Fenomena AIDS Persis Serupa dengan Corona

Edukasi118 Dilihat

Jika virus corona ditandai dengan informasi palsu (hoaks) di media sosial, di awal epidemi HIV/AIDS awal tahun 1980-an ditandai dengan mitos (anggapan yang salah).

Kalau saja di awal epidemi HIV/AIDS, dipublikasikan pertama kali oleh MMWR (Morbidity and Mortality Weekly Report) pada 5 Juni 1981, ada media sosial (medsos) mungkin hoaks seputar HIV/AIDS lebih riuh dari hoaks virus corona.

Laporan pertama tersebut yang bersumber dari CDC (Centers for Disease Control and Prevention  yaitu Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit di AS) tentang lima kasus Pneumocystis carinii pneumonia (PCP) pada laki-laki gay. Dua diantaranya ketika itu meninggal. Karena secara medis belum diketahui penyebabnya mereka menyebutnya dengan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrom atau sindrom penurunan kekebalan tubuh dapatan).

Tahun 1983 Luc Montagnier dkk di Perancis berhasil menemukan penyebab AIDS yang mereka sebut ALV (lymphadenopathy-associated virus). Pada tahun 1984 Robert Gallo dari Amerika Serikat juga menemukan virus penyebab AIDS yang mereka sebut HTLV-III. Pada tahun 1986 Badan Kesehatan Dunia (WHO) memutuskan nama virus penyebab AIDS adalah HIV (Human Immunodeficiency Virus) sekaligus merekomendasi reagen untuk mendeteksi antibodi HIV.

Dengan demikian HIV/AIDS adalah fakta medis yaitu bisa diuji di laboratorium dengan  teknologi kedokteran. Tapi, karena kasus pertama terdeteksi pada gay sebagai bentuk homoseksualitas HIV/AIDS pun dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Padahal, HIV/AIDS terdeteksi di semua ras, bangsa dan negara di seluruh dunia.

Selain itu ada juga isu konspirasi yang menyebut virus itu buatan bangsa dan negara tertentu. Berbagai publikasi pun menyebut virus itu berasal dari binatang (monyet Afrika). HIV/AIDS juga dikait-kaitkan dengan ras dan bangsa karena ada publikasi yang menyebutkan virus berasal dari Afrika.

Padahal, setelah WHO merekomendasi reagen untuk mendeteksi antibodi HIV di darah manusia beberapa negara menguji darah yang disimpan di rumah sakit. Di beberapa negara, terutama Eropa Barat, jika ada pasien meninggal di rumah sakit tidak bisa diketahui penyebabnya bagian-bagian badan dan darah disimpan di laboratorium. Tes HIV terhadap darah di  Swedia  menunjukkan ada contoh darah yang disimpan tahun 1959 ternyata reaktif terhadap reagent antibody HIV.

Gambar 1. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona dikait-kaitkan dengan hal di luar medis (Dok: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Selanjutnya berkembang mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS karena dikait-kaitkan dengan moral dan agama. Akibatnya epidemi HIV tidak bisa dibendung dan pada akhir tahun 2018 jumlah kasus HIV/AIDS secara global 37,9 juta dengan 770.000 kematian.

Di Indonesia sendiri prediksi kasus HIV/AIDS pada tahun 2016 mencapai 640.000 sedangkan yang sudah terdeteksi baru separuh.

Persis sama dengan HIV/AIDS virus corona pun dikait-kaitkan dengan binatang, agama, moral, negara, bangsa, ras dan penuh dengan hoaks (Lihat Gambar 1).

Disebut-sebut virus corona berasal dari makanan binatang mentah. Dikaitkan pula dengan kebiasaan buruk ras dan bangsa tertentu. Agamawan pun angkat bicara. Bahkan ada yang menyebut virus corona sebagai ‘tentara Allah’. Celakanya, virus corona tidak hanya menginfeksi ras dan bangsa yang dituduhkan banyak orang karena di kawasan Timur Tengah pun wabah virus corona merebak. Virus corona pun membuat kegiatan keagamaan terhenti. Tentu saja pernyataan agamawan itu bertolak belakang dengan realitas sosial.

Bahkan, di luar China (80.711 dengan 3.045 kematian) dan Korea Selatan (6.284 dengan 42 kematian) kasus corona meledak di Italia (38.58 dengan 148 kematian) dan Iran (3.513 dengan 107 kematian). Sedangkan jumlah kasus global per 6 Maret 2020 sebanyak 98.192 dengan 3.380 kematian.

Gambar 2. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona dalam berita dengan narasubmer di luar medis (Dok: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Mitos tentang HIV/AIDS al. terjadi karena sumber berita sebagian besar narasumber media, terutama yellow paper dan tabloid hiburan, adalah agamawan, aktor dan aktris, yang tidak berkompeten, dan kalangan non medis.

Hal yang sama juga terjadi terhadap virus corona. Bahkan, ada media di Indonesia yang meminta tanggapan kalangan artis terhadap virus corona. Ada pula yang mewawancarai agamawan dan sumber-sumber yang tidak berkompeten hanya karena mereka pejabat publik. Padahal, salah satu faktor layak berita ada sumber yang berkompeten (sesuai keahlian).

Gambar 3. Fenomena HIV/AIDS dan virus corona terkait dengan stigma, diskriminasi, dll. (Dok: Tagar/Syaiful W. Harahap)

Pemberitaan yang tidak objektif dan serbuan hoaks menimbulkan perilaku irasional, seperti kepanikan dengan membeli keperluan rumah tangga yang tidak logis. Begitu juga dengan pemakaian masker yang tidak rasional karena WHO menyebut yang kalau sehat jangan pakai masker kecuali ada di tempat yang berisiko terjadi penyebaran virus corona.

Baca juga: Virus Corona Terdeteksi Muncul Perilaku Irasional

Dampak buruk dari sumber berita yang tidak berkompeten adalah stigmatisasi (pemberian cap buruk). Dua WNI warga Depok, Jabar, yang jadi kasus pertama dan kedua yang terinfeksi virus corona dikaitkan dengan kegiatan mereka dengan WN Jepang penular corona yaitu berdansa. Ini ditarik ke ranah moral dan agama lalu dikaitkan dengan penularan virus corona sehingga muncullah stigma.

Begitu juga dengan HIV/AIDS yang selalu dikaitkan dengan homoseksualitas dan seks di luar nikah mendorong stigmatisasi dan diskriminasi (perlakuan berbeda). Stigmatisasi dan diskriminasi tidak hanya dilakukan oleh kalangan awam, tapi juga oleh kalangan medis yang paham tentang HIV/AIDS dari aspek medis.

Penolakan warga Natuna, Kepri, terhadap WNI yang dievakuasi dari pusat wabah corona yaitu Wuhan, China, menunjukkan penolakan yang terjadi karena hoaks. Pemberitaan media, terutama televisi, terhadap dua warga Depok yang terinfeksi virus corona pun mendorong penolakan dan pengucilan. Di beberapa daerah di Indonesia terjadi pengucilan terhadap pengidap HIV/AIDS, bahkan ada dibuang ke pulau terpencil dan ke gunung.

Celakanya, ada saja kalangan yang membela penyebar hoaks dengan mengatakan hal itu sebagai kebebasan berekspresi. Ini jelas konyol karena ekspresi yang mereka sebarkan hoaks. Sedangkan untuk media massa dan dan media online sekarang pemerintah tidak bisa melakukan kontrol sesuai dengan UU Pers yang liberal. [tagar.id, 8 Maret 2020]. *