Kring…kring…kring
Deringan ponsel itu terdengar berulang-ulang membuat Bayu mendekati kamar kakaknya. Namun sosok yang dicari tidak ada di sana.
“Kak ponselnya berdering terus.
“Tolong angkat dek, kakak masih di kamar mandi,” sahutan terdengar dari ruang sebelah.
Setelah mendapatkan ijin, disambarnya benda kecil yang ada di atas meja.
“Assalamualikum.”
“Waalaikumsalam, kak Aisyahnya ada?”
“Maaf ini dengan siapa, kebetulan kakak masih ada di kamar mandi.
“Apa ini Bayu, masih ingat denganku?”
Kedua lelaki itu saling sahut-sahutan dan selang beberapa menit Terdengar keseruan dan gelak tawa diantara mereka, menimbulksn suara gaduh menyebabkan Aisyah buru-buru keluar dari kamar mandi.
“Siapa Yu?” Tanyanya sembari menggosok rambutnya yang masih basah.
“Parhan kak,” jawabnya sambil menyodorkan benda kecil itu ke sang kakak.
Pengusaha muda itu pun menyampaikan niatnya untuk bertemu dengan Aisyah di restoran dan akan membawa sang bunda yang sudah lama tidak mengetahui kabar gadis yang hampir menjadi menantunya.
Aisyah mengiyakan ajakan lelaki yang lima tahun lebih muda darinya itu agar bisa bersua dengan Bu Nely. Senyum terkembang di wajah Bayu saat di ajak sang kakak untuk bertemu sahabat lama.
Suasana restoran tidak begitu ramai saat kakak beradik itu sampai di parkiran restoran. Mereka berjalan beriringan memasuki restoran yang bernuansa antik. Pandangannya mengelilingi semua bagian retoran berharap melihat Parhan atau Bu Nely ada diantara pengunjung. Tampak lambaian tangan seorang lelaki di ujung ruangan seolah hendak memberikan siyal tentang keberadaannya di sana.
Kedua wanita itu langsung berpelukan melepas kerinduan setelah lama tak bersua. Tak ketinggalan kedua pemuda itu pun melakukan hal yang sama. Sejak pertemuan itu hubungan mereka semakin akrab dan pertemuan antara mereka bertambah inten.
****
Suasana alam yang romantis membuat lelaki cool itu menghentikan mobilnya di pinggir jalan yang dekat dengan taman bermain. Cahaya purnama membuat taman itu terang benderang dan dihiasi kerlap kerlip bintang. Gelak tawa riang terdengar dari anak-anak yang berkejaran kesana kemari. Mereka seolah enggan pulang dan lebih asyik menghabiskan malam bersama teman-teman dan pasangannya.
Dia memilih duduk di bawah lampu taman, pandangannya tertuju pada sepasang muda mudi yang sedang asyik bercengkrama. Kemesraan dua insan itu menyeret ingatan Parhan pada sosok gadis yang dipanggilnya kak Ais itu bermain-main di benaknya. Rasa kangen menyeruak di dada Parhan memaksanya untuk memencet nomer ponsel Aisyah. Namun tidak ada jawaban dari seberang sana.
Dengan gontai dia meninggalkan area dan mobil melaju meninggalkan taman. Senyum wanita tua yang menyambutnya di depan pintu sedikit tidak membuat hatinya lebih tenang. Digandenganya tangan sang putra seolah memberinya semangat dan ketentraman.
“Kamu mandi dulu, ibu siapkan makanan,” ucap Bu Nely. Sembari membiarkan sang putra naik ke lantai atas untuk membersihkan diri.
“Bagaimana nak, apakah kamu sudah siap menjalankan wasiat almarhum kakakmu?”
Untuk sesaat pemuda cool itu terdiam, Ketakutan akan penolakan membuatnya tidak tahu harus menjawab apa.
“Ibu tahu apa yang kamu khawatirkan, tapi kita tidak akan tahu hasilnya, jika kamu tidak mencoba.” Jawab Bu Nely mencoba menenangkan putra semata wayangnya. Parhan tetap saja diam sembari menikmati makanannya. Entah apa yang sedang bermain di dalam benaknya.
Malam semakin larut, kelelahan bekerja seharian tidak mampu membuat mata Parhan terpejam. Tak sedikitpun rasa kantuk menghampirinya. Sembari membaringkan tubuhnya di sofa dia mencoba memutar kembali video seminar yang sempat direkamnya membuat ingatannya terseret pada peristiwa beberapa tahun lalu saat dirinya masih kuliah.
Rasa rindu yang teramat dalam kepada Fadly membuat Parhan masuk ke kamar tidur kakaknya. Sejak Fadly meninggal kamar ini tidak pernah ditempati oleh siapa pun. Namun tetap terlihat bersih. Diusapnya semua barang yang ada di sana, matanya berkaca-kaca saat dia memandangi foto Fadly yang tersenyum di dinding kamar.
Diperiksanya satu persatu laci untuk mencari album foto. Tidak sengaja pandangannya tertuju pada dua buah amplop yang tergeletak di sana yang ditulis untuk mama tercinta dan untuk dirinya.
Berlahan Parhan membuka amplop yang ditujukan untuk dirinya. Betapa kagetnya ia saat membaca surat yang mengisahkan betapa besar cinta Fadli pada Aisyah sampai dia meminta Parhan menjaga gadis itu jika terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap dirinya.
Ma…ma…ma…suara teriakan Parhan membuat Bu Nely berlari ke kamar Fadly. Lelaki itu menyodorkan surat yang sempat ditulis almarhum kakaknya.
Derai air mata sang bunda mengalir deras saat membaca permintaan maaf yang teramat dalam atas semua perilaku kasar yang pernah dia lakukan dulu, hingga membuat sang bunda sering menangis dan kecewa atas sikapnya. Seolah sudah ada firasat dirinya akan meninggal hingga Fadli menulis surat seperti itu. Keduanya berpelukan setelah membaca wasiat almarhum yang sudah lama di tulis, namun mereka tidak sadari.
Kenangan akan wajah sang kakak membuat pemuda bertubuh atletis itu meneteskan air mata dan membiarkan dirinya hanyut dalam memori masa lalu hingga dirinya tertidur di buai mimpi. (bersambung)