Mboten Pareng Lenggah Mriki: Dari Titik Nol Hingga Ketandan

Berita, Wisata159 Dilihat

Sudah lebih satu minggu saya berada di Yogya dan belum sekali pun menginjakkan kaki di kawasan Malioboro.  Rasa kangen sudah membuncah, Karena itu dengan naik OJOL saya turun tepat di Jalan Pangurakan di dekat Kantor Pos Besar, tepat di seberang Titik Nol Kilometer, ketika hari sudah menjelang senja.

Pemandangan gedung-gedung yang menjadi ikon kota Yogya ada di sekitar saya, Gedung Bank BNI, Kantor Pos, dan Monumen Serangan Umum Satu Maret.  Sekilas rasa rindu mulai terobati dengan suasana yang sangat ramai.

Tepat di depan Monumen 1 Maret, ada panggung budaya yang sudah ramai dengan penonton. Di panggung ada tulisan Sengguh dan ternyata merupakan Pentas Seni Desa Budaya Selasa Wage yang dipersembahkan oleh Dinas Kebudayaan DIY.  Pembawa acara sedang membacakan urutan pentas sekaligus mempromosikan barang seni dan kuliner dari berbagai desa dan kalurahan  yang berpartisipasi.

Setelah sejenak mampir di sini, saya terus melangkah di kaki lima yang nyaman dan lebar serta dilengkapi banyak tempat duduk yang nyaman menuju ke Museum Benteng Vredeburg. Di sini ada pertunjukan musik dan penonton bisa sekalian ikut berjoget diiringi lagu-lagu yang riang.

Di kaki lima di depan Benteng Vredeburg ini saya berjumpa dengan satu keluarga muda turis asing dengan dua orang anak kecil yang kemudian menjadi rebutan foto bersama oleh sekelompok remaja.  Mereka tampak sangat antusias dengan sambutan para remaja tersebut dan tersenyum gembira ketika difoto.

Sementara itu di seberang berdiri dengan agung Gedung Agung dengan halamannya yang luas, sebuah tiang bendera dan juga patung raksasa Dwarapala menghias Gedung ini. Di depan pagar yang tertutup rapat, ada promosi G20 yang akan dilaksanakan di Indonesia pada 2022 ini.

Tepat di sebelah Gedung Agung, ada gedung Hamzah Batik yang dikenal juga dengan nama Mirota. Di depan gedung ada patung Raminten dan prajurit Kraton Yogya. Biasanya selain bisa berbelanja batik dan pakaian serta kuliner, di gedung ini juga ada pertunjukan kabaret para Transpuan yang disebut Raminten Cabaret Show.

“Sugeng Rawuh Ing Teras Malioboro 1.” Demikian tulisan yang tertera pada sebuah spanduk di depan gedung tepat di sebelah Hamzah Batik.  Di kejauhan agak menjorok ke dalam terlihat gedung yang dijadikan Teras Malioboro I dan menjajakan fashion, kuliner dan oleh-oleh khas Yogya.

Di seberang jalan, di antara Benteng Vredeburg dan Pasar Beringharjo, ada kawasan yang dijadikan Pasar Sore Malioboro.  Sementara Pasar Beringharjo yang sekarang dicat putih juga tampak lebih cantik dan anggun dibandingkan terakhir kali saya mengunjunginya.

Perjalanan terus dilanjut ke arah utara menyusuri Jalan Margo Mulya yang dulu bernama Jalan Ahmad Yani. Banyak toko-toko khas di sepnajang jalan ini dan masih mencantumkan dua nama jalan tersebut seperti Toko Bung Gemuk yang menjual obat dan jamu ini. Di sepanjang kaki lima, tempat duduk juga melaksanakan prokes dengan menjaga jarak sehingga ada tulisan Mboten Pareng Lenggah Mriki dalam Aksara Honocoroko yang diterjemahkan dengan Jaga Jarak dan Maintain Physical Distance.

Tepat di persimpangan Jalan Ketandan Kulon ada sebuah Gapura bernuansa Tionghoa dengan tulisan Kampung Ketandan yang dilengkapi Aksara Jawa dan Hanzi.  Kampung Ketandan merupakan Kampung Cina yang berada di pusat kota Yogya dan menjadi pusat perayaan Capgome yang dilaksanakan dua minggu setelah hari raya Imlek.

 

Dengan santai terus melangkah ke utara, sesekali di kaki lima sebelah kiri, sesekali di sebelah kanan dan sesekali di jalan raya yang ditutup untuk kendaraan, memang sangat menyenangkan. Di kota mana lagi di Indonesia kita dapat menikmati suasana ini.  Matahari pun mulai tenggelam dan sayup-sayup suara azan magrib bergema ketika saya memasuki Jalan Malioboro.

 

Namun suasana kian semarak. Dan kita tunggu kisah selanjutnya menyelusuri Malioboro ini dalam artikel selanjutnya.

 

Yogya, Selasa Wage 12 Juli 2022

Tinggalkan Balasan

2 komentar