1. Guru-guruku di SD
Terimakasih untuk semua guruku. Kuawali dengan guru-guru yang telah mendidikku di SD Negeri 091456 Pondok Bulu, sebuah desa kecil di Kabupaten Simalungun. Tahun 1974 aku menapaki bangku SD dengan status anak bawang, karena belum cukup usia sesuai persyaratan. Sebagai anak bawang, aku menganggap bersekolah merupakan kegiatan yang sangat menyenangkan, sebab di sekolah kudapati buku-buku pelajaran dengan beragam isi. Aku tidak begitu paham ketika itu, apa tujuanku bersekolah, yang pasti, setiap pagi kusambut mentari dengan hati gembira.
Hingga kelas 2 SD, salah seorang guruku, kebetulan bermarga Nainggolan (semarga denganku), mengucapkan kata-kata yang teramat pahit, melebihi pahitnya kopi Sidikalang. “ Hanya kaulah anak Nainggolan Polisi yang bodoh, mencontek pekerjaan teman, gak bisa kau tiru kakakmu yang juara”, ucap beliau sembari menyebut nama kakakku, Anne. Aku terdiam, tak berani memandang wajah beliau, bahkan lama sekali aku menahan napas, hingga beliau beranjak dari depanku.
Benarkah aku bodoh? Aku tidak terima diberi stigma bodoh, sebab sebelum masuk SD aku sudah bisa membaca koran langganan ayah setiap paginya. Kucari tahu, apa yang menyebabkan aku malas belajar, akhirnya kutemukan jawabannya. Uang hasil penjualan emak buka warung kopi, yang disimpan dibawah pinggan putih di etalase, dengan mudahnya kutarik satu lembar uang kertas. Keesokan harinya, kuajak beberapa orang teman sekelasku jajan dengan uang tersebut, dengan syarat aku boleh mencontek hasil pekerjaan mereka.
Aku mau tobat. Kusadari, walaupun kedua orang tuaku tidak tahu menahu tentang perbuatanku, tapi aku yakin Tuhan Maha Tahu, Maha melihat. Maka, segera kuhentikan perbuatan burukku tersebut. Dan faktanya, kelas 3 SD aku langsung menjadi juara kelas. Ketika namaku disebut, dengan malu-malu aku tampil menerima hadiah. Segera kutitip buku hadiah tersebut kepada adekku, dengan alasan bahwa kakak mau ikut perayaan 17 Agustusan ke ibukota Kecamatan.
Perubahan cara belajarku yang luarbiasa mendapat perhatian dari guru lainnya. Pak Siallagan, guru yang berhati lembut, selalu menasehatiku, supaya kelak menjadi orang yang berguna. Pak Aritonang dengan suara khas menggelegar, sering menjewerku dengan kalimat-kalimat bernas. Pak Silalahi, sosok guru yang juga berhati lembut, juga menasehatiku supaya tetap belajar sungguh-sungguh. Satu-satunya guru perempuan adalah bu Hutapea, yang juga pernah mendidikku.
Sungguh, aku sangat mengagumi sosok para guruku di SD. Aku yakin, jasa mereka selalu dikenang oleh kami murid-muridnya, walau tidak bisa diungkapkan langsung. Kecintaanku terhadap dunia Pendidikan, merupakan salah satu upaya menghormati dan mengenang jasa mereka. Andai waktu sudah ada perangkat bernama android, aku akan lakukan swafoto bersama mereka, namun waktu tak bisa lagi diputar.
2. Guru-guruku di SMP
Biasanya, setelah tamat SD, teman-teman sekampungku memilih untuk masuk ke SMP Negeri 1 Tigadolok, yang berada di ibukota Kecamatan Dolok Panribuan. Namun aku lebih memilih SMP Negeri 2, karena terobsesi dengan cerita kakakku, Rumondang, sebagai alumnus. Kakakku berkisah, bahwa disekolah itu gurunya baik-baik, ramah, perhatian. Walaupun bangunan fisik sekolah tersebut kurang layak, namun ternyata empati para gurunya luarbiasa. Dan hal itu telah kubuktikan selama aku menuntut ilmu di sekolah tersebut.
