“Uaaa….” Terdengar pekik tangis dari ruang tengah. Adik menangis lagi. Kakak mengambil mainan di tangan Adik. Bunda datang dan meminta Kakak mengembalikan mainan Adik. Kakak tidak mau sementara Adik masih menangis. Bunda pun mengajak Adik main di luar. Mencari mainan baru untuk mengalihkan perhatian Adik. Kini Adik tenang kembali.

“Kak, kenapa sih rebutan mainan terus. Mengalah lah sama Adik. Dia masih bayi Sayang,” Ujar Bunda kepada Kakak untuk ke sekian kalinya.

“Itu kan mainan Kakak Bun, Adik yang memainkan mainan yang bukan miliknya,” balas Kakak tidak mau kalah.

“Iya tapi kan Kakak sudah besar. Sementara Adik masih kecil sekali. Adik baru bisa jalan. Bicara saja belum bisa. Adik tentu belum bisa berfikir tentang mana yang baik dan mana yang buruk,”

“Bunda selalu begitu. Kalau semua mainanku dimainkan Adik, Kakak main apa lagi?”

“Ya, main sama Adik. Bersama-sama gitu. Saling berbagi biar mainnya pun seru,” jawab Bunda.

“Main sama Adik tidak seru. Aku suruh ini dia malah lakukan hal lain,” seloroh Kakak.

“Iya, ajarin aja dulu Adik biar bisa mengerti apa yang Kakak katakan. Lama kelamaan Adik juga paham. Dengan begitu Adik akan cepat pandai bicara,” pinta Bunda.

Kakak hanya diam, lalu pergi ke kamar dan bermain sendiri. Adik kini dipangku Bunda. Namun Adik tidak betah dipangku lama-lama. Adik mencari Kakak dan mengambil mainan di tangan Kakak. Kakak yang tidak mau mainannya direbut, segera menarik lagi mainannya. Adik kembali menangis.

Bunda kewalahan dengan kedua putrinya yang  terpaut usia dua tahun. Adik yang rewel dan Kakak yang tidak mau mengalah membuatnya bingung harus berbuat apa.

“Yah bagaimana ya baiknya kita?” tanya Bunda pada Ayah yang juga memikirkan hal yang sama.

“Iya Bun, Ayah juga sering memikirkan hal tersebut. Mungkin ada yang salah dengan kita,” terang Ayah.

“Salah dengan kita? Maksud Ayah?”

“Sepertinya kita terlalu membela Adik, sehingga mengabaikan Kakak. Kita selalu memosisikan Kakak sebagai seorang dewasa yang harus selalu mengalah. Padahal mereka sama-sama masih balita. Fokus kita kepada Adik membuat Kakak merasa terabaikan. Tentu Kakak sangat merasakan perubahan kita karena dulu perhatian kita penuh padanya.”

“Iya juga ya Yah. Jadi kita harus bagaimana?”

“Kita tidak boleh membenarkan apapun yang dilakukan Adik pada Kakak. Kalau Adik yang merebut mainan Kakak berarti Adik yang harus kita beri pengertian, bukan malah menyuruh Kakak mengalah.”

“Iya juga ya Yah. Bunda akan mengubah cara berfikir Bunda.”

“Iya Bun, kita harus selalu intropeksi diri dan belajar dari anak-anak. Menjadi orang tua adalah proses belajar yang tidak akan pernah usai,” ucap Ayah.

Esoknya Ayah dan Bunda tidak lagi menyalahkan Kakak. Mereka mencoba untuk seimbang dan memerhatikan keduanya dengan adil. Perlahan-lahan perubahan itu mulai tampak. Walau Adik masih sering menangis namun ada masa di mana keduanya akur yaitu di saat Ayah Bunda tidak ada di sekitar mereka.

Kala itu Kakak dan Adik main balon bersama, namun balon Adik pecah. Adik bersedih. Kakak pun segera memberikan balonnya pada Adik dan mereka bermain bersama. Ayah dan Bunda yang mengintip dari dapur hanya tersenyum dan membiarkan mereka main berdua. Kakak juga kadang membantu Adik turun dari kuda-kudaan dengan hati-hati agar Adik tidak jatuh. Kakak juga memerhatikan Adik kalau Adik sedang berjalan ke arah yang kotor atau bahaya. Bunda pun kini sedikit lega. Kakak sebenarnya sangat menyayangi Adik walau takut tidak terperhatikan karena Adik.

Tinggalkan Balasan