Pulang Kampung ke Kota Budaya

“Bunda, aku dapat juara satu!” aku berlari masuk menghampiri bunda yang sedang membereskan rumah.

“Benarkah? Hebat anak Bunda, ayo ganti pakaian lalu makan sama-sama ya,” perintah bunda.

“Siap Bun. Oh ya, Chayra mana?”

“Chayra sama ayah ke luar sebentar. Tadi bunda minta membeli camilan untuk kita bawa besok,”

“Kita bawa besok liburan Bun? Memang kita liburan kemana?” tanyaku penasaran.

“Besok kita pulang kampung ke kota,”

“Pulang kampung ke kota? Maksudnya Bun?”

“Pulang kampung ke tempat bunda lahir dan dibesarkan, yaitu Batusangkar yang dijuluki Kota Budaya,”

“Ooo begitu. Kenapa disebut Kota Budaya Bun?”

“Karena banyak sekali peninggalan budaya dan prasasti terutama peninggalan Istano Basa Pagaruyung, pusat kerajaan Minangkabau,”

“Wah keren Bun,”

“Tentu donk. Bunda gitu lo. Ayo segera ganti baju dan makan. Kita harus beres-beres dari sekarang agar tidak ada yang ketinggalan.”

“Oke Bun,”

Saat makan, Chayra dan ayah pulang  membawa satu kantong besar camilan. Mereka sudah makan sebelumnya jadi tidak ikut makan bersama kami lagi. Selesai makan, aku dan Chayra masuk kamar untuk mengemasi pakaian serta mainan yang mau kami bawa. Kami pun sibuk memilah milih pakaian dan memasukkannya ke dalam koper.

“Wah, banyak banget baju yang kamu bawa Dek,” ucapku demi melihat lemari pakaian Chayra yang nyaris kosong.

“Iya Kak, aku bingung mau bawa yang mana. Ya sudah, aku bawa lebih dari pada kurang,” jawab Chayra sambil cengengesan.

Bunda datang memantau persiapanku dan Chayra. Walau belum terlalu rapi, Bunda bilang dia bangga dengan kemandirian kami. Bunda pun ikut membantu menata koper agar pakaian kami jadi tidak awut-awutan. Ayah membawa koper-koper tersebut beserta semua barang yang perlu dibawa dan menatanya di mobil.

Besoknya, pagi-pagi sekali kami pun berangkat. Kami akan pulang ke kampung halaman bunda. Tepatnya ke rumah nenek. Dari Aceh Selatan, tempat tinggal kami saat ini, kampung bunda ditempuh kurang lebih 24 jam perjalanan darat. Ayah dan bunda bergantian menyetir. Kalau lelah mereka kadang bermalam dulu di hotel yang bertemu di perjalanan.

Rute perjalanan kami adalah Tapaktuan, Subulussalam, Aceh Singkil, Barus, Padang Sidempuan, Kota Nopan, Pasaman, Bukit Tinggi dan berakhir di Batusangkar. Jalur yang kami tempuh bergelombang, mendaki, menurun, menanjak dan banyak juga jalan yang rusak. Tapi tidak apa-apa. Pemandangan hijau perbukitan dan laut memanjakan mata kami. Kalau sudah malam dan pemandangan menjadi gelap, aku dan Chayra memilih tidur. Sementara ayah bunda fokus menyetir.

“Cantya, Chayra bangun, salat subuh dulu yuk!” Ayah membangunkan kami.

“Sudah sampai Yah?” tanyaku sambil mengucek-ngucek mata.

“Baru di Padang Sidempuan, kita salat subuh dulu di sini,” kata ayah sambil menunjuk ke arah masjid di depan mobil kami. Kami pun bangun dan keluar dari mobil. Dingin menusuk tulang. Bunda memberikan kami jaket tebal agar tidak masuk angin.

Selesai salat, kami sarapan pagi dengan bekal yang dibawa bunda di pelataran masjid. Setelah makan, aku dan Chayra bermain-main sementara ayah bunda istirahat. Lama kami di sana hingga matahari menyapa dengan sinarnya. Di Padang Sidempuan, ayah membeli beberapa kilo salak Sidempuan. Rasanya manis dengan banyak air dan ada sedikit sensasi asamnya. Kami semua menyukainya.

Perjalanan pun dilanjutkan. Padang Sidempuan ke rumah nenek masih sekira 10 jam lagi. Aku dan Chayra bernyanyi-nyanyi sepanjang perjalanan. Kadang ayah dan bunda juga ikut bernyanyi. Hingga tidak terasa kami sudah sampai di rumah nenek. Saat mobil kami memasuki gerbang, tampak nenek, tante dan om yang sudah siap menyambut kami di teras. Ayah bunda segera menyalami nenek, tante dan om dengan takzim. Mereka semua memelukku dan Chayra sambil tertawa lebar.

“Wah cucu Nenek sudah besar besar!” kata Nenek girang.

“Iya Bu, sudah lama kami tidak pulang. Maafkan kami,” kata Bunda sambil memeluk dan mencium pipi nenek.

“Iya tidak apa-apa, ayo masuk lalu mandi dan kita makan bersama,” kata nenek senang. “Siap Nek,” sahutku dan Chayra serentak.

Saat melewati meja makan untuk menuju kamar mandi, aku melihat makanan khas

Padang sudah terhidang di atas meja. Aku jadi ngiler, ingin segera menikmati rendang daging masakan nenek yang terkenal lezat itu.

Tinggalkan Balasan