Ketika binar senja menjemput malam, seakan melantunkan sebuah cerita yang bermanis manja menggantung di cakrawala seperti sayap-sayap cahaya. Senja ini seperti miliku yang menabur hiasan cinta dalam temaram minda.
“Terimakasih ka, sudah antar aku pulang ke rumah” Ucapku.
“Ya” Jawabnya singat.
Tiba-tiba ayah mendatangi kami di teras rumah
“Delina, ayah sudah hawatir kamu belum pulang. Siapa ini nak?
“Ini temanku yah, namanya Kak Dion” Jawabku.
“Delina, ajak temannya masuk” sambung ayahku.
Kemudian ayah bergegas masuk ke dalam rumah.
“Di luar gerimis, sepertinya akan hujan. Jika kaka pulang sekarang nanti kehujanan di jalan” sambungku.
“Baik de, Jika tidak keberatan sekalian mau numpang solat magrib” timbalnya.
“Oh tentu ka silakan” pungkasku.
Setelah selesai solat magrib, aku menyajikan makan malam untuk ka Dion yang sudah mengantarku pulang. Kami memang baru dekat selama dua bulan ini, kedekatan itu dimulai karena kami sama-sama senang membaca novel. Di awali dengan bertukar novel, di situlah kedekatan kami mulai berkembang. Hingga tadi sore dia menjemputku dari sekolah, niatnya ingin mengembalikan novelku tetapi karena aku pulang terlalu sore setelah kegiatan Ekskul Pramuka akhirnya ka Dion mengantarku pulang.
“Sudah selesai ka solatnya? Tanyaku.
“Sudah dek” balasnya.
“Aku sudah menyajikan makan malam untuk kaka” imbuhku.
“Waduh jadi merepotkan de”
“Enggak kak, malahan aku yang udah repotin kaka” pungkasku.
Dengan riang aku mengantarnya ke meja makan, dan dia pun makan bersama Bapak. Mereka saling bercerita dan bergurau. Jam di rumahku menunjuk angka 7 malam, menandakan waktu mulai larut. Selesai makan, kak Dion menghampiriku di ruang tamu. Di temani gemerisik air hujan kami bercerita banyak hal.
“De mana pulpenmu? Kaka pinjam dulu” pungkasnya.
“Ada ka, untuk apa? tanyaku.
“Kakak punya suatu permainan, yang kalah wajib ngasih novel” guraunya dengan tegas.
“Waah seru tuh ka, seperti apa permainannya?” tanyaku penuh semangat.
“Kita akan bermain menuliskan simpulan cerita dari setiap epidose pada novel” jawabnya.
“Baik, aku pasti menang. Aku kan pembaca yang baik hahaha” pungkasku dengan nada sombong.
Malam semakin berangkat larut, hujan belum pula berhenti dan kami hanyut dalam permainan yang berselimut canda dan tawa. Hingga pucuk keheningan datang, kami pun berhenti tertawa. Dia mulai mentap mataku lewat kristal matanya yang syahdu, seolah mengantarkan bahasa cinta. Aku pun mulai gugup dan tersipu. Ada getar yang menyisir kalam hatiku. Sebuah getaran yang baru pertama kali ku rasa, mungkin ini yang disebut dengan getar asmara. Akhirnya kami saling menatap dan dia memegang tanganku, dan aku semakin gugup.
“De, sudah larut kakak mau pulang” ucapnya.
Dia memegang tanganku, dan aku semakin gemetar. Ternyata hanya untuk berpamitan. Pikiranku terlampau jauh aku pikir dia akan mencium tanganku sembari berkata ‘aku cinta kamu’ ternyata semuanya di luar ekspektasi hahahahaha.
“Baiklah ka, aku antar sampai teras” sambungku.
“Selamat malam de, cepat tidur!” timpalnya.
Aku pandangi dengan lekat gerak langkahnya sampai ia mengemudikan sang Revo. Dengan melontarkan senyum manis dan klakson motornya menandakan pertemuan malam ini telah usai. Ini adalah pertemuan paling berkesan, sebuah temu yang mengundang getar cinta pada aku sang bocah yang duduk di bangku kelas 3 SMA. Hatiku semakin berbunga-bunga, malam terasa sekejap dan mata yang sulit terpejam, aku mulai diganggu oleh sebuah rasa yaitu sang rasa cinta.
Hari-hari ku lewati dengan seluruh hayalan tentang dia. Setiap sudut yang aku jumpai hanya bayangannya. Jika teringat senyumnya kalbuku tergelincir pada rasa paling bahagia. Ya ini adalah rasa cinta yang ku peruntukan untuk dia sang mahasiswa semester 6. Setiap detik wajahnya mengitari pikiranku. Dalam setiap kertas yang ku ukir hanyalah namanya dan namaku yang ku singkat jadi satu “Diondelina” dengan harapan kami bisa menyatu dan kuat seperti bunga “Dandelion”. Bunga yang kuat dan bisa tumbuh diantara rerumputan liar dan celah batu. Seperti itulah harapanku.
