Panggil Aku Imma, Panggil Juita Juga Boleh

A. Kegiatan di Pagi Hari
Bermukim disebuah desa, dengan suhu dibawah 20 C, tidak sertamerta membuatku bermalas-malasan dipagi hari. Tidak ada kata mager (malas gerak), sebab setiap pagi, aku dan saudara-saudaraku sudah memiliki tugas tetap. Tugasku adalah mengisi drum besar hingga sepertiga, baru kemudian mandi, sarapan, dan berangkat ke sekolah. Dengan menjunjung ember berisi air, segera kutumpahkan kedalam drum sembari memperkirakan, kira-kira berapa ember lagi mencapai sepertiga (drum tersebut memiliki 3 lekukan, artinya aku harus mengisi air hingga lekukan pertama). Begitu ember kosong, aku berlari sekencang-kencangnya menuju pancuran dibelakang rumah, kata ayah jaraknya 300 meter, kurang lebih 600 langkah dengan kaki kurusku. Barangkali, inilah penyebab maka tubuhku kurus (pada masa itu).
Untuk menyelesaikan tugas dipagi hari, kami fokus pada tugas masing-masing, tidak ada yang merasa dianak tirikan. Semua berjalan sesuai petunjuk dari orang tua.

Setelah sarapan pagi yang sangat-sangat alakadarnya, kami berangkat bersama-sama ke sekolah, satu-satunya SD di kampungku. Sarapan alakadarnya terdiri dari nasi nginap (nasi yang masih bersisa usai makan malam dan sangat langka), atau ubi rebus ditabur garam. Seingatku, kami tidak pernah mengeluh walau sarapannya seperti itu, beda dengan anak jaman now, tinggal sebut nasi uduk, nasi peyek, lontong, pulut, dan seterusnya. Alhamdulillah kami tumbuh sehat jasmani dan rohani dibesarkan si ubi rebus.

Saking seringnya sarapan ubi rebus, emak pernah bercanda: “Ayo kita sarapan roti sumbu” (ubi rebus yang dikerat pendek-pendek memunculkan urat-urat diujungnya, seperti sumbu kompor, maka disebut emak roti sumbu). Sungguh emak kami wanita pekerja keras, setiap hari “meladang”, tanpa lelah. Anehnya, walaupun berpanas terik, kulit emak putih bersih, tidak gosong. Aku yakin, andai dipoles sedikit saja, mampu menyamai peran perempuan cantik di sebuah sinetron kesukaan para emak se-Indonesia raya.

B. Kegiatan Setelah Pulang Sekolah
Berlomba-lomba kenangan masa kecil menggayut dipelupuk mata. Ketika naskah Karena Menulis Aku Ada (KMAA) volume 1 kuposting di medsos, sahabat masa SD-ku memberi komentar. Sengaja ku-tag nama Rumiati Marsella Sinaga, karena hanya dialah kawan sekelasku yang aktif bermedsos. Pencarian panjangku terhadap sahabat-sahabat lama berakhir, ketika kudapat informasi dari adek-adek mereka, bahwa para kakak tidak bermedsos. Terlalu tuakah aku aktif dimedsos? Biar kujawab sendiri, tidak ada kata terlalu tua, sejatinya terlalu lama aku kehilangan jejak para sahabatku, bahkan sahabat semasa SMP hanya beberapa orang yang muncul di dunia maya.

Bersekolah di SD Negeri yang sangat sederhana, ternyata sangat membekas dihatiku hingga kini. Ketika itu belum ada ketentuan tentang seragam sekolah, sepatu, bahkan tas sekolah. Yang paling penting, hadir di sekolah membawa buku tulis dan pinsil, tidak lupa penghapus. Aku, yang dipanggil dengan nama “Imma”, (ayah dan guru-guru memanggilku dengan Juita), selalu ada ide supaya tetap survive. Buku tulis kukemas didalam plastik putih (boro-boro punya tas, ke sekolah saja kadang tanpa alas kaki).

Pinsil, merupakan barang yang sangat berharga bagiku, kuraut kedua belah ujungnya, supaya ada mata pinsil cadangan. Selanjutnya, pinsil tersebut “kusiksa dengan mengikatkan karet gelang dibagian tengah”, yang berfungsi sebagai penghapus. Sederhana bukan? Semua kulakukan demi menunjukkan ksungguhanku menuntut ilmu. Aku tidak mau kehilangan waktu untuk meraut pinsil ketika tumpul, sebab aku mau selalu yang pertama untuk menyelesaikan tugas dari guru.

Aku dan kawan-kawan memiliki tempat mojok, dibawah rimbunan pohon sebelah barat kelas kami.
Kadangkala, ketika merasa jenuh di kelas, kami berempat (Aku, Rumiati, Normi, dan Rosintan) permisi kepada bapak/ibu guru, dengan alasan mau buang air. Padahal sebenarnya kami berempat hanya duduk-duduk dibawah pohon tersebut, berlama-lama, hingga murid laki-laki memanggil kami untuk kembali ke kelas. Perhatian buat siswaku, jangan kalian tiru polah ibu gurumu ini nak, karena sesungguhnya itu adalah kreativitas paling keren bagi kami, pada masa itu.

