Dear Embun,
Entah apa yang membuatku ingin berbicara padamu lewat surat ini.
Aku hanya ingin bercerita pada beningmu, tentang perjalanan waktu yang harus kulalui atau bahkan mereka lewati.
Ceritakanlah padaku dan mereka, tentang biji yang tumbuh, bunga yang mekar, buah yang ranum, juga kisah-kisah hikayah yang sembunyi pada selimut malam.
Kau pasti lebih suka bersahabat dengan mereka di tengah desa atau di bukit-bukit yang hijau.
Aku juga ingin tahu perasaanmu, saat kau terpercik di dedaunan, di bunga-bunga yang sedang mekar. Kau menggelantung di ujungnya. Begitu sejuk, begitu indah. Aku melihatmu di sebuah gambar.
Kau tahu, bunga di foto itu terlihat indah, karena ada setitik tubuhmu yang berkilauan.
Seperti pagi ini, kurasakan juga aroma rerumputan, harum tanah, menyergap hidungku saat kubuka jendela.
Itu karena tubuhmu menyelimuti tanah dan rerumputan. Aku sangat menyukai aromamu.
Memandangmu, sama halnya menyelipkan seuntai bahagia dalam dada.
Bila di antara debu dan cerobong asap pabrik?
Kau pasti tersisih, tak sempat turun di malam hari memberikan kesejukan sebelum mentari menari.
Dear Embun,
Ajari aku menjadi bening yang berarti, yang mampu membawa kedamaian hati, tak terusik dengan berisik dan hiruk pikuk dunia.
Juga ajari aku untuk berlapang hati, seperti halnya dirimu yang tetap menyapa sinar matahari pagi, walau ia akan membuat terbang membumbung tinggi, bersatu dengan udara, karena esok engkau akan memberi kesejukan lagi padaku
Dear Embun.
Mungkin kau ada sejak dunia ini tercipta. Dan mungkin kau hanya dilihat, atau disebut sambil lalu. Mungkin dalam kata-kata dalam pelajaran sekolah, dalam cerita, atau terselip di larik puisi penyair.
Karena kau adalah simbol cinta, kesedihan, kerinduan, dan kesejukan
Tapi kali ini kuajak kau bercerita dan tolong sampaikan salamku untuk dia saat kau menguasai malam serta ketika fajar. Bisikkan tembang-tembang kerinduan semesta lewat kesejukanmu.
Namun dengan menulis surat padamu, ke mana harus kualamatkan?
Tsm, 21092021
*puisi ke 23 KMAA
Sudah terbit di Kaskus