“Ngapain, sih, buru-buru?”
“Dengerin aku, Sha. Please?!”
“Untuk apa, Wa? Untuk apa? Semua sudah jelas, kan?!”
“Tapi, Sha. Keputusanmu itu…”
“Percuma, Wa. Pasti kamu juga enggak akan ngizinin aku, kan?!”
“Tunggu, Sha. Tunggu. Biar aku ngomong dulu.”
“Aku harus pergi sekarang. Tunggu aku jika kamu mau.”
Tanpa menoleh, Asha meninggalkan Anubhawa begitu saja di depan gerbang rumahnya. Langkah kaki jenjangnya menatap dengan mantap menyusuri gang kecil komplek rumahnya. Ujung high heels merahnya menimbulkan suara di jalan kecil berlapis beton itu. Dia sama sekali tak memedulikan lelaki yang sedang termangu sendirian, tanpa berusaha mengejar.
Jejak kaki semakin menjauh dari gerbang rumahnya. Langkahnya yang pasti, membuat tas tangannya yang berwarna merah tampak bergerak maju mundur. Dia sama sekali tak peduli dengan angin yang sesekali menerbangkan ujung blazer merahnya yang sengaja tidak dikancingkan.
Di sepanjang gang kecil itu, sesekali dia berjingkat menghindari genangan air di bagian berlubang. Sesekali pula, dia berusaha menghindarkan kontak langsung dengan beberapa orang berpakain kumuh yang duduk berteduh di bawah pohon. Dia hanya tidak mau menghabiskan waktu untuk hal-hal tidak penting seperti itu.
“Shit!”
Dia berteriak sambil berusaha menghindar saat seekor kucing kampung berjalan pincang hampir menabraknya.
“Kurang ajar!” teriaknya mengambil kerikil yang ada di dekatnya.
Di ujung gang, Asha berdiri di bawah pohon asam tua. Dengan sekali tarikan, ritsleting tas tangannya terbuka. Jari-jari lentik tangannya dengan kuku terawat dibiarkannya menjamah smartphone-nya. Sederet angka ditekannya. Terdengar nada sambung di seberang.
“Damn!”
Dia berusaha mengulang panggilan kembali. Sia-sia.
“Come on, George!”
Untuk ketiga kalinya dia kembali menelepon. Kali ini usahanya berhasil.
“George! Where are you? Lama banget!”
“Sa-saya masih di jalan. Tunggu sebentar, Mam,” jawab George.
Asha langsung menutup telepon dan memasukkannya kembali ke dalam tas. Dia memutuskan untuk menunggu. Di bawah pohon asam itu, dia berjalan mondar-mandir sambil mendekap tas tangannya. Sesekali dia tampak berhenti bergerak, lalu sedikit melotot menatap beberapa mobil yang lewat. Dia mendengus kecil saat usahanya sia-sia. Dia memang sengaja mempekerjakan tangan kanannya di kantor untuk merangkap menjadi sopirnya, George. Bukannya dia tidak bisa menyetir, tetapi sejak setahun yang lalu, dia selalu saja gagal untuk bisa menyetir mobil sendiri. Ingatan tentang kedua ibunya yang meninggal akibat kecelakaan, masih membekas dalam ingatannya.
Ibunya yang asli orang India adalah direktur di Lembaga Bantuan Hukum khusus perempuan yang sekarang dia pimpin. Seorang perempuan kuat yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk mengabdikan diri pada perempuan-perempuan yang bernasih sama dengannya, perempuan korban kekerasan suaminya. Fase itu adalah saat terberat bagi Asha kecil. Dia belum memahami tentang pertengkaran dalam rumah tangga, bahkan perceraian. Yang dia tahu hanyalah, ibunya yang hampir tiap malam menangis sepulang ayahnya dari bar. Selebihnya, Asha tak tahu lagi yang terjadi sampai akhirnya dia diajak pindah rumah oleh ibunya. Mereka meninggalkan ayahnya, yang kemudian kembali ke negaranya, Indonesia. Setelah Asha memahami hidup, dia pun akhirnya melibatkan diri sepenuhnya ke lembaga yang dipimpin ibunya, sampai saat ini. Banyak permasalahan yang ditemuinya. Beberapa di antaranya berhasil diselesaikan, tetapi beberapa di antaranya juga berhenti di tengah jalan.