***
Seminggu berlalu dari kisah tentang malam itu, kini hari-hari meninggalkan rasa yang lebih manis. Aku semakin semangat menyambut fajar, mengukir cerita indah yang ingin ku bagi dengan sahabatku Ririn. Pagi ini sudut sekolah seperti memeberi siluet pelangi di hatiku, membawa rasa cinta ternyata menciptakan medan semangat dalam belajar.
“Del, kamu sudah kerjain PR Matematika?” tanya Ririn yang memecah lamunanku di bangku kelas.
“Sudah dong” Jawabku semangat.
“Hahahahaha entah apa yang merasukimu? Sejak kapan kamu mau mengerjakan PR Matematika?” celotehnya mengejeku.
Wajar ketika Ririn kaget, karena aku adalah seorang siswi yang sangat malas ketika belajar matematika, nilai di rapotku saja dari kelas 1 SMP sampai kelas 2 SMA selalu di angka 6, tak pernah naik dan tak pernah turun hehe.
“Hallo Del, ada surat dari Ka Dion untuk kamu” ucap Iyan yang menengahi obrolanku dengan Ririn.
Selain suka bertukar novel, aku dan kak Dion memang sering surat menyurat. Dalam aktivitas surat menyurat ini, kami di jembatani oleh Iyan sepupunya kak Dion yang kebetulan satu kelas denganku. Selalu ada rasa senang ketika aku menerima surat dari kak Dion. Dan kali ini rasa senang itu berlipat setelah aku menanam sebuah rasa untuknya.
“Cie.. cie.. dapat surat cinta” celoteh Ririn semakin mengejekku.
Dengan segera ku buka surat itu, dan aku tak sabar ingin membacanya. Ketika surat itu hendak dibaca, tiba-tiba bu Yasmin masuk kelas dan membuka pelajaran. Seketika aku panik dan menyimpannya di kolong bangku.
Hari itu di kelas terasa sibuk sekali, hingga aku lupa mengambil surat yang ku simpan di kolong meja. Sebuah surat yang mengundang rasa penasaran akan isi tulisannya, membuat aku memaki diri sendiri dan menggerutu kesal. Aku menjadi tidak tenang karena sekolah harus libur 3 hari untuk acara workshop dewan guru.
***
Pagi itu aku bersemangat mengejar fajar, kakiku keras berlari mencari angkot menuju sekolah. Rasa tak sabar semakin bergejolak, yang ada di pikiran adalah membuka ruang kelas dan menemukan surat itu.
Sesampainya di sekolah tanganku lantang membuka pintu kelas, konsentrasiku buyar ketika melihat posisi bangku tidak seperti biasanya. Ternyata kelasku dijadikan tempat workshop itu. Aku menjadi bingung mencari posisi bangku. Semua bangku di lapisi taplak meja serupa. Satu per satu ku cari semua kolongnya, dan hasilnya nihil tak ku temukan sepucuk surat itu. Rasa resah menarik air mataku, rasanya aku ingin menangiiiisss hiks hiks hiks.
“Hai Del, tumben pagi banget udah di kelas?” tanya Ririn memecah kegalauku.
“Surat dari Kak Dion hilang Rin. Kemaren aku simpan di kolong mejaku. Duh gimana dong, belum aku baca isinya” jawabku lirih.
“Ya ela, perkara surat doang ribut amat. Bilang aja sama kak Dion suruh bikin lagi suratnya” imbuhnya dengan nada ejekan.
Aku jadi semakin kesal dengan keadaan. Tak henti memaki diri sendiri. Aku bingung harus kasih balasan apa untuk kak Dion.
Di lain cerita kak Dion menunggu balasan dariku. Dia bertanya pada Iyan dan mencari informasi mengapa aku tak membalas suratnya. Dion menjadi bingung dengan keadaan hingga dia memutuskan untuk bertemu Ririn sahabatku.
Dengan langkah pasti Dion menyampaikan pada Iyan bahwa ia ingin bertemu Ririn di pasar sore nanti. Iyan pun menyampaikan pesannya pada Ririn. Dan mereka pun saling bertemu.
Sore itu, karena aku harus mencari bahan untuk tugas sekolah, yaitu membuat seni kriya dari bahan kain akhirnya aku putuskan untuk pergi ke pasar. Di pasar aku mencari toko kain yang bagus.
“Ada kain polos yang bisa di ukir gak pak?” tanyaku pada pedagang kain.
