SEBAGAI guru, berbicara hal-hal berhubungan dengan guru tentu saja menyenangkan. Termasuk bicara literasi di kalangan guru dan keluarganya. Ternyata jika dihitung jumlah guru di Indonesia ada sebanyak 4.107.465. Itu gabungan guru yang berada di bawah Kemdikbud (Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) dan Kemenag (Kementerian Agama), baik PNS maupun honorer.
Angka itu adalah data dari sebuah blog, beralamat di bangimam-berbagi.blogspot.com yang saya kutip beberapa waktu lalu. Sementara angka di media lainnya jumlah guru tercatat sebanyak 4.189.121 orang. Ini data per Desember 2019 menurut BPS (Badan Pusat Statistik) yang merupakan badan Pemerintah non Kementerian. Dua data itu tidak terlalu jauh selisihnya. Angka pastinya tentu saja tidak mudah karena perubahan itu bisa lebih cepat dari pada yang diperkirakan.
Membaca data yang mudah kita akses di mana saja, itu ternyata jumlah guru lebih banyak dari pada jumlah pegawai instansi lainnya. Dari 4,3 juta PNS (ASN) guru berjumlah hampir 3 juta orang. Persisnya ada sebanyak 2.920.672 orang guru (Data Semester Genap 2019/ 2020). Itu data 11 Mei 2020 untuk semua satuan pendidikan. Dan setiap daerah, per provinsi, misalnya tentu saja angkanya berbeda-beda juga sesuai kebutuhan daerah masing-masing.
Kalau melihat data di Kepri, misalnya ada 29 ribu. Jika dipersempit, di Kabupaten Karimun, misalnya ada 4 ribuan. Kita mengutip rincian guru di daerah lainnya di Tanah Air ini. Satu hal, adalah kebanggaan kita di satu sisi karena begitu banyaknya guru. Tapi bisa juga membuat sedih karena penghasilan guru belum tentu lebih besar dari pada pegawai non guru lainnya.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas jumlah PNS (ASN) atau jumlah guru secara angka-angka. Saya ingin mengajak kita melihat jumlah guru yang begitu besar dikaitkan dengan usaha meningkatkan melek literasi bangsa, khususnya di daerah kita masing-masing. Tanggung jawab membina dan meningkatkan kemampuan literasi, itu sesungguhnya adalah kewajiban semua orang. Dan secara khusus tentu saja para guru dan para penggawa literasi lainnya. Guru otomatis menjadi ujung tombak utama dalam hal ini. Dan harus menjadi perhatian.
Mengapa para guru mendapat porsi perhatian dan tanggung jawab lebih, adalah karena guru selain akan merasa bertanggung jawab di dalam keluarga sendiri, yang lebih utama dari tugas pokoknya adalah memberikan pencerahan kepada peserta didiknya. Ini tentu saja tanggung jawab tersendiri. Bahwa di dalam keluarga adalah awal segalanya, termasuk ranah literasi, kita pun mengaminkannya. Untuk itu jika hajat besar untuk membina dan meningkatkan literasi masyarakat secara umum dimulai dari keluarga, memang begitulah seharusnya.
Pandangan itu menempatkan guru dan keluarga pada posisi yang sama pentingnya dalam literasi. Istilah literasi keluarga dan literasi guru otomatis menjadi satu kesatuan yang perlu dikuatkan. Sekali lagi, karena guru, itu di satu sisi adalah sebuah bagian dari keluarga dan di sisi lain sebagai guru dia juga mempunyai massa, yaitu siswa dan teman-teman guru itu sendiri maka pembinaan dan pengembangan literasi perlu dari sosok yang bernama guru.
Kembali terkait jumlah. Dengan jumlah guru yang begitu banyak, jika semuanya adalah praktisi literasi bayangkan betapa besar pengaruhnya kepada literasi itu sendiri. Dari sisi guru, keluarga guru dan siswa-siswi guru tentu saja akan mempunyai keterpengaruhan secara langsung. Dari sisi siswa (peserta didik) sendiri sudah pasti akan terbawa arus secara langsung pula jika gurunya adalah praktisi literasi. Dan jangan lupa, masyarakat di sekitar guru juga akan saling mempengaruhi dalam ranah literasi itu sendiri.
Oleh karena itu, usaha meningkatkan dan mengembangkan literasi bangsa hendaklah dimulai dari literasi keluarga. Keluarga utama dalam literasi, itu adalah keluarga guru tanpa mengecilkan keluarga non guru, tentunya. Lalu menjadikan guru sebagai keluarga besar literasi dalam keluarga besar guru di Tanah Air itulah yang sejatinya dituju.
Andai saja keluarga guru bisa menjadi keluarga besar literasi dapat dipastikan akan terwujud perkembangan literasi yang sangat pesat dalam keluarga. Andai keluarga literasi itu adalah keluarga besar ASN, tanpa membedakan antara guru dan non guru, sungguh lebih dahsyat lagi jumlah literat bangsa kita. Saat itu, tidak mungkin tingkat literasi bangsa tetap saja di bawah bangsa-bangsa lainnya, khususnya Negara di sekitar kita. Dapat diduga bahwa tingkat literasi bangsa kita akan lebih tinggi, atau setidak-tidaknya sama dengan tingkat literasi Negara maju lainnya.
Untuk ini, sekali lagi kita pastikan bahwa memulai itu semua adalah dengan mengawalinya dari keluarga sendiri. Keluarga guru. Mulailah membina dan meningkatkan literasi dalam keluarga sendiri. Seorang ayah yang adalah pemimpin keluagra dapat menularkan literasi kepada isteri (ibu dalam keluarga) atau sebaliknya. Dengan begitu secara otomatis sudah ada dua pengemban dan pengembang literasi dalam satu keluarga.
Dari sini tinggal meneruskan kepada anak-anak dan mungkin kepada cucu-cucu. Kelak semua orang dalam satu rumah menjadi praktisi literasi. Maka harapan keluarga –guru—menjadi keluarga literasi nanti tidak hanya sekadar harapan atau mimpi saja. Syukur, jika juga menjadi penggerak literasi. Semoga tercapai suatu saat nanti.***