Tak heran, sampai usia Asha yang hampir tiga puluh lima tahun, dia belum berpikir untuk menikah. Dia benar-benar harus meyakinkan diri lebih dulu sebelum mengambil keputusan penting dalam hidupnya. Beruntung Anubhawa, pemuda asli Indonesia, yang orang tuanya memutuskan pindah kewarganegaraan India, kekasihnya semenjak kuliah, selalu sabar menunggu keputusannya. Sebuah keputusan yang Asha sendiri tidak tahu kapan akan dia lontarkan kepada Anubhawa.
Di pinggir jalan itu, Asha menarik napas panjang. Sekadar melonggarkan sesak ingatan buruk tentang hal-hal terkait kehidupannya. Dia tidak memedulikan berbagai jenis kendaraan yang lalu lalang di depannya. Bahkan, dia juga tidak peduli dengan orang-orang kantoran yang melintas tepat di depannya menuju sisi-sisi bangunan yang berderet menjulang.
Sementara itu, Anubhawa, lelaki berusia tiga puluh lima tahun itu, masih tampak berdiri di depan gerbang rumah. Sesekali dia melongok ke halaman rumah berlantai dua itu. Tak ada siapa-siapa selain seorang penjaga bertubuh kekar. Dia berusaha menghindari sorot mata penjaga itu dengan menggeser tubuhnya ke bagian sisi kiri gerbang.
Dia tidak bergegas pergi. Masih ada harapan baginya, Asha akan memintanya untuk mengantarkannya ketemu seorang klien di kantornya. Sia-sia. Dia pun akhirnya memutuskan untuk keluar area komplek, menuju arah berlawanan dengan Asha. Hanya dalam hitungan beberapa langkah, jejak kaki bersepatu pantofel itu sampai di ujung gang.
Suara alarm kunci mobil terdengar saat dia melangkah semakin dekat mobil Ferrari. Sekali tekan, mobil melaju meninggalkan mulut gang. Dengan mengambil arah memutar, dia tiba di depan gang tempat Asha menunggu George.
“Naiklah, Sha!” kata Anubhawa membukakan pintu mobil.
“Aku lagi nungguin George. Kamu berangkat aja dulu.”
Asha menolehkan kepalanya ke arah datangnya mobil-mobil lain yang lewat di sepanjang jalan itu. Anubhawa pun menyerah. Perlahan dia memindahkan posisi mobilnya, meninggalkan Asha. Kurang lebih berjarak satu blok dari tempat Asha menunggu George.
Di tikungan blok, Anubhawa menghentikan mobilnya. Dia tidak segera turun. Ada keinginan untuk memastikan ke mana Asha akan pergi hari ini. Dia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Beberapa gedung tinggi berderet di sebelah kanannya. Hampir semuanya bertuliskan dengan bahasa Hindi. Sementara di kirinya, sebuah restoran khas India berdiri dengan megah. Sesekali dia melirik ke arah spion.
Dia belum menemukan tanda-tanda mobil Asha lewat.
“Apa yang kamu sembunyikan dariku, Sha? Aku kurang apa?”
Pertanyaan demi pertanyaan muncul dalam pikirannya. Dia mengangkat tubuhnya sedikit, saat terdengar suara klakson mobil di belakangnya. Secara refleks, dia menoleh ke arah spion. Seorang lelaki tua memakai penutup kain kepala yang digulung-digulung memberikan kode padanya dengan tangan untuk minggir. Dia tahu, kalau lelaki itu adalah pemilik restoran tempat dia parkir sekarang. Dia mengenalinya, karena setiap weekend, dia menghabiskan waktu di restoran itu, bersama Asha. Terakhir kalinya adalah sebulan yang lalu.
