompromi. Ia tegang, nafasnya satu-satu tak teratur.

Rio pertama melewati halaman sekolah. Aman. Hanya beberapa Kakak Bantara menggodanya dengan lemparan kerikil dari balik gelap. Lemparan yang disengaja dikenakan ke depan langkahnya. Rio menyadari dan tak membalas, meski sedikit kaget.

Sesampai di parkiran motor suasana berbah sepi. Tidak ada lemparan kerikil. Diatas parkiran motor itu di lantai dua parkiran adalah masjid sekolah. Ia tahu beberapa panitia sembunyi disana. Rio berbelok ke kanan, ke arah kantin. Kantin yang berupa kios kecil itu berderet  memanjang hingga ke belakang ruang kelas sepuluh B. Suasana kantin yang biasanya riuh kala siang demikian berbeda kini. Hanya terdengar cericit tikus wirog yang besarnya setelapak kaki orang dewasa  berebut sisa makanan di tempat sampah.

Rio terus berjalan tanpa penerangan. Jantungnya berdegup makin kencang ketika melewati belakang kelas sepuluh B. Tidak terjadi apa-apa, Rio sedikit lega. Ia khawatir dikagetkan dengan kemunculan mendadak panitia berkostum hantu. Namun tiba-tiba.

“Brakk….”, bunyi jatuh berdebam keras menghantam tanah. Bunyi keras  seperti dahan pohon tumbang. Rio terkesiap. Ditolehkan kepalanya menuju sumber suara yang jelas berada di belakangnya. Tidak ada apa-apa. Namun ia sadari memang di sisi kantin tepat dibelakang kelas sepuluh B ada pohon sebesar tiang listrik yang kemarin sudah ditebang.

Rio tidak mengambil pikir, disugestinya dirinya sendiri bahwa ia salah dengar. Diteruskannya langkah yang belum mencapai separuh jalan. Kaki rio melangkah memasuki tempat selanjutnya kamar mandi siswa putra. Rio diberi tahu bahwa ada absen di pojokan kamar mandi putra. Ia berusaha cepat-cepat menuju kesana.

Sialnya karena giliran terakhir. Lilin yang  menerangi sudah hampir habis. Tepat mencapai kamar mandi paling pojok lilin padam.  Rio buru-buru meraba-raba, menemukan pena lalu menandatangani pada lembaran putih yang masih sebersit kelihatan mata setelah jeda ada cahaya lilin. Rio buru-buru berpindah ke tempat selanjutnya. Tidak dipedulikannya berbagai macam bau menyengat hidungnya. Entah pesing, busuk dan berganti wangi melati atau apa tidak dihiraunya.

Kali ini langkahnya memburu meski tidak berlari. Tempat selanjutnya adalah ruang Kelas sebelas A yang berada persis dihadapan kelas sepuluh B. Tiba-tiba angin berdesir ketika Rio membuka pintu, beberapa saat cahaya lilin berkedip akan  mati. Namun, tak mau ia jika gagal membubuhkan tanda tangan. Dilakukanya secepatnya lalu keluar ruangan.

Dari sudut mata, Rio sepertinya melihat Raisha. Gadis cantik berparas khas gadis Bali itu berjalan menyusuri lorong menuju aula. Rambutnya yang hitam lurus sepunggung adalah ciri khasnya. Hanya Raisha yang punya karena semua peserta putri selain dirinya memakai jilbab. Rio heran mengapa Raisha ada disana. Namun ia hanya diam tak memangil dan segera menyusulnya ke Aula tempat tanda tangan absen selanjutnya.

Anehnya, Raisha tidak ada di dalam aula. Sepi. Hanya meja dan kursi yang berserakan serta secarik kertas dan sebatang lilin yang mau habis. Tirai penutup panggung di aula bergoyang lembut tanpa Rio sadari.

Setiba di titik akhir Rio merasa lelah. Ia tak banyak bicara dan segera mencari tempat untuk merebahkan badan. Seketika itu ada sesuara anak perempuan yang memanggilnya, Rio tidak menyadari.…

Cerita itu terputus disini, karena tanpa Rio sadari Raisha memanggil-manggil nama Rio untuk maju ke depan kelas mengumpulkan ceritanya. Bu Ivo sudah menunggunya sedang Rio masih asyik di dunianya.

 

Tinggalkan Balasan