Ilustrasi: slametyuliono.gurusiana.id.
Menulis bukanlah pekerjaan yang sulit. Tapi sebaliknya juga bukanlah hal yang gampang. Ia butuh konsentrasi dalam melakukannya dan dengan usaha yang agak serius. Artinya ketika menulis dibutuhkan pikiran yang fokus kepada apa yang akan dibahas. Yaitu apa yang akan disampaikan kepada khalayak pembaca.
Perlu fokus dan serius dalam menulis mengeluargambarkan apa yang di pikiran dan rasa. Supaya informasi yang bakal disajikan itu terstruktur dalam logika bahasa yang benar. Juga agar ia memiliki makna yang bisa dipetik dan diserap oleh para pembaca. Dengan begitu, informasi itu bermanfaat dalam memperkaya batinnya.
Jadi menulis itu dapat menjadi suatu kegiatan yang menyenangkan jika tahu menyiasatinya. Yaitu bagaimana ia bisa diselesaikan secara gemilang dalam sekali tarikan napas. Seperti layaknya orang berbicara menyampaikan sesuatu kepada pendengarnya.
Kawan, menulis membutuhkan kerjasama yang apik antara nalar, rasa dan raga. Menulis bukanlah monopoli daya nalar semata. Tapi paduan keren sumber daya insani. Ketiganya mesti bersatu kompak mewujudkan ide jadi tulisan yang menarik. Bagaimana mereka bekerjasama?
Nalar memikirkan dan mencetuskan kata untuk ditulis. Rasa menimbang dan memberi saran juga tawaran dengan alasan kenapa pakai kata itu. Sedangkan raga siap mengeksekusinya dengan mengetik ketuk kata itu jika sudah pasti. Jadilah tulisan.
Kata pertama yang sudah ditulis raga, diolah kembali secara lebih mendalam dan teliti oleh nalar dan rasa. Kembali dua sumber daya jiwawi itu menjalankan perannya dalam siklus yang sama. Yaitu memikirkan dan mempertimbangkan apakah bisa dilanjutkan atau tidak.
Apabila kata itu dapat diterima akan dilanjutkan. Tetapi seandainya kurang atau malah tidak layak akan dibuang dan diganti. Mereka akan sepakat menggantinya dengan kata lain yang lebih indah dan tepat berdasarkan perundingan tanpa meja itu. Begitu dan seterusnya mereka berkolaborasi hingga tulisan tersebut selesai.
Sahabat, ketika ketiga sumber daya insani ini bergiat menghasilkan tulisan, ada saja hambatan. Ada saja hal yang mengganjal sehingga kadang mereka berhenti berkreasi. Para penulis menyebutnya: Writer’s block or writing block. Kekira artinya: Kemacetan berkreasi atau macet saat menulis.
Situasi ini merupakan hal lumrah dalam menulis menelorkan gagasan di atas kertas atau monitor. Ini bukan karena penulis tidak terampil sebab masih pemula. Bukan juga karena kata-kata yang terbatas sebab perbendaharaan kosong di gudangnya. Atau karena sang penulis sedang berada di tempat yang tidak pas sehingga terganggu. Atau oleh karena kebodohan.
Tidak sama sekali, teman. Ketiga sumber daya insani itu hanya butuh rehat sejenak. Mereka butuh mencerna kembali apa yang sudah dihasilkan. Sembari merencanakan apa selanjutnya yang akan dilakukan.
Demi memberi mereka ruang dan waktu rehat, inilah yang patut dilakukan seorang penulis. Tindakan ini tidak selalu sama bagi setiap orang/penulis. Fariasinya banyak sesuai kebiasaan seorang penulis berkreasi. Berdasarkan pengalaman, inilah biasa kuterapkan.
Baca dan/atau Sunting
Ketika menulis dan terhenti sebab macet, aku berhenti. Aku tidak melanjutkan tulisan itu. Aku membuka berkas lama dan membaca secara ala kadar. Atau menyunting memperbaikinya jika aku menemukan kejanggalan keganjilan di sana.
Baca sunting ini tidak hanya untuk tulisan sendiri tapi bisa juga tulisan orang lain. Terutama tulisan yang dipercayakan padaku untuk disunting. Tulisan beragam dalam sebuah antololgi atau ulasan tunggal dengan topik atau tema tertentu.
Selain baca sunting, aku juga membuka membaca berita di media sosial. Media dan aplikasi yang ada di telepon pintarku. Berita apa saja di media apa saja, termasuk WA. Dan sekiranya ada yang perlu direspons, aku lakukan.
Mendengar dan/atau Bermain Musik
Terkadang demi menghalau kemacetan menulis, aku mendengar dan/atau bermain musik. Aku mendengar musik dari radio tua yang ada. Sedangkan kalau bermain musik, biasanya aku memetik gitar. Alat musik berdawai enam yang tak asing bagi semua orang.
Aku akan memainkan nada-nada asal dari alat musik satu-satunya yang kupunya itu. Lebih banyak nada tidak jelas yang kumainkan daripada yang enak merdu didengar. Sebab tujuanku hanya untuk memulihkan nalar, rasa dan raga yang penat menulis.
Bersihkan yang Perlu
Sering juga ketika macet, aku membersihbereskan apa yang perlu. Misalnya: Rapikan barang-barang yang berantakan. Memungut atau menyapu kotoran yang ada di depan mata. Mencuci dan peralatan dapur yang kotor dan menatanya kembali ke tampatnya yang biasa.
Beranjak Sejenak
Di waktu macet menulis, biasanya aku beranjak sejenak dari singgasana menulis. Aku tinggalkan lalu berjalan keluar rumah sekedar melihat memantau situasi. Atau sekedar menghela napas di bawah pohon yang ada di halaman. Bisa juga menyiangi dan menyiram tanaman jika pas waktunya, pagi atau sore hari.
Terkadang juga aku mengambil dan/atau membuat minuman. Apakah itu minuman dingin atau panas. Tetapi lebih sering minuman panas daripada dingin demi mencegah dan/atau menghalau virus di lorong kerongkongan.
Itulah tiga kegiatan yang biasa kulakukan kala nalar dan rasa karam berkarya. Semua kegiatan itu hanya sebagai pemicu atau pemantik pengumpul ide saja. Maka bila sudah rileks dan dorongan untuk kembali menulis datang, aku menuju tempat menulis. Lalu melanjutselesaikan tulisan yang tertunda hingga rampung.
Ruang dan waktu jeda yang kumasuki saat macet menulis tidak hanya sekali. Bisa berkali-kali tergantung tingkat kesulitan tema yang sedang dibedah ditulis. Oleh karena itu, bukan soal berapa kali rehatnya, tapi rampungnya tulisan yang harus menjadi perhatian.
Maka teruslah menulis. Biarkan nalar, rasa dan raga menulis apa saja sesuai selera dan iramanya. Tapi sekiranya ia butuh jeda, rehatlah agar ada ruang baginya mendapatkan strategi baru. Strategi untuk menuntaskan karyanya yang masih tersendat.
Tabe, Pareng, Punten!
Tilong-Kupang, NTT
Sabtu, 25 September 2021 (13.23 wita)