Anubhawa menjalankan kembali mobilnya. Hampir saat yang bersamaan, mobil Asha yang dikemudikan George lewat, melaju ke arah utara meninggalkan pusat kota. Anubhawa mengambil jarak agar tidak terlihat oleh Asha. Berhasil.
Setelah beberapa kali melewati lampu lalu lintas, Anubhawa tiba di perbatasan kota. Berjarak beberapa mobil di depannya, Anubhawa tahu Asha akan pergi ke mana. Danau Tulsi. Tempat favorit mereka saat liburan.
“Tapi sekarang, kan, tidak sedang liburan. Ngapain Asha ke sana?”
Anubhawa akan menemukan jawaban dari pertanyaannya sendiri dengan terus mengikuti mobil Asha.
Matahari memecah hari saat mobil Asha berhenti di salah satu sisi perbukitan Sanjay Gandhi National Park. Udara segar menguar saat dia membuka pintu mobil. Dipasangnya kacamata hitam sebelum turun.
“Kamu tunggu di sini aja, George. Enggak lama, kok.”
“Siap, Mam!”
Asha meninggalkan George sendirian di dalam mobil. Langkah kakinya mantap menjejak kawasan wisata itu. Dia menuju ke salah satu kedai yang menghadap ke arah danau. Di sana, seseorang telah menunggunya. Seorang perempuan berambut terurai memakai kaos singlet putih dipadu dengan hotpants biru tua. Dia duduk di salah satu sudut kedai dengan menyilangkan kedua kakinya yang dibalut flat shoes. Sebuah syal melingkar di lehernya, sehingga agak menutupi kaos singletnya yang berbelahan rendah. Dan, terlihat semakin rendah karena kacamata hitam terselip tepat di tengahnya.
Mengetahui Asha bertemu dengan seorang perempuan, Anubhawa memutuskan untuk meninggalkannya. Dia menyadari, kecemburuannya tidaklah beralasan. Hanya butuh waktu bagi Asha untuk berpikir ulang tentang hubungan mereka berdua.
“Mudahan Asha bisa dapet masukan positif dari temennya. Semoga.”
Anubhawa melajukan mobilnya menjauh dari kedai itu menuju Hotel Taj Mahal tempatnya bekerja di pusat kota. Dia sengaja membiarkan Asha berbagi cerita dengan temannya.
“Hai. Tum kaisi ho?1)” sapa Asha pada seorang perempuan yang sedang menikmati secangkir teh rempah masala chai2).
Tidak sulit bagi Asha untuk menemukan klien sekaligus sahabatnya itu. Sebab dia adalah satu-satunya pengunjung kedai itu. Bukan tanpa alasan, sebab saat ini bukanlah hari libur.
“Mein acchaa hun3). Thank you.”
“Sudah lama nunggu?”
“Belum, kok. Silakan duduk.”
Basa-basi berakhir dengan tawa lepas keduanya. Sambil menikmati minuman pesanannya, perempuan itu terus bercerita tentang masalahnya.
“Kamu masih inget sama yang kuceritain sebulan yang lalu?”
“Emm… Bagian mana, ya? Bagian mantan suamimu yang pengin balik itu, ya, Chan?”
“Bukan, Sha. Bukan itu.”
“Terus?”
Chandani tak segera menjawab pertanyaan Asha. Dia justru mengedarkan pandangan ke arah danau Tulsi. Keindahan sisi lain kota yang sudah populer ke berbagai belahan dunia. Posisinya yang strategis, membuat danau ini menjadi tujuan utama di kawasan utara. Dan, Chandani memilih tempat ini untuk bisa sekadar mengobrol hangat dengan Asha.
“Kamu, kok, malah diem, Chan?”
Chandani masih terpaku pada riak-riak kecil yang berkejaran di atas permukaan danau. Angin sejuk di wilayah itu membuat permukaan danau tampak lebih cantik. Asha tahu, kliennya yang satu ini sedang ada masalah dengan kehidupan percintaannya. Sudah hampir enam bulan dia berhubungan dengan Chandani sebagai klien sekaligus menjadikannya sebagai sahabat. Dia tahu, hidup Chandani tidaklah mudah. Perceraian yang ditangani oleh Lembaga Bantuan Hukumnya sampai sekarang belum menemukan titik penyelesaian. Suaminya bersikukuh bertahan, sementara Chandani memilih untuk pergi. Baginya sia-sia saja bertahan, jika suaminya tidak pernah mau berusaha untuk memenuhi keinginannya. Menikah selama lima tahun bukanlah waktu yang singkat. Selama itu pula, Chandani tertekan karena disfungsi sistem reproduksi yang dimiliki suaminya.
