“Husna part terakhir jadi aneh ya, mas? Mengandalkan feel saja. Hadehhhh. Perempuan ya gitulah.”
Kukirimkan chat tentang nasib cerita bersambung yang baru saja kupublikasikan. Cerita bersambung itu sering dinamakan Cerbung Husna oleh mas Rizal. Dia termasuk pembaca yang detail dalam membaca tulisan. Kuanggap dia pemerhati yang baik.
“Walah? Kenapa di-closing?” Tanyanya.
“Banyak ruang bisa di eksplor itu, Mbak.” Ungkapnya kemudian. Aku tersenyum. Aku belum mengakhiri cerita bersambungku sebenarnya. Aku hanya bilang kalau cerita bersambungnya kurang greget.
“Nggak closing. Tapi aneh saja.” Balasku singkat.
“Hajar aja! Alurnya keren, kok! Nanti, kalau sudah lanjut sampai part sekian. Yang awal bisa di daur ulang.” Nasehatnya sambil tertawa. Eh…kutahu dia tertawa dari emoticon yang mengakhiri kalimat tadi.
“Buat plot kasar aja dulu, mbak. Tokoh sentral di Husna, udah punya karakter kuat!”
Aku jadi bertanya dalam hati, kok malah Husna yang jadi tokoh sentralnya. Padahal ‘kan tokoh utamanya malah kedua orang tua Husna. Husna malah jadi pemanis saja.
Lalu aku mengeluhkan kalau membuat cerita bersambung itu melelahkan.
“Iya, terkadang butuh jeda buat posting, mbak.” Chatnya menetralisir pikiranku yang lelah dengan alur cerita bersambungku.
“Memang ada tekanan unik. Dari internal maupun dari pembaca. Namun, melatih kesabaran dan ketelatenan menulis.”
Pendapatnya benar seratus persen. Menulis novel atau cerita bersambung itu butuh kesabaran dan ketelatenan. Bahkan terkadang harus segera keluar dari alur cerita saat tak menulis karena menulis cerita bersambung bisa terjebak sendiri dengan tokoh yang diciptakan sendiri.
Dulu pernah juga ada penulis yang bertanya, apa penulis cerita pendek bisa baper atau terbawa suasana? Pertanyaan itu muncul karena dia sering baper sendiri.
Saat membaca pertanyaan itu, hatiku tertawa. Bukan karena menganggap penulis itu lebay. Bukan sama sekali!
Tertawaku hanya karena mengalami hal serupa. Ahaaa…
Branjang, 6 Juli 2022