Jangan Tipu Lagi Wisatawan dengan Harga yang Tidak Pasti!

Wisata36 Dilihat

Tampaknya, paradigma berpikir sebagian pelaku ekonom di sektor pariwisata nasional tetap saja ada yang memakai pola pikir ‘main pukul’ untuk mendapat untung besar. Besaran tarif dan harga ditentukan secara beragam tanpa kepastian sehingga merugikan wisatawan dalam dan luar negeri.

Pemerintah menargetkan 15 juta wisatawan mancanegara dan 265 juta pergerakan wisatawan nusantara yang akan menyumbang devisa 13 persen ke PDB nasional dengan devisa Rp 200 triliun (KOMPAS, 14/3-2017). Target ini tentulah tidak mudah dicapai karena banyak faktor terkait pariwisata yang tidak didukung oleh daerah dan hanya menunggu ‘belas kasih’ Pusat.

Maka, judul berita di Harian “KOMPAS” (14/3-2017) ini “Daya Tarik Destinasi Berperan Penting, Persepsi Pengaruhi Pariwisata” jadi penting karena ketidakpastian tarif dan harga bisa jadi bumerang bagi daerah tujuan wisata (DTW) karena pengunjung merasa jadi objek (penipuan). Bisa jadi ketidakpastian tarif dan harga bagaikan jerat bagi wisatawan.

Lihat saja keluhan pelancong di salah tempat wisata di wilayah Provinsi Banten yang ‘kena pukul’ sehingga harus bayar makanan laut (seafood) dan minuman Rp 1 juta. Ini terjadi karena tidak ada harga di daftar menu minuman dan makanan. Pengalaman penulis makan soto ayam bening di salah satu rest area jalan tol Merak-Jakarta juga sangat jelek. Daftar menu disodorkan. Tidak ada harga. Penulis berpikir hanya soto ayam tentulah harga tidak lebih dari Rp 15.000/porsi. Eh, ketika bayar diminta Rp 98.000 untuk dua porsi soto, satu gelas teh manis dan satu gelas teh tawar.

Kalau dulu warung Padang bisa jadi patokan karena harga yang standar, celakanya warung Padang pun sudah ada yang mulai tidak memakai tarif ‘ampera’ dengan harga belasan ribu rupiah. Sudah ada warung Padang yang mematok harga puluhan ribu rupiah untuk nasi dan lauk-pauk.

Sering pula terjadi di DTW harga-harga minuman dan makanan tidak masuk akal. Kelapa muda Rp 25 ribu atau minuman ringan yang harga banderolnya di bawah Rp 10.000 dijual seharga Rp 20.000-an. Maka, amatlah beralasan kalau kemudian DTW paling favorit di Indonesia adalah Bali karena harga di kaki lima, di pantai dan di restoran tidak berbeda jauh dan selalu ada tarif resmi.

Ada kesan pemerintah daerah, pedagang, dan pengelola tempat wisata menganggap orang-orang yang datang adalah orang-orang yang berduit. Asumsi salah besar karena banyak pengunjung yang datang dengan rombongan naik bus ramai-ramai. Uang di kantong pun tidak cukup beli oleh-oleh.

Ketika ada kegiatan kongres di Yogyakarta empat tahun yang lalu penulis jadi koordinator untuk menyeleksi wartawan dari seluruh Indonesia sebagai peserta. Malam pertama menginap di hotel berbintang di Jalan Malioboro sudah ada wartawan yang mengeluh karena harus membayar makanan ala kadarnya puluhan ribu rupiah.

Kok bisa? “Iyalah, Bang,” kata salah seorang wartawan, “Pertama nasi putih, kemudian sayur, dst. sehingga harganya dijumlahkan.” Padahal, itu makanan kaki lima di depan hotel. Penulis sudah mengingatkan mereka agar makan di tempat yang ada daftar harga di menu. Rupanya mereka tertarik makan lesehan dan hasilnya keluh-kesah.