Berkali-kali Chandani mengajak suaminya untuk berobat. Tetapi, suaminya selalu menolak dengan alasan, tanpa anak pun mereka bisa bahagia. Mereka berdua memang pernah memeriksakan diri dan hasilnya bisa ditebak. Dia subur, sementara suaminya tidak mempunyai kemampuan untuk membuahi. Sampai akhirnya, hal terburuk tak bisa dihindarkan. Suaminya memilih meninggalkan Chandani yang selalu menuntutnya untuk berusaha meningkatkan kesuburan dengan meninggalkan kebiasaan buruknya selama ini.
Suaminya menghilang begitu saja tanpa kabar berita. Keberadaannya pun tidak diketahui Chandani sama sekali. Terhitung sejak saat itu, Chandani dan suaminya telah berpisah hampir setahun lamanya. Hal itu membuat Chandani bingung dengan statusnya. Karenanya dia menyembunyikan status pernikahannya kepada siapapun yang baru dikenalnya, kecuali Asha sebagai penasihat hukum sekaligus sahabat barunya. Kepada Asha, Chandani membuka semua tabir kehidupannya. Bukan saja tentang kesedihan, tetapi juga kebahagiaan yang diperolehnya setelah berkenalan dengan lelaki lain.
“Sha… Serius kamu lupa sama yang aku ceritain sebulan yang lalu?”
“Entahlah, Chan. Banyak hal yang harus aku pikirkan juga soalnya.”
“Yaahhh!”
Asha menghirup asap hangat yang mengepul dari teh rempah masala chai di depannya. Aroma teh itu menenangkan pikirannya yang saat itu bercabang. Setidaknya ada dua hal yang membuat pikirannya bercabang, antara pindah ke luar negeri dan keinginan bertahan dengan Anubhawa. Pandangannya menerawang ke arah danau dengan air jernih itu. Tak heran jika pemerintah menjadikannya sebagai sumber air bersih.
“Sha… Kamu baik-baik aja?”
Suara Chandani membuatnya kembali memfokuskan diri pada topik pembicaraan.
“I-iya, Chan. I’m fine. Oya, tadi kita sampai mana, ya?”
“Sampai ceritaku sebulan yang lalu. Kamu inget?”
“Oh… Iya… Tentang cowok ganteng berkumis tipis yang kamu temui di Di Bella Coffee itu, kan?”
“Right!”
“Emang ada cerita apa tentang dia?”
“Aku udah niat untuk ngedapetinnya.”
“Kamu yakin?”
“Iya. Beberapa kali pertemuan enggak sengaja di kafe itu membuatku yakin. Dia lelaki yang baik dan matang.”
“Iya. Aku udah tahu, kok. Cowok yang kamu ceritakan itu hobinya minum kopi saring. Terus dia bekerja di sebuah hotel ternama di kota ini. Dia bukan asli ini. Iya, kan?”
“You’re so brilliant, Sha. Enggak nyangka ingatanmu kuat banget.”
Asha termenung. Bibirnya melengkung tipis saat mendengar pernyataan Chandani. Tentu saja dia mengenal betul siapa lelaki yang dimaksud Chandani. Sebab lelaki itu telah menemaninya sejak masih kuliah sampai sekarang. Lelaki itu, Anubhawa. Dan, Asha tahu tentang agresivitas Chandani untuk mendapatkan seseorang. Termasuk mantan suaminya yang dulu. Ini adalah salah satu alasan Asha menolak tawaran Anubhawa untuk mengantarnya menemui Chandani hari ini. Dengan begitu dia tidak akan terjebak dalam dilema antara kekasih dan sahabat.
