Pencegahan dan Penanggulangan HIV/AIDS di Papua Terjadi di Hilir

Humaniora107 Dilihat

KMAB26

Kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan, dalam hal ini tes HIV, terjadi di hilir sedangkan yang diperlukan program di hulu

Ketua Harian Komisi Penanggulangan HIV dan AIDS (KPA) Provinsi Papua, Anton Mote, mengatakan: …. di tengah peningkatan kasus HIV-AIDS di Papua, kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan semakin hari semakin baik.

Pernyataan itu ada dalam berita “Kasus HIV dan AIDS Meningkat hingga Ratusan Orang di Papua” (kbr.id, 1/8-2022).

Disebutkan kasus kumulatif HIV/AIDS di Papua sampai dengan Desember 2021 sebanyak 46.967. Selanjutnya sampai Juli 2022 jumlah kasus naik jadi 47.962. Artinya bertambah 995 kasus HIV/AIDS baru.

Sementara itu laporan di siha.kemkes.go.id (7/2-2022) tentang Perkembangan HIV/AIDS dan  Penyakit Infeksi Menular Seksual (PIMS) menunjukkan dari tahun 1987 sampai 30 September 2022 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Papua mencapai 64.736 yang terdiri atas 40.150 HIV dan 24.586 AIDS. Jumlah ini menempatkan Papua di peringkat ke-3 nasional dalam jumlah kasus HIV/AIDS.

Papua sendiri sudah sesumbar akan nol infeksi HIV baru pada tahun 2023 tapi tanpa program pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS yang realistis. Ini ‘mimpi di siang bolong.’

Baca juga: Fantastis, Provinsi Papua Nol Infeksi HIV Baru Tahun 2023

Terkait dengan pernyataan Ketua Harian KPA Papua, Anton Mote, yaitu: “kesadaran masyarakat untuk melakukan pemeriksaan semakin hari semakin baik” ada beberapa hal yang luput dari perhatian, yaitu:

(a). Perlu diperhatikan yang berisiko tertular HIV/AIDS bukan masyarakat, tapi seseorang atau warga yang pernah atau sering melakukan perilaku seksual berisiko tinggi tertular HIV/AIDS, yakni:

(1). Laki-laki dan perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral), di dalam dan di luar nikah, dengan pasangan yang berganti-ganti dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

(2). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan perempuan yang serng berganti-ganti pasangan, dalam hal ini pekerja seks komersial (PSK) langsung dan cewek prostitusi online, dengan kondisi laki-laki tidak memakai kondom,

Tentang PSK ada dua tipe:

-PSK langsung adalah PSK yang kasat mata yaitu PSK yang ada di lokasi atau lokalisasi pelacuran atau di jalanan.

-PSK tidak langsung adalah PSK yang tidak kasat mata yaitu PSK yang menyaru sebagai cewek pemijat, cewek kafe, cewek pub, cewek disko, anak sekolah, ayam kampus, cewek gratifikasi seks (sebagai imbalan untuk rekan bisnis atau pemegang kekuasaan), PSK high class, cewek prostitusi online.

(3). Laki-laki dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks ana; dan seks oral) dengan waria. Sebuah studi di Kota Surabaya tahun 1990-an menunjukkan pelanggan waria kebanyak laki-laki beristri. Mereka jadi ‘perempuan’ ketika seks denga waria (ditempong), sedangkan waria jadi ‘laki-laki’ (menempong).

(4). Perempuan dewasa yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual penetrasi (seks vaginal, seks anal dan seks oral) dengan gigolo dengan kondisi gigolo tidak memakai kondom

Sebaiknya KPA Papua melancarkan sosialisasi dengan KIE yang akurat jangan dibumbui denga norma dan moral agar fakta medis tentang HIV/AIDS langsung sampai ke masyarakat.

(b). Jika yang dimaksud Anton “melakukan pemeriksaan” adalah tes HIV, maka dalam format penanggulangan HIV/AIDS tes HIV ada di hilir. Warga yang kemudian terdeteksi HIV-positif artinya sudah melakukan perilaku seksual berisiko (Lihat matriks penanggulangan di hulu dan hilir).

Matriks: Tes HIV adalah program di hilir. (Sumber: Dok. Syaiful W. Harahap)

Yang diperlukan untuk menanggulangi, dalam hal hanya bisa menurunkan insiden infeksi HIV baru terutama pada lak-laki dewasa, adalah melakukan intervensi ke perilaku berisiko yaitu memaksa laki-laki memakai kondom setiap melakukan hubungan seksual berisiko pada hubungan seksual dengan PSK langsung pada perilaku seksual berisiko nomor (2).

Persoalan besar yang dihadapi Papua dan Indonesia adalah intervensi tidak bisa dilakukan karena sejak reformasi tempat-tempat pelacuran, dikenal sebagai lokalisasi pelacuran, sudah ditutup. Itu artinya praktek PSK langsung sudah pindah ke media sosial melalui transaksi dengan ponsel. Eksekusi terjadi sembarang waktu dan di sembarang tempat (lihat matriks penjangakuan).

Matriks. Perilaku seksual laki-laki berisiko tertular HIV/AIDS yang tidak terjangkau. (Foto: Dok Pribadi/Syaiful W. Harahap)

Sedangkan praktek PSK tidak langsung juga terjadi di dunia maya sehingga mustahil dilakukan intervensi.

Sementara itu perilaku seksual nomor (1), (3) dan (4) terjadi di ranah privat yang mustahil untuk diintervensi.

Karena tidak ada intervensi yang bisa dilakukan oleh Pemprov Papua dan pemerintah kabupaten dan kota di Papua, maka insiden infeksi HIV baru, terutama pada laki-laki dewasa, akan terus terjadi

Laki-laki yang tertular HIV/AIDS dan tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Penyebaran terjadi karena warga pengidap HIV/AIDS yang tidak terdeteksi tidak menyadari kelau mereka tertular HIV/AIDS karena tidak ada tanda-tanda, ciri-ciri dan gejala-gejala yang khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik antara 5 – 15 tahun setelah tertular HIV jika tidak minum obat antiretroviral/ARV sesuai resep dokter).

Beberapa peraturan daerah (Perda) AIDS yang diterbitkan pemeirntah provinsi, kabupaten dan kota di Papua juga hanya ‘macan kertas’ karena tidak menukik ke akar persoalan terkait dengan penularan dan pencegahan HIV/AIDS yang realistis.

Baca juga: Eufemisme dalam Perda AIDS Prov Papua

Itu artinya insiden infeksi HIV baru dan penyebaran HIV terus terjadi di Papua sebagai ‘bom waktu’ yang kelak bermuara pada ‘ledakan AIDS.’ (Sumber: Kompasiana, 1/8-2022). *

Tinggalkan Balasan