Tidak Lagi Sama

Cerpen, Fiksiana39 Dilihat

Oleh : Heri Setiyono, S.Pd

 

Di masa pandemi ini, anak-anak sekolah belajar di  rumah. Tidak terkecuali Navis. Sayangnya Navis tidak pernah percaya jika ibunya yang mengajarinya. Maka, selalu ramailah rumah itu dengan teriakan amarah sang ibu dan teriakan Navis yang selalu melawan.

“Ahh, bagaimana kau ini!” Kata Ibunya, “perkalian sederhana saja tidak becus. Bagaimana besok bisa kau bantu Ibumu ini berdagang?” Nada emosinya makin meninggi karena sudah kesekian kali diajari.

Anak kecil itu masih saja sesenggukan dengan terus berusaha mengerjakan. Tangan kirinya memegang kepala dan meremas rambutnya.

Belum bisa juga. Akhirnya sang Ibu menyerah, ditinggalkannya Navis ke teras, tempat dagangan pecel, gado-gado dijajakan. Diambilnya segenggam kacang tanah goreng, ditaruhnya dalam cobek dan mulai mengulek dengan perasaan marah. Pelampiasan seperti ini hampir dilakukannya setiap hari, semenjak sekolah tidak bisa dilaksanakan dengan pembelajaran tatap muka.

Sebenarnya orang tua Navis cukuplah sabar, setiap hari tugas yang diberikan guru melalui pesan whatsapp grup dibantunya untuk diselesaikan. Ditemaninya anaknya setiap belajar di sela-sela berjualan. Kondisi ekonomi yang kekurangan diperparah menjadi sulit karena suami hanya digaji separuhnya dari pekerjaan, membuat amarah cepat tersulut. Sedangkan anaknya yang selalu melawan dinasehatipun masih saja melawan, membuatnya makin tidak nyaman menjalani hari.

Hanya melampiaskan kepada pekerjaan rumah, bersih-bersih, dan sekedar berjualan menambah pendapatan bisa sedikit melegakannya. Navis membutuhkan waktu yang lebih lama untuk belajar, terlebih soal matematika. Kesabaran itulah yang sering tidak terkawal.

“Nanti, kalau bapakmu pulang, minta ajarilah sama bapakmu.” Kata perempuan itu sembari masih saja menggilas kacang-kacang itu dengan munthu. “Biar bapakmu juga tahu susahnya mengajarimu.” Katanya.

Entah mengapa ia begitu marah beberapa waktu lalu. Apakah karena pertengkaran denga suaminya semalam. Ia merasa begitu. Yang jelas sekarang ia menyesalinya. Namun bingung bagaimana mengungkapkan penyesalan itu kepada anaknya. Sedangkan Navis masih sesenggukan tidak juga meledak tangis di dirinya. Anak itu memang sosok tangguh, keras kepala dan susah dinasehati persis seperti Bapaknya.

Di sebuah taman wisata yang hampir sama sekali tidak ada pengunjung, Diman menyesap kopi ditangannya. Ia mengingat pertengkaran dengan isterinya semalam. Tentang penyesalan mengapa mengatakan kepada isterinya bahwa ia tak membantu sama sekali dan menambah beban dengan mengutang ke Bu Haji utuk modal usaha.

Ia menyesali jika telah mengatakan sesuatu yang menyinggungnya, sedangkan isterinya berusaha membantu mencari makan sehari-hari. Gajinya sebagai tukang sapu dan perawat taman tidak lagi sama. Tidak ada lagi pengunjung meski taman wisata itu telah buka membuat gaji tidak bisa dibayarkan lagi. Gaji dua bulan lalu pun baru dibayar separuh dan separuhnya lagi entah kapan bisa dilunasi.

Ia menyesap lagi kopinya. Semakin pahit. Semakin ia larut dalam penyesalan dan kebingungan.

Navis masih berusaha mengerjakan tugasnya. Ia pernah diberi pesan dari bapaknya, bahwa keadaan sekarang tidak akan lagi sama. Semuanya akan berbeda. Kehidupan mereka munkin tidak lagi menyenangkan lagi berat. Navis tidak mengerti, tapi dari nada bicara bapaknya ia merasakan energy untuk teguh dan tabah. Hanya dua rangkai kata yang bisa ia ingat dan pahami betul,  ia harus belajar dan belajar.

Ibunya tidak bisa mengajarinya dengan baik. Cara yang diajarkan tidak bisa dimengerti. Sedangkan ia diberi nasihat saja tanpa diberikan kesempatan waktu mencoba. Ia terkadang melawan ibunya dengan agresi kata-kata yang tidak semestinya. Navis menyesali perbuatannya, namun ketika mendekati Ibunya Ibunya malah makin galak.

Karenanya Navis menarik diri dan enggan lagi berkomunikasi dengan Ibunya. Ibunya pun kini lebih sibuk dari sebelumnya. Lelah, pasti. Selain pekerjaan rumah yang tidak ada habisnya ia harus berjualan dan terkadang berkeliling menjajakan dagangannya.

Rumah menjadi terasa berudara demikian sesak. Ketidaknyaman membuat suasana makin tidak menyenangkan. Navis ingin selalu bermain ke luar jadinya.

Padahal ia sangat ingin berada di rumah dengan Ibunya yang bisa lebih sabar mengajarinya dengan penuh perhatian dan bapaknya yang empati mendengarkan ceritanya. Namun hanya angan sepertinya semua tidak akan lagi sama.

 

Heri Setiyono, S.Pd,

NPA PGRI 10094000266

Tinggalkan Balasan