“Oh well… Masih ada lagi yang mau didiskusikan, Chan?”
“Kamu mau ke mana? Tumben banget cepet gitu?”
“Ada aja!” jawab Asha sekenanya.
“Oke. Next time aja, deh, kita ketemu lagi. Siapa tahu ada perkembangan dengan cowok manis itu. Hehehe…”
Asha tak menanggapi perkataan Chandani dengan pura-pura sibuk mencari smartphone di dalam tasnya. Tak lama kemudian, mereka pun berpisah.
“Kamu parkir di mana, Chan?”
“Tuh! Di sudut parkiran. Deket sama tiang listrik.”
“Oh. Okay.”
Di parkiran yang sepi itu mereka berpisah. Chandani menuju mobil sport-nya, sementara Asha melangkah keluar area kedai. Di sana, George telah menunggunya.
“Kita langsung ke kantor, Mam?”
“Enggak, George.”
“Terus?”
“Kita langsung pulang.”
“Siap, Mam.”
Dengan cekatan George mengarahkan citycar itu ke arah pusat kota. Asha turun di tempat pertama dia menunggu dan dijemput George. Sementara George langsung ke kantor sesuai dengan instruksi Asha selaku pimpinannya. Banyak hal yang didelegasikan padanya untuk diselesaikan hari ini terkait dengan kasus yang masuk. Selain itu, George juga berperan sebagai tangan kanan yang akan meng-handle semua pekerjaan Asha selama dia tidak masuk ke kantor. Terlebih menjelang kepergian Asha untuk memenuhi panggilan pindah ke kantor cabang yang baru dibuka di New Zealand, seminggu lagi. George bertanggung jawab penuh terhadap urusan berkas yang akan dibawa dan ditinggalkan oleh Asha.
Asha melambaikan tangan pada George yang beranjak pergi menembus jalanan kota. Beruntung saat siang hari jalanan mulai sepi, jadi George bisa segera tiba di kantor. Langkah kaki Asha menjejak gang menuju rumahnya. Baru beberapa meter, dia berhenti. Kedai teh baru yang dilewatinya membuatnya berubah pikiran. Dia tahu, dalam kondisi hati seperti sekarang ini, teh rempah masala chai adalah satu-satunya pilihan.
Di sebuah sudut yang sepi, Asha mendudukkan diri. Kaki jenjangnya menyilang. Angin sejuk tak bisa menghilangkan rasa gerah pada tubuhnya. Dia pun memilih melepas blazernya dan menggantungkan di sisi kursi kayu tempatnya duduk begitu saja.
“Mau pesan apa, Didi4)?”
“Masala chai. Shukriya5).”
“Ada lagi?”
“Cukup. Oya, sama samosa6) juga, ya. Shukriya.”
Tidak butuh waktu lama pelayan itu mengantarkan pesanan. Secangkir masala chai dan samosa hangat tersaji di mejanya. Asha segera menikmati sajiannya. Pada gigitan pertama pada bagian ujung samosa berbentuk segitiga itu, dia tiba-tiba membatalkan niatnya. Dia tertegun pada sebuah pemandangan di depannya. Sepasang orang renta sedang menikmati minumannya. Kakek dengan sabar menyuapi nenek yang duduk di kursi roda dengan sesendok masala chai yang telah lebih dulu ditiupnya.
Asha hanya bisa menelan ludah saat sendok di tangan kakek itu perlahan memasuki rongga mulut nenek. Desir perlahan merambat ke dalam dadanya. Terlebih setelah keduanya saling berbagi senyum sesudahnya. Leher Asha kembali bergerak turun naik, ketika tangan kanan kakek menggenggam erat tangan kiri nenek yang bertumpu di atas pegangan kursi roda.
Perlahan, samosa pun kembali ke piringnya. Asha memutuskan untuk bergegas dari kedai itu setelah membayar bill-nya.
“Sialan!”