Salah seorang guru yang masih sangat membekas dalam ingatan adalah pak JM.Manurung. Beliau sangat rapi dan bersih, sering menyapu bagian depan kelas walaupun sudah ada piket harian. Bahkan hingga kini, lagu berjudul “Kau Selalu di Hatiku” masih terngiang di telinga, karena beliau mengajarkan lagu tersebut dengan penghayatan penuh. Dari beliau aku belajar pentingnya perhatian buat siswa, kesabaran (walau kadang masih juga aku kurang sabar).
Kemudian, ada bu Manurung pengampu mata pelajaran Ketrampilan Jasa. Beliau pernah memarahiku karena aku protes dengan hasil ujian yang salah koreksi oleh teman sekelas. Walau demikian, aku tak pernah membenci beliau, aku tetap tekun mengikuti pelajaran ( agak berbeda dengan siswa zaman now, jika dimarahi guru, maka…silahkan dijawab sendiri ).
Guru matematika dan Bahasa Inggris merupakan guru terfavorit buatku. Tak satu kalipun aku lalai ketika ada tugas kedua mata pelajaran tersebut. Hingga, ketika teman-temanku mengeluh, menganggap guru sebagai killer atau momok yang menakutkan, aku tidak paham. Kelak, setelah aku menjadi seorang guru, barulah aku mengerti bahwa kecerdasan tiap anak itu berbeda dan dengan passion yang berbeda pula.
Jika bagi sebagian orang, SMA adalah masa terindah, maka buatku SMP adalah masa yang paling indah. Betapa tidak, di SMP aku bertemu teman-teman dengan berbagai latarbelakang dan dari daerah yang berbeda. Maka, jiwa petualangku muncul. Hampir tiap sabtu aku berkelana dari rumah teman yang satu ke teman yang lainnya. Di masa SMP aku diberi amanah sebagai ketua kelas, menggantikan posisi Meganti Simatupang yang pindah ke Jakarta.
3. Guruku di SMA
Dengan berbekal kepercayaan diri, setamat SMP aku mengikuti seleksi masuk di SMA Negeri 3 Pematang Siantar, SMA paling favorit ketika itu (tahun 1983). Qadarullah aku diterima di kelas X Ipa 4. Sebagai anak kampung yang kurang pede berinteraksi dengan anak-anak kota, kepercayaan diriku mulai menurun. Gelar juara kelas ketika SMP tenggelam seiring munculnya teman sekelas yang jauh lebih pintar dan lebih luwes bergaul. Hampir tidak ada prestasi yang kuraih selama SMA, kecuali ikut menjadi tim tari disaat perpisahan kakak kelas.
Kegemaranku dibidang eksak masih tetap sama. Pelajaran yang paling kusukai adalah Biologi dengan guru bernama WR. Sihaloho. Lelaki jangkung dengan kacamata hitamnya mengawasi kami ketika uijian dengan sangat ketat. Ketika soal nomor 1 dibacakan beliau, maka kami harus diam, diberi waktu beberapa menit untuk menuliskan jawaban di kertas. Demikian seterusnya, hingga tidak ada kesempatan untuk mencontek bahkan bertanya pada teman lainnya.
Guru lainnya yang masih membekas dalam ingatan adalah pak A. Aritonang ( dikenal dengan panggilan pak AAR), mengampu pelajaran Fisika. Beliau selalu memberi soal-soal menantang dengan reward bagi jawaban benar dan tercepat. Untuk pelajaran Fisika, salah seorang temanku bernama Arif pernah membuat beliau naik pitam. Ketika beliau sedang serius menyampaikan materi pelajaran, Arif, seperti biasa menyandarkan kepala didinding sembari memejamkan mata. Tak berapa lama, pak AAR mendatangi Arif, menyerahkan kapur dan menyuruh mengerjakan soal di papan tulis. Dan, arif berhasil menjawab soal tersebut. Spontan pak AAR merangkul bahu si keriting Arif. Kejadian tersebut menunjukkan bahwa, guruku yang masih kolot, tidak mengenal teori a-z, ternyata memiliki kesabaran dan sikap yang patut ditiru. Hormatku padamu pak AAR.
