Speechless (1)

Speechless

Speechless, hanya itu yang bisa aku katakan. Hanya dalam satu hari hidupku hancur, semua yang sudah di depan mata akhirnya sirna tak berbekas. Aku memandang semuanya dengan pandangan nanar, baju pengantin, hantaran, undangan, sovenier,  yang seharus menjadi pusat kebahagianku akhirnya menjadi barang – barang yang membuat aku terluka.

Flashback

“Bang, kenapa diam saja. Abang sakit.” Sejak dari datang Bang Rasyid lebih banyak berdiam diri, tidak seperti biasanya. Selalunya Bang Rasyid yang lebih banyak bicara, sedangkan aku lebih banyak menjadi pendengar setia untuk semua ocehanya.

Karakter kami sungguh jauh berbeda, Bang Rasyid yang supel dan ramah sementara Aku lebih banyak berdiam diri alias pendiam, susah untuk mengekpresikan diri. Sungguh aku terpikat kepada Bang Rasyid karena dia bisa membuat suasana lebih meriah dengan kehadiranya. Kata teman – teman kami adalah pasangan yang serasi saling melengkapi, aku hanya tersenyum mendengar pendapat mereka tentang kami.

Tapi entah kenapa malam itu Bang Rasyid lebih banyak diamnya, sehingga suasana kebersamaan kami jadi berbeda. Sepatah aku bertanya sepatah pula Bang Rasyid menjawabnya tidak seperti biasanya.

“Abang kenapa, ada yang tidak berkenan di hati Abang?” tanyaku lagi, tapi pertanyaanku bagaikan angin lalu.

Pelan aku memegang legan Bang Rasyid, jauh sungguh lamunan Bang Rasyid sampai sentuhanku pada lengannya pun tidak terasa. Aku mulai mengoyangkan tangannya pelan, agak lama baru Bang Rasyid terlepas dari lamunannya.

“Ada apa Hana?” ada kebingungan di wajah Bang Rasyid

“Abang kenapa, Hana bertanya kenapa Abang balik bertanya.” Ucapku kepada Bang Rasyid.

“Abang lelah, Abang pamit dulu, nanti kita ketemu lagi.” ucapnya pelan berdiri, meninggalkan aku yang bingung dengan tingkahnya, Bang Rasyid pulang tanpa pamit dengan kedua orang tuaku.

***

Kesibukan di rumah sudah bermula, semua persiapan sudah Sembilan puluh lima persen. Aku sudah mulai di pingit, rasa rindu membuatku mengechat Bang Rasyid.

“Assalamualaikum Bang.” Tulisku pada kolom chat.

Sudah lewat sepuluh menit tapi chatku tidak baca, bagaimana Bang Rasyid ingin membalasnya jika tidak di baca. Ada apa dengan Bang Rasyid tidak biasanya seperti ini, batinku. Aku membuka aplikasi untuk video call, menekan tombol panggil. Tapi sampai panggilan berakhir tidak juga di angkat, aku mencoba beberapa kali hasilnya nihil, deg jantungku berdetak ada apa gerangan.

Aku mengingat – ingat sepertinya tidak ada yang salah, hanya pertemuan terakhir Bang Rasyid hanya sedikit lebih pendiam, bukan hanya pendiam setelah itupun aku agak kesulitan untuk menghubungi Bang Rasyid.

“Hani.” Pekikku memanggil adik bungsuku yang duduk di kelas 9.

“Hus. Calon pengantin tak boleh jerit – jerit.” Bukannya Adikku yang datang tapi Mak Usu adik Ayahku yang datang ke kamarku.

“Kenapa Hana, Hani lagi ke kedai beli kopi gula untuk orang rewang.” Ucap Mak Usuku

“Anu Mak Usu.” Aku ragu untuk mengatakannya

“Anu apa?” Mak Usu mengulang perkataanku

“Mau minta Hani ke rumah Bang Rasyid.” Ucapku malu – malu

“Sabar Hana, tinggal lima hari lagi, harus sabar.” Peringatan Mak Usu.

“Ni makan dah siang, habis tu kita betagas setelah sholat Zhuhur.” Ucap Mak Usu, lalu meninggalkanku sendiri di kamar pengantinku.

***

Tinggal tiga hari lagi, selama dua hari ini aku belum mendengar kabar dari Bang Rasyid. Atau jangan – jangan Bang Rasyid benar – benar menahan hatinya seperti orang zaman dulu tidak bertemu selama seminggu, batinku menenangkan diriku.

Aku memandang langit menunggu bintang, menatap rembulan yang sendiri tanpa bintang. Sama seperti diriku yang tidak di temani Bang Rasyid. Netraku lelah, aku menutup jendela berjalan kea rah ranjang, jadi tersenyum sendiri mengingat pesan Mak Usu tadi sewaktu mengantar makan malan setelah habis magrib.

“Tidur jangan lewat jam Sembilan Hana, biar cantik nanti pada hari H.” Mak Usu selalu dengan petuahnya.

Aku membaringkan badanku di kasur tipis yang di gelar di kamarku, ranjagnku sudah di hias untuk hari hari jadi malam ini aku terpaksa tidur beralas kasur di bawah ranjangku. Aku memandang sekilas di ranjang yang sudah tertata rapi diatasnya ada hantaran balik untuk Bang Rasyid tentunya.

Senyumku tersungging manis, mengingat hanya tinggal dua hari lagi aku akan menjadi istri Bang Rasyid. Aku pejamkan mata, tak lama aku terbuai ke dalam alam mimpiku.

“Astafurullahulazim.” Aku tersentak dari tidurku sambil mengucap. Keringat membasahi badanku. Aku bergidik mengenang mimpiku, hatiku langsung tidak tenang, bayangan Bang Rasyid langsung terpaku dibenakku.

“Ya Allah, semoga ini hanya mimpi.” Batinku sambil membaca beberapa surah untuk membuatku tenang dan tidur kembali.(bersambung)

***

 

Tinggalkan Balasan