Hal yang sama juga tentang ongkos atau tarif angkutan kota. Pengalaman penulis di Kota Mataram, Lombok, NTB, sopir tidak akan mengembalikan uang pecahan Rp 10.000 biarpun ongkos resmi hanya Rp 4.000 karena mereka lihat sebagai pendatang. Ini jelas merusak citra karena akan jadi informasi yang menyebar dari mulut ke mulut (waktu itu). Kalau sekarang hal seperti itu akan cepat menyebar melalui Internet dengan memakai media sosial, seperti Facebook, Twitter, dll..

Tapi, yang bisa kena ‘tipu’ hanya pelancong nusantara karena wisatawan mancanegara mempunyai ‘kitab suci’ (baca: buku panduan) berupa daftar tarif dan harga sehingga mereka tidak bisa dibodoh-bodohi. Kalau tidak sesuai dengan yang tertera di buku panduan mereka akan mencari tempat lain.

Seperti disebutkan “KOMPAS” bahwa kemajuan pariwisata sangat ditentukan oleh daya tarik, akses, dan fasilitas pendukung. Dari ketiga faktor itu, daya tarik destinasi memegang peranan penting. Untuk itu, pemerintah hendaknya memprioritaskan daya tarik untuk mendorong pariwisata yang berkelanjutan.

Kondisi itulah kemudian yang memperlambat kemajuan pariwisata nasional yang dalam bahasa “KOMPAS” (13/3-2017) disebut ‘Pariwisata Terancam Stagnan’. “KOMPAS” memakai tolok ukur konektivitas. Ini salah satu faktor secara fisik. Tapi, ada lagi faktor nonfisik, yaitu daya tarik DTW yakni kepastian tarif dan harga.

Nah, daftar tarif dan harga merupakan daya tarik. Tapi, ketika tidak ada daftar tarif dan harga DTW itu pun tidak lagi mempunyai daya tarik apalagi sudah ada yang kena ‘tipu’ (Kompasiana, 14 Maret 2017). *

 

Komentar:

Mohamad Rizal (15 Maret 2017) Harusnya ada peran dari pemerintah dalam hal ini dinas pariwisata untuk mengedukasi para pelaku usaha supaya tidak menganggap kalau para pelancong itu “raja minyak” semua yang uangnya tidak ada nomor serinya.Kadang saya suka kesal juga sudah objek wisatanya nga bagus – bagus amat sambutan dari warga sekitar juga kurang ramah ditambah dengan harga – harga yang ditawarkan yang sangat tidak masuk akal kalau dibandingkan dengan tempat umum yang bukan objek wisata.

Syaiful W. HARAHAP (16 Maret 2017) @Rizal, bisa jadi ada juga kongkalikong …. tapi, itu perlu penelusuran ….

Reni Pebriyani (15 Maret 2017) Bener banget, mas. Tapi, anehnya kenapa yah warung yang ga ngasih tarif di daftar menu malah rame? padahal, toh makananannya ga spesial spesial amat:(

Syaiful W. HARAHAP (16 Maret 2017) @Reni, akan lebih aman pilih warung yg ada daftar harga …..

Assaifi Mc. (15 Maret 2017) belajar dari pengalaman dan tulisan di atas, tiap berada di tempat wisata yang baru saya kunjungi bila ingin masuk warung yang tidak mencantumkan daftar harga maka saya selalu terlebih dahulu menanyakan harga makanannya.. 🙂

Syaiful W. HARAHAP (16 Maret 2017) @Assaifi, ya itu juga yg saya lakukan … tapi, yg terjadi adalah pemilik warung mencibir … tapi itu lebih baik daripada kena tipu …. Smg bermanfaat ….

Mas Yunus (14 Maret 2017) Barangkali perlu program edukasi utk itu… agar tak merusak citra DTW 🙂

Syaiful W. HARAHAP (16 Maret 2017) @Yunus, bisa juga tapi yg perlu kan regulasi ….