PENSIUN

Cerpen, Fiksiana36 Dilihat

 

Oleh : Heri Setiyono

 

Pagi ini terasa berbeda, udara terasa begitu segar, cericit burung memanggil-manggil pasangannya di pucuk dahan pohon rambutan. Sinar mentari juga hangat sekali seperti hangatnya hatiku hari ini karena hari ini adalah hari terakhirku ke sekolah sebelum besok purnatugas.

“Bu Im kok kayaknya bahagia sekali. Ini saya bawa beberapa mangga Bu, masak di pohon lho,  manis banget,” kata Ais rekanku yang masih muda, lajang dan bergairah kerja.

Kuucapkan terima kasih atas pemberiannya. Wah, aku mungkin akan merindukan suasana seperti ini bertemu rekan-rekan guru yang seusia anakku yang demikian baik dan semangat.

Ais adalah guru baru, dia diangkat dari tenaga bantu seleksi pegawai kontrak. Ia akan menggantikanku di kelas ini esok hari.  Melihat dirinya sungguh mengingatkanku sewaktu muda. Energik, haus ilmu dan tidak suka ribet.

Kami pun memiliki kesamaan yang membuat cepat akrab dan menjadi rekan dekat. Sama –sama tidak suka gossip dan lebih suka bercerita tentang  berbagi ilmu. Ya, aku memang sedari dulu enggan melayani rekan kerja yang membicarakan orang lain. Meskipun hampir semua guru di sekolah ini perempuan, aku mungkin satu-satunya yang tidak suka dengan “ngrasani” apalagi membicarakan kejelekan orang lain.

Hari-hari menjelang pensiun ini sangat membuatku gembira. Bagaimana tidak, pensiun adalah suatu cita-cita bagiku karena dengan pensiun aku bisa fokus beribadah dan mengikuti taklim-taklim yang jarang bisa kulakukan ketika masih bekerja.

Terlebih sudah tidak ada lagi tanggungan anak-anak. Ketiga anakku sudah masing-masing memiliki pekerjaan tetap. Dua menjadi dokter dan si bungsu yang sangat berbeda hobinya menjadi pendaki dan penjelajah alam. Anak itu memang berbeda dari kecil, jiwanya selalu bebas seperti burung layang-layang. Maka kurestui juga pekerjaannya menjadi fotografer alam untuk suatu majalah.

Sebenarnya kini aku hanya sendirian di rumah. Suami sudah lama tiada tetapi rumah tidak pernah sepi karena setiap sore anak-anak kecil datang mengaji, aku dibantu beberapa kolega menjadi guru mengaji. Ibu-ibu di kompleks juga sering mengadakan pengajian dan mengambil tempat di rumahku. Rasanya pensiun adalah anugerah untukku bisa lebih banyak beribadah.

Beberapa waktu lalu rekan-rekan guru seangkatanku ada yang datang kepadaku. Sekedar bercerita membuang kegelisahan yang melanda sebelum berhenti bekerja. Entah mengapa kebanyakan selalu stress mengahadapi pensiun. Tidak terkecuali kawanku-kawan seangkatanku itu.

Kebanyakan tidak siap dengan pensiun. Aktivitas yang sebelumnya bekerja kemudian tiada. Ada semacam kebiasaan yang hilang dan mereka belum siap. Beberapa juga secara terang-terangan bercerita kalau belum siap pensiun, karena masih banyak ide-idenya untuk sekolah dan belum mau melepaskan diri dari jabatan atau posisinya saat ini. Katanya, belum siap melepaskan dibutuhkan orang lain. Jika pensiun siapalah yang akan datang memohon nasihat, tanda tangan dan membutuhkan bantuan.

Banyak yang tidak siap. Terlebih rumah meskipun utuh ada anak, cucu dan menantu kebanyakan tidak cocok. Pekerjaan menjadi pelarian. Dan di rumah merasa merepotkan anak adalah kesalahan. Hal yang sama sekali tidak ingin dan tidak akan dilakukan orang tua.

Aku sedari diangkat hingga pensiun berada di sekolah yang sama. Berpuluh tahun tidak pindah tugas. Tidak juga kukejar karier dan jabatan. Meski kemampuanku ada aku lebih menyukai ilmu daripada jabatan. Bagiku jabatan akan membuat pikiran tidak fokus kepada tugas utama untuk menikmati mendidik yang sesungguhnya. Sedangkan aku hanya bisa fokus ke satu hal tidak lebih.

Mungkin rekan-rekan seangkatanku yang tidak siap pensiun karena bekerja untuk mengejar posisi jabatan dan meningkatkan karier. Oh, apalah kepuasan mengejar jabatan. Lebih baik biasa saja tetapi memiliki ilmu yang luar biasa. Sehingga menikmati perjalanan proses penuh cinta, bukan sebagai neraka.

 

Heri Setiyono, S.Pd

NPA anggota PGRI 10094000266

Tinggalkan Balasan