Lonceng tanda masuk kelas setelah istirahat berbunyi. Satu persatu siswa mulai memasuki kelas. Mereka berdatangan dari berbagai tempat. Ada yang dari kantin, dari taman, dari musala dan lain sebagainya. Sewaktu Rasyid masuk kelas, sudah ada Ardi sedang duduk di bangkunya sambil membaca buku. Begitu pun dengan hari-hari sebelumnya. Ardi selalu menjadi orang pertama yang berada di kelas setelah lonceng tanda habisnya waktu istirahat berbunyi. Rasyid merasa ada yang aneh dengan Ardi. Selain itu, Ardi juga sering minta izin ke luar saat pelajaran dimulai. Bu Guru yang sedang fokus menerangkan tidak begitu menanyakan kenapa Ardi sering permisi.
“Kamu gak merasa ada yang aneh dengan Ardi, Dit?” tanya Rasyid kepada Adit.
“Aneh bagaimana?” Adit balik bertanya.
“Iya, pas istirahat di kelas saja. Giliran belajar malah sering izin ke luar,”
“Iya ya? aku tidak terlalu memerhatikan. Kenapa tidak kamu tanya saja?”
“Aku pernah nanya Dit, tapi Ardinya senyum saja. Misterius bukan?”
“Halah pakai istilah misterius segala. Perasaan kamu saja kali,” kata Adit sambil meneruskan tugasnya yang belum selesai.
Karena penasaran, Rasyid terus memerhatikan Ardi setiap harinya. Benar saja. Saat istirahat Ardi tidak ikut ke kantin atau ke taman seperti teman yang lain. Rasyid pun mengikuti Ardi ketika ia izin kepada guru ke luar. Ternyata ia ke kamar mandi. Lalu masuk lagi ke kelas.
“Dit, aku perhatikan Ardi lo setiap hari. Ada yang aneh dengannya!”
“Apanya yang aneh sih Syid?”
“Iya, kenapa dia tidak ke luar saat jam istirahat dan sering ke kamar mandi saat guru menerangkan pelajaran,”
“Jadi anehnya dimana?”
“Ya aneh saja,”
“Terserah Ardi lah Syid dia mau apa. Mungkin Ardi tidak suka ramai-ramai waktu jam istirahat. Kalau dia sering ke kamar mandi ya biasa saja kan. Memang kebelet mau gimana lagi,”
“Hmm ya juga ya.” Rasyid pun tidak lagi bertanya pada Adit. Namun masih ada yang mengganjal dalam hatinya.
Pulang sekolah Rasyid berniat mengikuti Ardi dari belakang. Dia penasaran dengan temannya yang satu itu. Walau awalnya menolak, setelah dipaksa Adit mau menemani. Diam-diam mereka membuntuti Ardi dari belakang. Mereka hati-hati agar tidak ketahuan oleh Ardi.
Ardi pulang ke rumahnya berjalan kaki. Rasyid dan Adit yang mengikutinya dari belakang sudah kelelahan.
“Duh…jauh sekali ya rumah Ardi ini. Dimana sih dia tinggal,” keluh Adit.
“Sabar Dit, mungkin sebentar lagi,” ujar Rasyid.
Di ujung jalan, Ardi memasuki lorong sempit di sepanjang selokan kecil. Rasyid dan Adit di belakangnya melihat rumah-rumah kayu kecil berjejer tak beraturan di gang sempit tersebut.
“Kita ada makanan hari ini Kak. Ayo cepat makan sama-sama. Kami sudah menunggumu dari tadi,” teriak dua orang bocah kecil yang berlari ke arah Ardi.
“Benarkah. Alhamdulillah. Ayo makan bersama,” Ardi segera berlari masuk ke salah satu rumah kayu tersebut.
Rasyid dan Adit mematung di tempat mereka berdiri demi melihat pemandangan dan kejadian yang baru mereka saksikan. Mereka kini tahu kalau Ardi tidak ke kantin karena tidak ada uang untuk jajan. Ia sering ke kamar mandi untuk minum air demi melepas lapar sekaligus dahaga. Di sana ada kran air murni yang berasal dari mata air jernih.
“Aku tidak menyangka dan merasa bersalah Dit,” ujar Adit saat perjalanan pulang ke rumah masing-masing.
“Aku juga Dit. Kasihan ya Ardi. Kita benar-benar tidak peka dengan teman sendiri,”
“Iya Dit, bagaimana ya cara kita membantunya,”
“Bagaimana kalau kita siapkan satu kotak bekal untuk Ardi. Kita ajak teman-teman untuk menyisihkan bekal dan makanannya dan memasukkannya ke kotak tersebut. Lalu kita berikan padanya. Bagaimana menurutmu?”
“Bagaimana kalau Ardi menolak karena malu? Kamu tahu sendiri kan bagaimana Ardi. Dia pemalu, pendiam, pemurung dan tidak terbuka.”
“Kita masukkan saja ke dalam tasnya diam-diam. Kita pun santai saja seolah tidak terjadi apa-apa.”
“Bagus juga idemu. Besok kita beri tahu Bu Guru dan teman-teman lainnya.”
“Oke!”
Besoknya Rasyid dan Adit menemui Bu Guru dan menceritakan semuanya. Bu Guru yang mendengar cerita mereka langsung mengomandoi anak-anak lain untuk berbagi bekal seperti ide dari Rasyid dan Adit. Bu Guru pun ikut serta memberikan bekalnya untuk Ardi. Begitupun dengan teman-teman sekelas Rasyid. Bu Guru memuji siswa-siswanya yang mau berbagi untuk sesama terutama Rasyid dan Adit.
Kini Ardi tidak lagi kelaparan di kelas. Ada-ada saja makanan dalam sebuah kotak yang dia temukan di tasnya. Ada kue, buah, mie, nasi dan banyak lainnya. Dia juga membawanya pulang untuk adik dan ayah ibunya di rumah. Ardi juga tidak lagi murung di kelas. Dia sudah ceria dan tidak sering lagi minta izin ke luar saat guru menjelaskan pelajaran. Rasyid pun kini lega karena misteri tentang Ardi terpecahkan sudah. Ia pun senang bisa membantu temannya.