Cuaca didaerah kaki Gunung Simarbalatuk, tepatnya di desa Pondok Bulu menyerupai cuaca Berastagi. Ketika masih kecil, seringkali kami menyemburkan napas melalui mulut hingga mirip seperti uap air panas yang dijerang diperapian. Sedemikian dinginnya cuaca hingga minyak goreng dalam jerigen kecil membeku. Sekali lagi, emakku ternyata perempuan desa yang cerdas. Dengan menghangatkan air didalam kuali, emak memasukkan jerigen tadi sampai akhirnya minyak goreng beku mencair.

Dinginnya cuaca membuatku menyukai kopi hitam sejak SD, hampir seluruh keluarga besarku menyukai kopi. Jika bertemu materi pelajaran tentang benda komplementer, maka aku selalu memberi contoh jika tidak ada kopi, maka teh juga boleh. Padahal jika merujuk pada buku teks pelajaran, yang pertama ditawarkan adalah teh, bukan kopi. Artinya, secara tidak langsung aku menunjukkan apa saja yang menjadi kesukaanku. Aku yakin, pembaca juga demikian adanya. Tentang kopi, seorang siswaku pernah berkata, bahwa kegemaranku minum kopi biasanya cenderung dominasi kaum lelaki. Tapi aku tidak setuju, sebab belum pernah aku temukan petunjuk di kemasan kopi, bahwa yang boleh minum kopi hanya mahluk berjenis kelamin laki-laki.

Masih tentang masa-masa dikampung halaman. Ayahku paling perduli dengan Kesehatan kami anak-anaknya. Bila cuaca mendung dan diperkirakan akan hujan, maka adek kami Nora atau Corry diberi tugas khusus mengantar sweater dan celana panjang ke sekolah. Semua demi menghindari gempuran cuaca dingin. Untuk tugas ini, adek-adekku tidak pernah membantah, sebab bagi kami adalah hal tabu untuk membantah orang tua. Namun demikian, orang tua kami demokratis, setiap makan malam seluruh kegiatan sehari penuh dievaluasi. Nah, pada saat itulah kami boleh bertanya atau mengajukan usul. Walau ayah seorang Polisi yang sangat kami hormati dan kagumi, ruang untuk menyuarakan aspirasi selalu tersedia.

Usai makan siang, kami segera bergegas melakukan pekerjaan yang sudah menjadi tanggungjawab masing-masing. Lahan dibelakang rumah yang sangat luas, ditanami dengan berbagai macam tanaman. Ada kopi Robusta, kopi Arab, Vanila, Cengkeh, Kayu manis dan sebagainya. Ayah tergolong orang yang senang berimprovisasi. Ketika harga kopi naik, maka kami menanam kopi, demikian halnya dengan tanaman lainnya. Topografi tanah dengan kemiringan 45 derajat, mengharuskan ayah mencari solusi supaya tidak longsor. Maka kemudian sepanjang tebing tegalan, ditanami pohon kaliandra, dengan bunganya yang bermekaran sepanjang tahun membuat kami betah di kebun.

Jelang senja, kami beranjak pulang. Baju kerja (baju dinas berkebun) digantung dibalik pintu, sebab besok masih dipakai. Selanjutnya aku kebagian tugas mencuci piring, kakakku Anne bagian masak memasak. Urusan mandi sekaligus dengan bersih-bersih piring, sehingga tidak ada waktu terbuang percuma, semuanya sudah tertata dengan baik. Sebelum hari semakin gelap, lampu petromak dihidupkan, dengan cara memompa dan menyuplai minyak tanah ke bagian perut lampu. Aku bahkan tak habis pikir sekarang disaat menulis kisah ini, kenapa lampu tersebut tidak pernah meledak saat dipompa?. Sebab kutahu, tidak ada alat penunjuk tekanan udara pada perangkat lampu tersebut.

Malam tiba. Kami semua harus belajar tanpa dikomando. Ayah membaca koran dengan memakai kacamata minus. Apakah ayah benar-benar membaca koran tersebut atau hanya sebagai motivasi, aku tak tahu, karena koran sudah ada sebelum jam 8. Kebiasaan ayah, akan melahap seluruh isi koran mulai dari halaman depan, barulah beranjak melakukan pekerjaan sehari-hari (setelah ayah pensiun). Kami belajar dengan memanfaatkan meja yang sangat panjang, bisa memuat 12 orang. Semuanya tekun belajar, bahkan jarang kami bertanya tentang pelajaran kepada abang atau kakak, karena mereka juga tidak mau diganggu. Setelah ayah beranjak dari hadapan kami, itu artinya kami harus mempersiapkan makan malam.

Makan malam ala Nainggolan Polisi, demikian aku menyebutnya. Setiap malam, kami mengecheck jadwal di papan tulis kecil diatas balai-balai tempat kami makan. Petugas untuk mempersiapkan makan malam segera bergegas. Mulai dari yang bertugas menaruh nasi ke wadah, menyediakan air minum, cuci tangan, tidak ketinggalan serbet. Jika petugas serbet terlupa, maka ayah tidak bertanya dimana serbetnya, tapi beliau mengusapkan tangan yang telah dibasuh ke kepala, sembari berucap: “Biar makin botak kepala bapak kalian ini”. Kami terdiam seribu basa, tidak berani menyalahkan siapapun, bahkan tidak berani untuk mengambil serbet dilemari. Begitulah ayah memberi didikan yang sangat kuat, barangkali bagi orang lain terkesan sangat kejam, mentang-mentang mantan Polisi, dan seterusnya. Namun buat kami biasa saja. Disiplin dan pembiasaan dimasa kecil menjadi modal dasar dimasa depan. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
KMAA-2 YPTD

Tinggalkan Balasan

2 komentar