“Ada de, silahkan masuk ke dalam. Boleh di lihat dulu, kalau cocok di beli” jawabnya dengan ramah.
Sembari memilih kain, aku tengok ke sebrang toko. Betapa mengejutkan sekali aku melihat kak Dion bersama Ririn yang sedang memilih baju. Ririn mulai mencoba memakai baju itu. Mereka terlihat begitu dekat, saling bercanda dan tertawa. Seketika tanganku gemetar, perasaanku hancur, dan kakiku menjadi lemas. Air mata ini menetes tak tertahankan. Aku merasa di hianati sahabatku sendiri.
Setelah mendapatkan kain yang aku inginkan, akhirnya aku pergi dengan tangisan. Rasa kesal bercampur dengan kecewa menyelimuti akal sehatku, aku tak bisa berpikir jernih. Aku menjadi melankolis sepanjang jalan terus menangis. Hingga puncak tangisku pecah sesampainya di kamar. Aku mengunci diri dan terus menangis. Cucuran air mata itu membasahi bantalku. Lelah menangis hingga aku sedikit tertidur.
Waktu itu menjelang magrib, ayah mengetuk pintu hingga aku terbangun.
“Delina, di depan ada temanmu. Coba kamu lihat ke depan”
Dengan mata sembab aku berusaha mencari tahu siapa yang datang. Setelah sampai di teras ternyata ada Iyan yang berdiri di depan sepeda motornya.
“Ada apa Yan?” tanyaku amat penasaran.
“Kita harus ke Rumah Sakit. Kak Dion dan Ririn tabrakan dengan mobil truk” jawabnya.
Aku jadi semakin lemas, kakiku bergetar kencang rasanya tak sanggup melangkah. Dengan rasa sedih aku menumpangi motor Iyan dan pergi ke rumah sakit. Sesampainya disana aku temukan Ririn di IGD. Aku langsung mencari informasi mengenai keberadaan kak Dion. Ternyata kak Dion berada di ruang ICU.
Aku tanyakan pada Ririn yang mulai siuman. Aku bertanya mengapa bisa terjadi kecilakaan. Tapi Ririn mengalihkan pertanyaanku.
“Del, tadi kami pergi ke Pasar, dia mengajaku membelikan baju untukmu. Kak Dion mengutarakan perasaannya padamu lewat surat itu. Karena tak ada balasan, dia ingin mengutarakan perasaannya di hari ulang tahunmu besok. Dia bingung harus memberi kejutan apa, akhirnya mengajaku ke pasar.”
Mendengar cerita Ririn tangisku pecah, aku merasa jadi wanita paling bodoh di dunia ini. Dan aku pun berlari menuju ruang ICU yang pintunya tertutup rapat. Usai solat magrib aku berdo’a untuk dia yang aku cintai, andai bisa ku bagi ingin rasanya nafas ini aku bagi dengan dia. Selesai berdoa aku kembali ke ruang ICU. Tetapi yang ku dapati amat berbeda, keluarga kak Dion penuh isak tangis.
Segera aku bertanya pada Iyan.
“Kenap Yan, ada apa?” tanyaku lemas.
“Kak Dion meninggal” jawab Iyan terisak.
Dan aku pun terduduk. Tangisku pecah, badanku lemas, dadaku sesak dan sesalku tak berujung. Andai aku bisa memutar waktu, rasanya ingin ku ulangi semua waktu bersamamu. Rasa yang baru tumbuh, harus tenggelam membawa episode rindu yang tak berujung.
Dan aku pun meminta Iyan untuk memberikan tas kak Dion kepadaku. Di dalam tas itu aku temukan sebuah novel “Seindah Cara Tuhan” di dalam novel itu terdapat selembar kertas dengan sebuah puisi indah.
Untuk kamu,
Terimakasih sudah mengisi relung rindu
Lewat angin yang membelai dingin
Aku titipkan rindu yang lupa berteduh.
Untuk kamu,
Rasaku yang terjerambab dalam bilik rindu
Andai kamu tau, rembulan saja gelisah menatapmu
Apalagi aku, menatapmu memberi keteduhan.
Jarak hanya memisahkan raga
Semoga Tuhan menjagamu
Dan aku akan menjaga resahmu
Dalam lencana rinduku.
Aku semakin histeris, ingin rasanya aku bangkitkan ragamu, tapi aku tak berdaya. Takdir ini membawaku pada temu yang memeluk rindu seabad. Aku begitu emosional, isak tangis mendekapku sampai relung jiwa paling dalam. Aku harus kuat. Akan ku jaga rasa ini untuk ku lantunkan dalam do’a. Terimakasih sudah mencintaiku sampai keabadian.
-Sekian-