Sosok lainnya adalah ibu R. Sinaga, guru olahraga. Ketika praktek renang di kolam renang Pamatang, aku tenggelam di kedalaman 1 meter. Kesadaranku muncul setelah beliau berjongkok mengolesi hidungku dengan minyak kayu putih. Beliau memelukku, bersyukur bahwa aku sudah siuman, walaupun harus dilakukan penyedotan air mouth to mouth oleh pelatih renang. Sejak kejadian itu, beliau memberikan dispensasi bagiku ketika ketemu jadwal renang.
Guru Bahasa Jerman di SMA merupakan sosok panutan lainnya, sayang sekali aku lupa nama beliau. Yang kuingat beliau boru Hutabarat, barangkali karena menyebut nama bagi suku Batak adalah hal yang kurang etis, hingga kami jarang memangil nama guru. Dari beliau aku belajar bahwa seorang guru harus rapi, walaupun pakaian yang dikenakan tidak harus mahal. Hingga kini aku masih bisa mengucapkan beberapa patah kalimat berbahasa Jerman, sebagai efek dari didikan beliau yang merasuk kesanubari. Contoh kalimat tersebut “Ic Liebe Dich”, “Ich Habe Kein Geld”, “Vielen Dank”.
4. Dosenku di IKIP Negeri Medan (UNIMED)
Kepercayaan diri yang sempat hilang, kembali muncul dibangku kuliah. Entah karena efek dari stigma “Sekolah Namboru” yang disematkan pada kampusku, aku tak tahu pasti. Namun yang pasti, dibangku kuliah aku diamanahi menjadi wakil komisaris tingkat, jurusan Pendidikan Dunia Usaha stambuk 86.
Pak James Hutabarat merupakan dosen idola kami, bukan hanya idolaku. Beliau suka memberi istilah dalam bahasa Inggris ketika menyampaikan materi kuliah, dan aku sangat suka hal itu. Sosok lainnya adalah pak Poltak Panggabean, dosen Akuntansi. Beliau membimbing kami hingga paham mata kuliah Pengantar Akuntansi.
Diantara dosen-dosen di fakultas IPS, aku bertemu dengan ibu Gartima Sitanggang, asisten dosen. Ternyata beliau merupakan kakak senior kami yang baru saja wisuda dan mengabdi di IKIP Negeri Medan. Hingga kini, beliaulah satu-satunya dosenku yang masih tetap berkomunikasi denganku.
Salah satu mata kuliah yang kusukai adalah Stenografi Inggris dengan dosennya pak Napitupulu. Beliau juga mengampu mata kuliah Stenografi Indonesia. Melihat hasil ujianku, beliau tak habis pikir, kenapa nilai Stenografi Inggris lebih tinggi dibanding Stenografi Indonesia. Aku sendiri juga heran, untunglah pada masa itu belum ada kamus gaul “Kok Ada Ya”….
Jika diingat-ingat lagi, sedemikian banyak sosok guru/dosen yang telah berjasa mencurahkan ilmunya untukku. Maka tiada kata yang dapat terucap pada momen spesial, dihari guru ini, ijinkanlah saya mengucapkan terimakasih buat seluruh guru-guru dan dosenku. Hanya Allah yang dapat membalas ketulusan dan keikhlasan hatimu duhai guru/dosenku, sebab aku tak mampu membalas jasa-jasamu kecuali dengan untaian do’a.
Semoga ilmu yang telah kalian curahkan padaku menjadi suluh dalam gelap, menjadi tongkat dijalan licin. Dan semoga aku mampu meneladani sosok kalian para guru/dosenku, agar aku mampu memberikan yang terbaik, buat para bocah pemilik negeri ini. Vielen Dank guruku, terimakasih banyak. Salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
KMAA (38),