Melihat Malioboro dengan Kacamata yang Lain

Berita, Wisata117 Dilihat

Malioboro, demikian kita suka menyebut kawasan dan penggalan jalan yang membujur dari sekitar Stasiun Tugu hingga ke Kawasan Titik Nol Kilometer. Walaupun sebenarnya ruas jalan ini merupakan bagian dari Sumbu Filosofis Yogyakarta dan Namanya berubah menjadi Margo Mulyo atau dulu Jalan Ahmad Yani di bagian selatan, orang lebih suka menyebutkan Malioboro. Sama seperti nama-nama hotel di jalan-jalan di sekitar juga menambahkan nama hotel mereka dengan Malioboro.

Walau sudah banyak sekali ke kawasan Malioboro, tempat ini memang tidak pernah membuat kita bosan mengunjungi. Bahkan selalu bikin kangen dan tetap memiliki magnet serta daya tariknya sendiri. Karena itu tidak mengherankan bila di sini selalu ramai baik sore hingga malam hari.

Sore itu, kami memulai perjalanan dengan naik taksi daring dan turun di dekat Pasar Beringharjo, sebuah pasar yang juga selalu menarik untuk dikunjungi. Baik bagi yang mau belanja atau hanya cuci mata.

“Tahukah anda jika Sumbu Filosofi Yogyakarta diajukan sebagai Warisan Dunia ke Unesco?” demikian sebuah backdrop dengan latar belakang warna merah muda menyambut di antar deretan tokok dan kios batik di tengah Pasar Beringharjo. Di sini dijelaskan bahwa sejak Maret 2017, Historical City Centre of Yogyakarta  telah masuk ke dalam daftar sementara (tentativelisy) Unesco.  Kembali dijelaskan juga konsep sumbu filosofi yang merupakan penataan tata ruang kraton Yogyakarta yang merupakan perwujudan daur kehidupan manusia.

Sementara di sudut lain pasar ada juga tulisan dalam bahasa Jawa menggunakan aksara Latin: Sugeng Rawuh Wonten Pusat Perbelanjaan Beringharjo.  Dan di dekatnya ada juga larangan untuk menggelandang, mengemis, mengamen, dan mengasong di dalam pasar dan kawasan pasar sesuai dengan perda kota Yogya tahun 2019.

Setelah Lelah berkeliling pasar dan membeli beberapa helai pakaian, kami jalan-jalan di kaki lima Jalan Margo Mulyo yang nyaman dan kemudian duduk di kursi-kursi kayu yang selalu ramai dengan pengunjung.  Baru saja duduk, seorang lelaki pengamen datang mendekat dan tanpa permisi menyanyikan sebuah lagu, sehingga selembar uang pun berpindah ke kantong kecil dari kertas yang diasongkan lelaki pengamen tadi.

Setelah pengamen pergi, deretan pedagang asongan yang menawarkan teh manis, minuman dingin, hingga berbagai jenis makanan datang silih berganti.  Wah ramai juga pedagang asongan di kawasan ini. Bahkan lebih ramai dibandingkan dahulu. Demikian sekilas pendapat dalam benak saya.

Tidak lama kemudian seorang perempuan berusia sekitar empat puluh tahunan yang menjajakan gulali warna dadu dan biru muda duduk di tiang lampu di depan kursi kami. Dia kemudian bercerita tentang banyaknya perubahan setelah penataan kawasan kaki lima di sekitar Malioboro ini.

“Menurut aturan, kami dilarang berdagang asongan, namun Namanya cari duit, kami dan kawan-kawan tetap eksis di sini,” ujar perempuan tadi membuka pembicaraan. Dia juga kemudian menjelaskan jika sudah hampir dua puluh tahu berjualan di sini dan sekarang harus main kucing-kucingan dengan Satpol PP yang sesekali merazia pegangan kaki lima dan asongan.

Perempuan ini juga bercerita tentang Teras Malioboro 1 dan 2 yang menjadi lokasi baru untuk menampung para pedagang dan lesehan yang dulu ikut meramaikan kawasan Malioboro.  Cerita ini dimulai ketika kami menanyakan ke mana pindahnya pedagang lumpia yang dulu ada di seberang Hamzah Batik ini.

Tidak lama kemudian ada beberapa petugas berseragam cokelat muda yang muncul dan mengusir pedagang asongan atau  mereka yang menjajakan dagangan di kaki lima.

Sambil duduk santai, saya juga melihat fasad depan Masjid Siti Djirzanah yang ada di seberang jalan. Sebuah masjid yang tampak unik dengan atap khas Cina

Kami kemudian terus berjalan menuju ke Utara. Dan di persimpangan dengan Jalan Suryatmajan, ada sebuah petunjuk yang menjelaskan Lumpia dan tulisan dalam tiga bahasa yaitu Arab, Cina dan Inggris. Bahkan di bawah aksara Hanzi juga ada transliterasi bertuliskan QIngzhenshi).  Di kedua tiang yang ada di sisi masjid juga ada beberapa hiasan keramik, di antaranya bertuliskan kaligrafi Allah dan Muhammad.

Kami kemudian melanjutkan jalan-jalan menuju ke utara. Di persimpangan jalan Suryatmajan ada petunjuk yang bertuliskan: Lumpia Ayam Bu Yusuf pindah ±20 meter ke timur.  Penasaran kami menyusuri kaki lima Jalan Suryatmajan dan bertemu dengan pedagang Ketoprak dan Wedang Ronde.  Akhirnya kami duduk dan memesan ketoprak dan ronde.

Penasaran dengan lumpia, kami melanjutkan wisata kuliner menuju kios lumpia yang ternyata ada di seberang jalan, sekitar empat puluh atau lima puluh meter dari gerobak ketoprak. Jadi kalau di hitung dari perempatan jalan tempat petunjuk, sebenarnya jarak 20 meter sebelah timur itu menipu, karena jarak sebenarnya bisa sekitar 70 meter atau mungkin 100 meter lebih.

Kami kemudian memesan lumpia sambil bercakap-cakap mengenai sewa kios di kawasan ini. Menurut ibu penjual sewa di sini cukup mahal karena lokasinya memang strategis.

“Tetapi di Teras Malioboro 2 kiosnya lebih kecil dan sepi pembeli serta kalau siang panas sekali,” ibu penjual tadi melanjutkan cerita tentang Teras Malioboro dua yang kalau malam lumayan nyaman namun siang panas karena atapnya terbuat dari seng.

Demikian sekilas perjalanan yang menceritakan mengenai perubahan. Penataan kawasan Malioboro dan sekitarnya memang membuat kawasan ini lebih cantik dan nyaman, namun tentu saja setiap perubahan tidak dapat membuat semua orang senang.

Demikian pula dengan kian agresifnya para pengamen yang bukan hanya mendekati mereka yang sedang duduk, tetapi juag pejalan kaki yang sedang berjalan menikmati suasana Yogya di Malioboro.

Yogyakarta, Juli 2022.

Tinggalkan Balasan