Sepanjang jalan menuju rumahnya, Asha tak henti-hentinya menggerutu. Semua berawal dari kejadian singkat di kedai yang mampir di penglihatannya. Setelah melewati jalan berlubang, Asha sampai di gerbang rumahnya. Terdengar bel berbunyi dan pintu gerbang dari kayu yang lebih tinggi dari tubuh manusia biasa itu terbuka.
Asha terus melangkah tanpa menghiraukan penjaga yang mengucapkan salam padanya. Sesampai di depan pintu rumahnya, kekosongan menyergap. Di ruang tamu yang luas itu tak ada siapa-siapa. Sampai-sampai suara cicak pun bisa terdengar menggema dengan jelas. Asha melangkah. Suara ujung high heels beradu dengan keramik warna coklat mengilat. Suara beraturan memenuhi ruangan.
Asha membatalkan niatnya untuk langsung ke lantai dua. Dia memilih ke halaman belakang. Di sana dia bertemu dengan salah seorang tukang taman yang sedang memangkas rumput dengan gunting. Dia beranjak pergi sesuai instruksi Asha.
Di sebuah kursi kayu menghadap halaman belakang yang hijau dan luas. Angin musim kering bulan Januari yang sejuk, mampu memutar kembali ingatannya. Kejadian di kedai yang baru saja ditemui, menempati porsi paling besar. Semakin dia berusaha melupakan, ingatan tentang kakek dan nenek itu semakin menguat. Asha tampak tak mampu lagi menolak lukisan nyata itu.
Empat hari kemudian …
Tepatnya tanggal 8 Januari 2013, Asha dibantu George dan beberapa orang di kantornya sedang menyiapkan pesta di rumahnya. Dengan bantuan event organizer ternama, dia benar-benar menemukan konsep pesta yang luar biasa. Tarian dan nyanyian akan menjadi menu sajian utama.
Di tempat lain, Anubhawa tampak berbeda dari biasanya. Empat hari belakangan ini, dia hanya memandangi foto Asha di depan meja. Bahkan, teguran dari ayahnya sama sekali tidak dipedulikannya. Dia hanya ingin menikmati kesedihannya sendiri. Beruntung tidak ada komplain dari tamu hotel, sehingga dia tidak perlu menangani hal-hal rumit dan sejenisnya.
Sambil bersandar pada kursi kerjanya, jari-jari Anubhawa memainkan selembar undangan berwarna merah muda. Sesekali dia menimbang-nimbangnya, tak jarang dia menggunakannya sebagai kipas. Malam ini. Setelah dua hari dia tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Asha, kerinduan tiba-tiba menggelayutinya. Sembab. Malam ini tidak akan pernah jadi malam istimewa baginya. Sangat berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Enggak ada salahnya aku dateng. Mungkin ini terakhir kalinya aku bisa ketemu kamu, Sha.”
Anubhawa meletakkan undangan itu begitu saja di atas meja kerjanya. Dia memilih pergi ke Inorbit Mall untuk membeli hadiah. Keputusan sudah diambil. Dia telah menyiapkan diri dengan segala kemungkinan terburuk yang akan dihadapinya.
Waktu bergulir cepat. Tanpa terasa malam pun tiba. Tamu undangan mulai berdatangan di rumah Asha dengan dresscode pakaian adat India. Beberapa orang perempuan tampak cantik dengan sari7), sedangkan tamu laki-laki tampak gagah dalam balutan dhoti8). Mereka duduk berkelompok di kursi yang telah diatur sedemikian rupa, sehingga bagian tengah tampak kosong. Setelah semua tamu masuk tak terkecuali Anubhawa dan Chandani. Chandani tak menyangka kalau Anubhawa ternyata diundang juga. Keduanya tampak berbincang hangat di salah satu sudut halaman bersama George dan yang lainnya. Dari balik tubuh tamu-tamu yang ditemuinya, Asha mencuri pandang ke arah meraka. Jantungnya berdegup lebih kencang saat melihat Chandani bergelayut manja di lengan Anubhawa. Momen itu berlanjut hingga acara puncak saat mereka bersama-sama menari di tengah halaman. Belum selesai lagu pertama diputar, mendadak musik dihentikan.
