Menulis itu memang pilihan. Mau atau tidak? Hidup selalu tentang pilihan. Atau … agar lebih aktif, mari kita gunakan kata “memilih”.
Memilih merupakan kata kerja. Terjadi atau tidak, tergantung pada subjeknya. Dengan kata lain, kita-lah yang menentukan apakah sebuah tulisan akan lahir dari tangan kita atau tidak.
Berjumpa dengan beberapa teman baik di dunia nyata maupun maya, membuat saya sadar akan sesuatu. Bahwa menulis itu … pilihan.
Ada orang yang sama-sama berusia paruh baya. Yang satu bilang “Buat apa nulis, bentar lagi juga pensiun. Itu mah giliran yang muda-muda saja!”.
Tapi … ada juga yang justru di usianya yang tak lagi muda, semangat belajar menulis justru berkobar seolah tak kan pernah padam. Ingin meninggalkan jejak, berusaha menjadi orang yang bermanfaat, dan masih banyak tujuan lain yang mereka miliki untuk menulis.
Ada orang yang sama-sama muda. Yang satu bilang “Ah, saya nggak pandai menulis.”, lantas mundur alih-alih memilih menghasilkan karya berupa tulisan. Sementara ada pemuda yang semangatnya bergelora belajar ke sana kemari, ikut pelatihan dan lomba menulis A, B, C, D. Semua dilakoni dengan penuh kebahagiaan.
Ada orang yang sudah menulis, namun tetap merasa malu dengan tulisannya. Khawatir diejek, khawatir dikritik, khawatir dianggap jelek. Dan masih banyak kekhawatiran lainnya. Namun, ada juga yang cuek bebek dengan segala komentar lantas terus menulis bak pesawat jet yang melesat cepat.
Bagi seorang penulis, tentu akan bersemangat mengajak orang-orang di sekitarnya untuk turut menulis. Meskipun menulis itu sifatnya tidak wajib, mungkin seorang penulis akan merasa heran mengapa masih ada orang yang tidak mau menulis?
Tapi, mari coba posisikan dengan peran yang berbeda. Bagi seorang penyanyi misalnya. Mungkin mereka akan heran mengapa ada orang yang tak mampu menikmati musik? Atau bagi pecinta olahraga, mungkin mereka akan risih jika melihat ada orang yang sehari-hari hanya duduk bermalas-malasan.
Semua jawaban tergantung pada kacamata apa yang kita pakai. Kita tak akan pernah bisa memaksakan orang lain untuk bisa seperti kita. Ibarat pepatah, kita bisa saja menyeret (mohon tidak tersinggung karena memang ini yang saya ingat) kuda ke tepi danau. Tapi, apakah kuda tersebut mau minum atau tidak, semua tergantung pada si kuda itu sendiri.
Maka, mungkin hanya doa terbaik yang bisa kita langitkan agar orang-orang mau mengikuti jejak langkah yang telah kita pilih. Tapi ingat, sekali lagi … bahwa hidup itu pilihan. Akan memilih yang mana, kita tak kan bisa paksakan.
Kembali ke persoalan menulis. Bahkan setelah jadi penulis pun, akan selalu ada pilihan. Kita harus memilih apakah akan membuat karya baru atau tidak. Memilih apakah akan menyebarkan tulisan kita atau cukup menyimpannya dalam buku catatan. Memilih apakah akan mengikuti lomba menulis atau tidak. Memilih untuk mengikuti pelatihan lagi atau tidak. Ya, setiap orang harus memilih.
Berbicara pilihan, saya selalu ingat pada pernyataan salah satu sahabat saya. Ia berkata bahwa Tuhan selalu memberi kita dua pilihan. Baik atau buruk. Tapi, karena Sang Pencipta Maha Penyayang, sekalipun kita memilih jalan yang salah, Ia akan kembali memberi pilihan jalan yang baik atau tidak. Semata-mata agar kita bisa kembali pada-Nya. Di jalan yang diridhoi-Nya.
Teman saya yang lain berkata bahwa tiap orang itu berhak memilih, tapi, tidak berhak menentukan konsekuensinya. Ya, tiap pilihan pasti memiliki konsekuensi. Sayangnya, kita tak bisa menentukan konsekuensi atas pilihan kita.
Bagi seorang siswa misalnya. Ketika ia memilih untuk sering bolos, tentu konsekuensinya bisa jadi tidak naik kelas. Lantas, apakah orang yang telah memilih bolos hingga berbulan-bulan masih bisa menentukan konsekuensi naik kelas?
Bagaimana dengan menulis? Menulis pun memiliki konsekuensi. Anda mungkin pernah membaca kalimat “Isi di luar tanggung jawab penerbit.” Artinya apa? Jika ada gugatan terkait tulisan kita, maka kita (baca: penulis) lah yang harus bertanggung jawab.
Tak hanya buku, beberapa blog bersama pun menyematkan peraturan yang sama. Semua tulisan, adalah tanggung jawab si penulis.
Lantas, apakah Anda siap menanggung konsekuensi sebagai seorang penulis?
Mohon tetaplah membaca tulisan ini. Saya membuat ini bukan untuk menakut-nakuti. Karena sungguh setiap pilihan tentu memiliki resiko. Bahkan jika tulisan Anda sangat baik, Anda masih bisa mendapat resiko. Resiko penjualan buku yang laris. Resiko dipanggil jadi narasumber di berbagai acara. Serta resiko menjadi terkenal. Hehe.
Saya hanya ingin mengajak kita semua agar tidak ragu ketika harus memilih. Jangan sampai menyesal dengan apa yang telah kita pilih. Dan jangan murka bila ternyata pilihan kita tak sesuai harapan.
Maka, bersama dengan niat saat akan memilih, jangan lupa sebut nama-Nya. Mari memohon agar apa yang kita pilih, merupakan pilihan terbaik untuk kita.
Saat ini, detik ini ketika Anda membaca tulisan saya, bisa jadi muncul pilihan dalam benak Anda. Pertanyaannya adalah … apa yang akan Anda pilih?
Salam literasi,
Salam renungan!
Ditta Widya Utami, S.Pd.
NPA. 10162000676
Saya memilih membaca tulisan bu Ditta dan menulis apa yang terlintas di otak saya.
Luar biasa Bu Ditta karya tulisannya. Salam hebat. Salam Literasi
Terima kasih Pak Etik. Semoga kita bisa konsisten menebar manfaat. Aamiin
Selalu luar biasa artikelnya, dan mnginspirasi. Good job deh . Salam literasi.
Alhamdulillah, terima kasih Pak Nana. Mari, tetap menulis.
Mari kita sama2 nulis
Mari … Semangattt
Setuju jika literasi ada yang namanya literasi baca tulis…..selesai membaca ya mampu menulis…..salam literasi Bu Ditta
Sepakat. Salam literasi juga, Pak.