Tamu undangan kembali ke tempat duduk masing-masing. Bertepatan dengan itu, Asha muncul dengan menggunakan sari berwarna merah bermotif daun-daun emas di pinggirnya. Dia langsung menuju bagian tengah halaman.
“Terima kasih untuk kehadirannya dalam pesta malam ini. Shukriya.”
Anubhawa hampir tak berkedip memandang ke arahnya. Sampai akhirnya keduanya beradu pandang. Anubhawa menatap Asha dengan wajah merona. Tanpa disadarinya lengkung bibirnya membentuk senyuman. Sementara Asha justru kebalikannya. Dia menyimpan rapat airmata yang hendak tumpah. Sembab di matanya tak bisa disembunyikan saat senyum Anubhawa menjelma kehangatan di hatinya. Anubhawa berusaha melepaskan diri dari Chandani. Dia melangkah maju hendak menemui Asha. Selendang merah pelengkap dhoti-nya yang berwarna merah terjatuh saat Chandani berusaha mencegahnya.
Di tengah halaman, keduanya bersitatap. Asha menepis tangan Anubhawa yang hendak memegangnya. Dia justru menghindar dan menjauh ke dekat pintu belakang. Dia membuka pintu itu. Sejenak kemudian tamu undangan seperti tercekat. Waktu seakan berhenti berputar saat sebuah meja didorong keluar oleh dua orang chef. Sebuah kue ukuran besar berdiri dengan megah di atasnya. Di puncaknya bertengger lilin berbentuk angka 3 dan 5. Asha mengikuti keduanya dari belakang. Tepat di depan Anubhawa, dia berteriak lantang, “Wadhdiwasachya Shubhechha9), Anubhawa! Hum tumhe pyar karte hae10).”
Anubhawa bergeming di tempatnya berdiri. Dia sama sekali tidak menduga akan mendapat kejutan seperti ini. Bahkan sampai tidak sadar kalau Asha telah menghambur dalam pelukannya.
“Shukriya, Sha. Aku juga cinta kamu. Apa ini berarti kamu tidak jadi pergi?”
“Iya, Wa. Tempatku di sini,” jawab Asha menunjuk dada kiri Anubhawa.
“Lalu, apa maksud undangan farewel party darimu?”
“Iya, Wa. Ini adalah pesta perpisahan. Perpisahan dengan kesendirianku untuk bersamamu. Kamu mau, kan?”
Anubhawa mengangguk bersamaan dengan tepuk tangan bergemuruh dari tamu undangan yang datang. Pelukan Asha semakin erat ketika melihat Chandani mendekat. Anubhawa dan Asha kemudian menunduk. Selendang merah berpindah dari tangan Chandani ke leher Anubhawa dan Asha. Setelahnya, dia pamit pergi. Saat tamu lain menikmati hidangan samosa dan kue ulang tahun yang ditemani secangkir masala chai, Asha mengajak Anubhawa ke teras belakang. Di sana, Asha menuangkan masala chai ke dalam dua buah cangkir kembar. Salah satunya diberikan langsung kepada Anubhawa, untuk pertama kalinya. Pertama kalinya juga bagi Anubhawa meminu teh rempah masala chai.
“Ini bukti cintaku padamu, Anubhawa Anggaraksa.”
“Hum apke dil mein rehte hain11 ), Asha Padukone.”
Catatan:
- Tum kaisi ho: Bagaimana kabar kamu.
- Masala chai: Teh yang direbus bersama-sama dengan rempah-rempah.
- Mein acchaa hun: Saya baik-baik saja.
- Didi: Kakak (perempuan).
- Shukriya: Terima kasih.
- Samosa: pastri goreng berbentuk segitiga yang berisi kentang rebus berbumbu rempah-rempah dicampur kacang kapri, bawang bombay, dan daun ketumbar.
- Sari: Pakaian tradisional wanita India.
- Dhoti: Pakaian tradisonal laki-laki India.
- Wadhdiwasachya shubhechha: Selamat ulang tahun.
- Hum tumhe pyar karte hae: Aku cinta padamu.
- Hum apke dil mein rehte hain: Tetaplah hatimu di sisiku.